KIBARKAN TRIPANJI PEMBEBASAN NASIONAL 1. HAPUSKAN HUTANG LUAR NEGERI 2. NASIONALISASI ASSET ASING 3. INDUSTRIALISASI NASIONAL

Selasa, 11 Agustus 2009

MATINYA SANG PENYAIR

Pasir pantai. Karang terjal. Pohon nyiur. Gelombang laut. Buih putih. Perahu-perahu nelayan, juga pohon-pohon bakau. Rumah-rumah gubuk para nelayan. Para-para penjemuran ikan asin. Semua menjadi satu rangakaian yang harmonis, dengan angin sebagai buhulnya. Keterpisahan dalam kebersatuan yang abadi. Masing-masing melengkapi, membentuk lingkungan tersendiri, dengan tradisi sendiri pula. Langgam keterikatan yang begitu indah, seperti keterpaduan para penabuh kendang, bonang, gong dan peniup seruling pada pagelaran wayang. Kaitan kata yang sulit terpisahkan, umpama sajak-sajak cinta ataupun tragedi yang ditulis penyair dengan segala kesederhanaannya. Pergesekannya melahirkan zat baru. Memberikan ilham bagi kebaikan dan keburukan. Kejujuran dan kecurangan. Matahari cukup setia mematangkan dan mendewasakannya. Tanpa pilih kasih.

Dalam asuhan alam yang teratur itu, para nelayan hidup dengan kemiskinan dan keterbatasan pemikiran. Kebelengguan mitos laut dan ombak yang bergemuruh. Tradisi yang diterima secara turun temurun, tanpa perubahan dan usaha untuk mengubah. Asinnya air laut dan amisnya ikan hasil tangkapan mereka. Tanpa keinginan lain, kecuali untuk mencukupi sekedar kebutuhan hidup bagi istri dan anak-anaknya. Pasir pantai mengajari mereka kesabaran. Karang terjal menanamkan ketegaran dan keperkasaan. Gelombang laut menjadikan mereka pengembara lautan dan samudera. Bakau menawarkan kuatnya pendirian. Pohon nyiur mengasuh mereka menjadi manusia-manusia yang memiliki pengertian tak terbatas dengan sesama. Meski timbul tenggelam di antara kartu-kartu dan kepul asap rokok, membulat, terbang melayang.

Di antara ketenangan dan keluguan kaum nelayan, harmonitas elemen pantai yang ajeg, dan debur ombak yang berkejaran, seorang lelaki tua melangkah tertatih. Rambut, kumis dan jenggot, memutih bertaut. Sesekali menengadah, memandang matahari yang terus berjalan naik. Entah siapa yang mewasiatkan. Tetapi, lelaki tua itu, merasa dilahirkan bukan untuk dirinya sendiri. Ia hadir di tengah berjubelnya persoalan hidup; peperangan untuk mengumbar angkara murka dan keserakahan, perkosaan, pembunuhan dan penipuan. Dalam hiruk pikuk perdebatan teori-teori kehidupan dan kemanusiaan, pengentasan kemiskinan serta slogan-slogan pembangunan yang terasa asing di telinga kaum nelayan. Memuakkan. Tak ada arti apa-apa bagi mereka. Dan lelaki tua itu merasa hanya sebagai selembar kertas buram yang terombang-ambing gelombang. Berulang terbentur karang. Robek menjadi berpuluh-puluh atau bahkan beratus-ratus bagian. Setiap bagian menjadi kepedihan nurani. Menyatu dengan pasir pantai. Lalu hilang.

Namun ia puas dengan itu semua. Meski hanya dengan baju yang basah dan kering di badan. Air hujan dan panas matahari. Ia tak pernah mengenal gairahnya darah perawan. Hangatnya kasur dan bantal. Ia hanya memiliki sebuah gubuk yang dibangun dari pelepah daun nyiur dan beratapkan anyaman daun pandan berduri. Dindingnya dari anyaman daun nyiur. Setahun sudah ia berada di pantai itu. Bersama dengan anak-anak dan perempuan-perempuan nelayan.

”Hai lelaki tua pemalas. Kau memang lebih pantas menjadi perempuan,” ujar lelaki kaum nelayan yang bertubuh gempal. Kulitnya hitam hangus terbakar matahari. Otot-ototnya biru menonjol, menunjukkan betapa besar tenaga yang dimilikinya. Ia memang orang terkuat di kampung nelayan. Ejekan seperti itu selalu saja diterima lelaki tua. Menerima deraan menyakitkan, ia hanya tersenyum ringan. Di kampung nelayan, istilah ’perempuan’ adalah simbol ketidakberdayaan. Sosok manusia yang tak lebih hanya sebagai pemuas gelegak birahi kaum laki-laki. Pandangan yang menista, dan entah siapa kelak yang akan mengubahnya. Seringkali muncul keraguan, apakah untuk mengubah pandangan itu harus menunggu datangnya seorang nabi baru? Ah…, entahlah, mungkin memang tak akan ada yang berani menjawab, kecuali kalau bersedia menerima kutukan: sesat!

”Atau menjadi penggembala kucing. Biar binatang itu tak lagi mencuri ikan-ikan kami,” sahut yang lain dengan disambut tawa para nelayan yang akan berangkat menangkap ikan ke tengah lautan. Mempertaruhkan nyawa di ujung bibir gelombang dan badai. Tawa itu membumbung ke udara. Berputar-putar. Berkait-kait. Membawa khabar ke seluruh kampung nelayan, betapa nikmat rasanya, manakala bisa menghina dan mempermainkan manusia lain yang tidak berdaya.

Lelaki tua tetap diam. Ia seret kakinya meninggalkan kelompok nelayan dan berdo’a untuk keselamatan dan keberhasilan mereka. Panjangnya usia telah mengajarkan satu kesabaran dalam diri lelaki tua. Sejarah murni yang membesarkannya, menumbuhkan satu kejernihan akal dan kemapanan batin. Kemarahan telah padam dalam rongga dadanya yang makin rapuh. Lidah terlipat rapat di antara sela-sela gigi yang makin menjarang. Bola mata terikat rapat dalam kelopak yang cekung. Usianya terlalu tua untuk mengumbar emosi. Untuk menopang ego dalam hidupnya. Baginya tak ada lagi dendam dan nista.

”Lelaki tua, aku menjemputmu.”

“Kaukah malaikat utusan-Nya? Telah kutunggu engkau bersama kesabaranku. Bersama bulir-bulir embun pagi,” katanya menyahut lirih. Beberapa hari ini, lelaki tua memang sering berpikir tentang kematian. Keabadian yang sering didengarnya sebagai janji hidup setelah hidup.

”Mari kubimbing. Langkahmu kian gontai.”

Lelaki tua mengikuti ajakan itu. Perjalanan jasadi yang ia jalani hampir sempurna. Ia merasa begitu dekat dengan Tuhan. Ia terbelalak manakala melihat binatang yang belum pernah ada di dunia. Kuda tunggang yang indah berkilau-kilau dan cantik. Sayapnya begitu kokoh dan menawan. Aroma harum menebar dari dengus nafasnya.

”O…, inikah buroq tunggangan Muhammad Rasul Allah ketika bermi’raj?” Batinnya bertanya-tanya, bukankah tidak ada kisah yang pernah didengarnya, jika malaikat menjemput mau menunggang buroq? Batinnya tak bisa menjawab pertanyaan yang sederhana ini.

”Alangkah bahagianya aku. Tetapi ia terlalu cantik untuk membawaku terbang,” kata lelaki tua itu di antara gelora bahagia dalam dadanya. Membuncak-buncak tak tertahankan. Lelaki tua sangsi.

”Sudahlah, jasad lusuhmu telah kautinggalkan di pasir pantai,” ujar malaikat utusan-Nya di samping lelaki tua.

Lelaki tua itu tertegun memandang ke bawah. Ia melihat tubuhnya sendiri tergeletak di atas pasir pantai yang panas. Lalat-lalat mulai berkerumun. Suaranya meraung-raung. Seperti pesawat-pesawat tempur, yang berputar-putar di udara untuk melepaskan peluru-peluru mautnya. Menyebar kematian yang menyakitkan. Duka memayungi jagat entah sampai kapan selesainya. Sebab darah tertumpah tanpa alasan apa pun. Bendera kebangsaan dikibarkan setengah tiang, untuk mengenang kematian masal dan pertanda berkabung nasional. Warnanya pudar dan robek-robek digigit angin malam, hujan dan panasnya matahari.

”Angkasa raya yang maha luas. Bintang-bintang yang cemerlang di malam hari. Awan-awan yang hitam berarak. Sambutlah kehadiranku dengan damai. Biarkan aku menuju ke istana Tuhan dengan segala kesabaranku. Aku sudah terlalu rindu kepada-Nya. Tambatan jiwa dan kekasihku. Aku akan melepas birahi dalam kecahayaan-Nya. Dalam hangatnya kasih dan cinta-Nya. Kesejukan senyum-Nya dan belaian mesra tangan-Nya.”

”Malaikat utusan-Nya, segeralah terbang menembus angkasa raya. Memasuki tataran-tataran langit. Memberi salam hormat kepada para penjaganya yang setia, dan nabi-nabi yang menghuni di setiap tingkatnya. Akan kucium tangan mereka dan kululurkan liur sebagai kenangan terakhir.”

”Bersabarlah, lelaki tua. Waktu yang kita miliki masih sangat panjang dan tak terbatas.”

”Apa yang harus kita tunggu? Birahiku telah memuncak. Jangan biarkan gairahku tertumpah sia-sia. Betapa lama aku harus menunggu persetubuhan dengan Tuhan. Menyatu dalam desah nafas kejujuran dan keadilan-Nya.”

”Yah, aku tahu itu. Tetapi lihatlah sejenak apa yang akan dilakukan perempuan nelayan itu terhadapmu.”

Lelaki tua mengikuti arah yang ditunjuk. Aaah…, ia sangat akrab dengannya. Perempuan yang selalu bertanya tentang hidup bersama dengan laki-laki yang tak pernah memiliki rasa bersyukur. Suami yang hanya memerlukannya untuk sekedar membuang sperma dan menyiapkan masakan meski tak ada uang yang diberikannya. Lelaki tua seringkali tersenyum masam, dan berdiam tak menjawab.

”Tidak!” Teriak perempuan nelayan. Suaranya menggetarkan karang. Menggoyang pohon bakau dan nyiur. Menggema, menyentuh pintu langit. Mengguncang batin lelaki tua di angkasa. Menyeruak menembus segala sekat-sekat. Matanya mengerjap-ngerjap menahan air yang akan meleleh dari kelopak matanya. Mata indah yang pernah menggetarkan jantung hati lelaki tua. Air mata lelaki tua pun menetes deras. Membasahi punggung kuda tunggangannya. Mengalir dan membeku menjadi awan putih.

”Lelaki yang baik, kau tak boleh pergi secepat ini. Kami belum bisa membalas segala kebaikanmu,” kata perempuan nelayan di antara isak tangisnya. Tak ada ombak berkejaran di lautan. Air pasang pun surut kembali. Berulangkali ia tempelkan telinganya ke dada lelaki tua yang terbujur kaku dan membiru. Ia tetap tak percaya, lelaki di hadapannya telah meninggal dunia.

Satu persatu perempuan di kampung nelayan berdatangan. Bergerombol melingkar-lingkar. Anak-anak pun berkumpul diam. Bergandeng tangan, menahan kedukaan yang teramat mencekam perasaan. Matahari redup tertutup awan.

”Mbak yu, lihatlah awan di atas sana,” kata seorang perempuan nelayan kepada perempuan di sampingnya. Suara itu tak diperdulikan siapa pun. Dan memang, semua perempuan kaum nelayan tak akan memperdulikan apa pun. Jangankan sekedar awan, ikan-ikan mereka yang seharusnya dijemur pun tak lagi diurusinya.

”Aku harus kembali ke kampung nelayan,” kata lelaki tua sedih.

”Tidakkah kaukasihan melihat perempuan dan anak-anak nelayan itu? Mereka menangis sejak matahari pecah sampai setegak tombak.”

”Apakah akan kautambah beban mereka dengan perasaan dosa ke dalam batin?”

”Maksudmu?”

”Mereka menangis karena merasa berhutang budi kepadamu. Sebodoh-bodohnya orang, punya pula satu rasa sehalus sutra, manakala menerima kebaikan. Kebekuan nurani, akan tetap bisa menerima kesadaran tentang Tuhan, hanya saja terkadang terhalang oleh gengsi dan kekuasaan.”

”Aku tak pernah berfikir seperti itu.”

”Itulah keterbatasan manusia dengan akal pikirannya. Kemampuan otaknya tak akan bisa menembus semua sekat ruang dan waktu.”

”Apa sesungguhnya yang kaukehendaki, sehingga aku tak segera kaubawa menghadap-Nya?”

”Agar kaumengetahui, betapapun perbuatan baik, tak selamanya akan melahirkan kebaikan bagi penerimanya. Sebuah kejujuran taklah selamnaya bisa mengantarkan pada sebuah kebenaran yang hakiki. Suatu saat justru berbalik menjadi bencana yang menyakitkan dan berkepanjangan.”

***

”Aku telah lama mencurigai hubunganmu dengan lelaki tua. Lelaki yang mengaku dirinya penyair dan merasa menjadi dewa penolong di kampung ini. Dan kali ini terbukti, kaulah yang paling bersedih dengan kematiannya.”

”Pikiran kotor. Buang jauh-jauh, Pak!”

”Diam. Dulu, ketika penyair masih hidup, aku tidak berani mengatakannya. Sebab ia akan berkilah dengan kehebatannya berkata-kata. Penduduk kampung nelayan pun tak akan mempercayai omonganku.”

”Pak, sadarlah.”

Tetapi kata-kata perempuan nelayan kepada suaminya justru dijawab dengan tamparan keras ke wajahnya. Tentu saja perempuan itu tak mampu menerima pukulan dari tangan berotot milik suaminya. Darah segar mengalir dari bibirnya yang selalu pecah-pecah. Tetapi pandangan matanya tak menggambarkan protes apalagi kebencian. Ia merasa begitu pasrah menerima setiap pukulan dan hardikan dari suaminya. Begitulah yang diajarkan masyarakatnya. Ia tidak menerima sesungguhnya. Tubuh itu pun jatuh di pasir pantai. Bibirnya seakan menyandang senyum kepuasaan. Wajahnya bersih tanpa beban penderitaan.

”Mau ke mana?” Tanya lelaki tua.

”Aku akan mengajak perempuan nelayan ke mari.”

Lelaki tua semakin dalam menunduk. Ia menyalahkan dirinya sendiri. Dan memang selalu begitu. Seperti juga, saat ia masih hidup bersama kaum nelayan. Ia merasa bersalah dan berdosa ketika ada penduduk kampung yang meninggal dunia, karena ia terlambat berikhtiar untuk menyelamatkannya. Apabila badai menyapu perahu-perahu nelayan, lelaki tua pun merasa bersalah, karena tak mampu memberikan peringatan apapun kepada mereka.

”Inilah lelaki tua yang telah menyengsarakanmu.”

”Betapa aku bahagia, karena masih bisa bertemu dan berbicara dengan lelaki yang baik. Lelaki penolong seluruh penduduk kampung nelayan.”

”Apa yang bisa kaubanggakan dari lelaki tua seperti aku ini? Tiada lain yang kuperbuat kecuali bencana akibatnya.”

”Tidak lelaki penyair. Kau telah banyak berjasa kepada kami. Tetapi jika kau tak sudi menerima kami yang bodoh dan miskin, itu adalah hakmu. Namun jangan kau berkata seperti itu. Sangat menyakitkan.”

”Malaikat utusan-Nya, marilah kita berangkat sekarang.”

”Kau bagaimana perempuan nelayan?” Tanya sang malaikat.

”Aku akan kembali ke kampung nelayan.”

”Apakah tidak menyesal?”

”Tidak. Aku akan menceritakan semua ini kepada penduduk kampung nelayan. Betapa baik hatinya lelaki penyair. Hingga sampai kematiannya pun masih memikirkan tentang nasib penduduk kampung nelayan.”

Lelaki tua bersama malaikat utusan-Nya terbang menembus angkasa. Menuju ke istana Tuhan. Tempat pengadilan paling adil. Tak ada satu pihak pun yang akan dirugikan dalam pengadilan-Nya. Itulah keputusan hakim yang Agung.

Rasa sakit menggigit seluruh tubuh perempuan nelayan, ketika kesadarannya pulih kembali. Wajahnya memar membiru. Darah kental dan kering ada di ujung bibir dan lubang hidungnya. Kepalanya berdenyut keras. Ia membuka matanya yang cekung perlahan-lahan. Ia mendapatkan wajah suaminya yang tampak penuh penyesalan. Perempuan dan anak-anak kampung nelayan telah berkumpul. Para lelaki bergerombol di luar rumah. Ketika ia melirik ke samping kiri, ia mendapatkan tubuh kurus lelaki tua terbujur kaku. Membeku.

Entah kekuatan dari mana, perempuan itu tiba-tiba berdiri dan menubruk jasad lelaki penyair. Belum lagi keheranan penduduk kampung nelayan hilang, perempuan itu sudah berdiri kembali. Ia memiliki kesegaran dan keberanian yang belum pernah dirasakannya selama ini.

”Penduduk kampung nelayan. Lelaki penyair ini memang benar-benar berhati emas. Dia tak pernah memperdulikan dirinya sendiri. Tetapi sangat memperhatikan kita semua.”

Semua penduduk kampung nelayan membenarkan ucapan itu. Terutama kaum perempuan dan anak-anaknya. Hampir berbarengan mereka menganggukkan kepala tanda setuju. Pandangan mereka berpindah-pindah dari jasad lelaki penyair dan ke arah perempuan nelayan berkulit hitam dan kurus.

”Ia telah mengajarkan kepada kita bagaimana mengawetkan ikan, sehingga hasil kita tak lagi pernah membusuk dan sia-sia. Juga mengajarkan bagaimana membuat senar jala menjadi kuat dan tak mudah putus terkana karang. Lingkungan perkampungan kita juga menjadi bersih karena bimbingannya.”

Betapa suaminya muak mendengar omongan istrinya. Kemarahannya memuncak kembali. Lelaki itu mengambil dayung dan dihantamkan tepat di kepala istrinya. Perempuan dan anak-anak kampung nelayan berteriak histeris. Para lelaki nelayan mengelus dada. Darah mengalir dari kepala perempuan nelayan. Ia roboh dengan kepala pecah. Pembunuhan telah terjadi di mata semua penduduk kampung nelayan. Tetapi diam pilihan mereka.

Semuanya bubar. Kampung nelayan sepi selama tujuh hari tujuh malam

0 komentar:

Posting Komentar

BUKU TAMU


ShoutMix chat widget
Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger