KIBARKAN TRIPANJI PEMBEBASAN NASIONAL 1. HAPUSKAN HUTANG LUAR NEGERI 2. NASIONALISASI ASSET ASING 3. INDUSTRIALISASI NASIONAL
Tampilkan postingan dengan label TOKOH. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label TOKOH. Tampilkan semua postingan

Minggu, 16 Agustus 2009

Sneevliet:





Dari Belanda, Menebar Benih Radikalisme di Indonesia

Dalam pustaka sejarah, nama Sneevliet lebih identik sebagai penyemai ‘virus’ ideologi komunisme, yang dibawanya dari Belanda. Sasarannya bukan hanya orang-orang Belanda yang ada di Indonesia, melainkan juga orang-orang Indonesia. Di negeri asalnya, dia adalah petaka bagi rezim. Kepalanya terlalu keras untuk ditundukkan. Akibatnya, dia masuk daftar buronan, yang siap diseret ke penjara kapan saja.
Bernama lengkap Hendricus Josephus Franciscus Marie Sneevliet, kita lebih mengenalnya dengan nama nama Sneevliet. Ia lahir di Rotterdam, 13 Mei 1883. Proses berpolitiknya dimulai ketika tahun 1901, dia bekerja sebagai buruh di sebuah pabrik di Belanda. Akhirnya, pada usia 20–an, dia mulai berkenalan dengan gelanggang politik. Ia bergabung dalam Sociaal Democratische Arbeid Partij (Partai Buruh Sosial Demokrat) di Nederland hingga tahun 1909, yakni sebagai anggota Dewan Kota Zwolle. Setelah itu dia diangkat sebagai pimpinan serikat buruh kereta api dan trem (National Union of Rail and Tramway Personnel) pada tahun 1911.
Di organisasi baru inilah, Snevlieet menunjukkan watak sejatinya, berani, dan tak pernah menyerah. Dia memimpin pemogokan-pemogokan buruh di Belanda, sehingga membuat namanya masuk dalam ‘daftar hitam’ di Belanda. Keberanian ini pastilah membuat rezim takut. Lewat federasi serikat buruh, yang dikuasai oleh pemerintah, dibuatlah cara untuk menekan Snevlieet. Sehingga, jabatan sebagai ketua serikat buruh kereta api cuma setahun dipegangnya. Pada tahun 1912, ia mengundurkan diri, setelah terjadi konflik yang panas antara serikat buruh yang dipimpinnya dengan federasi serikat buruh. Peristiwa itu terjadi setelah terjadinya pemogokan buruh-buruh kapal, di mana Sneevliet berdiri sebagai pimpinan aktif dalam pemogokan itu. Lepas dari aktivitasnya di Serikat Buruh, sempat membuat Sneevliet bimbang, ia bahkan berniat untuk mundur dari ranah pergerakan. Beralihlah dia ke dunia perdagangan, dan inilah jalan yang membawanya berkelana sampai ke Indonesia
Tahun 1913, untuk kali pertama, ia menginjakkan kaki ke Indonesia. Tepat pada saat itu, dunia pergerakan di Hindia Belanda tengah bersemi. Sneevliet, yang pada awalnya bekerja sebagai jurnalis di sebuah harian di kota Surabaya, mulai terusik untuk kembali berpolitik. Namun saat itu kondisi kerjanya masih belum mapan, ia pindah ke Semarang dan diangkat menjadi sekretaris di sebuah perusahaan.

Mendirikan ISDV
Hasrat politiknya rupanya tak bisa ditahan-tahan. Dia sempat aktif menjadi sekretaris dari Handelsvereeniging (Asosiasi Buruh) di Semarang. Pada tahun 1914, ia mendirikan sebuah organisasi politik yang diberi nama Indische Sociaal Democratische Vereniging (ISDV). Awalnya anggotanya hanya 65 orang, yang kesemuanya adalah orang Belanda dan kalangan Indo-Belanda. Sneevliet masih belum yakin untuk merekrut anggota dari kaum bumi putra. Dalam waktu setahun kemudian, organisasi tersebut mengalami perkembangan pesat menjadi ratusan anggotanya. Perkembangan tersebut tak terlepas dari peranan koran organisasi berbahasa Belanda, Het Vrije Woord yang menjadi corong propaganda ISDV. Beberapa tokoh Belanda yang aktif membantu Sneevliet adalah Bergsma, Adolf Baars, Van Burink, Brandsteder dan HW Dekker. Di kalangan pemuda Indonesia tersebut nama-nama Semaun, Alimin dan Darsono. Pengaruh ISDV juga meluas di kalngan buruh buruh kereta api dan trem yang bernaung dibawah organisasi Vereniging van Spoor Tramweg Personal (VTSP).
Dalam waktu yang bersamaan, pergerakan di Hindia Belanda tengah mengalami masa terang. Sarekat Islam, terus membesar dengan jumlah anggota mencapai puluhan ribu yang tersebar di berbagai daerah. Oleh karena itu ISDV, merubah haluan untuk menitik beratkan pengorganisiran pada anggota-anggota maju dari Sarekat Islam, dan inilah cikal bakal generasi pertama perekrutan kader-kader Marxis.
Pada bulan Maret 1917 Sneeveliet menulis artikel berjudul Zegepraal (kemenangan), yang memuliakan Revolusi Februari Kerensky di Rusia dengan kata-kata:
Telah berabad-abad disini hidup berjuta-juta rakyat yang menderita dengan penuh kesabaran dan keprihatinan, dan sesudah Diponegoro tiada seorang pemuka yang mengerakan massa ini untuk menguasai nasibnya sendiri. Wahai rakyat di Jawa, revolusi Rusia juga merupakan pelajaran bagimu. Juga rakyat Rusia berabad-abad mengalami penindasan tanpa perlawanan, miskin dan buta huruf seperti kau. Bangsa Rusia pun memenangkan kejayaan hanya dengan perjuangan terus-menerus melawan pemerintahan paksa yang menyesatkan. Apakah penabur dari benih propaganda untuk politik radikal dan gerakan ekonomi rakyat di Indonesia memperlipat kegiatannya? Dan tetap bekerja dengan tidak henti-hentinya, meskipun banyak benih jatuh di atas batu karang dan hanya nampak sedikit yang tumbuh? Dan tetap bekerja melawan segala usaha penindasan dari gerakan kemerdekaan ini? Maka tidak bisa lain bahwa rakyat di Jawa, diseluruh Indonesia akan menemukan apa yang ditemukan oleh rakyat Rusia: kemenangan yang gilang gemilang.

Organisasi ISDV bergerak cepat dengan strategi mereka untuk merekrut massa dari SI. Pengaruhnya yang kuat ternyata mengkhawatirkan pemerintah Hindia Belanda, sebab pada saat yang sama, pemogokan-pemogokan buruh bertambah kuat dan meluas. Semaun, Darsono dan Alimin, adalah pimpinan-pimpinan SI Semarang yang berhasil direkrut oleh Snevlieet. Mereka punya kesamaan pandangan, prinsip-prinsip ideologi radikal dengan ISDV. Pada akhirnya perpecahan di tubuh SI tak terelakkan, perpecahan antar sayap moderat dan sayap radikal. SI Putih yang dipimpin HOS Tjokroaminoto, H.Agus Salim dan Abdul Muis, serta SI Merah yang dikepalai oleh Semaun dan teman temannya.

Kemenangan revolusi Rusia makin banyak jadi bahan perbincangan rakyat. Agar pengaruh ISDV tidak semakin mengeruhkan situasi, yang dikhawatirkan memberi kemungkinan terjadinya pemberontakan rakyat, maka pemerintah Hindia Belanda menyusun rencana untuk menangkap Sneevliet dan menyeseretnya ke pengadilan. Sneeliet pun, pada bulan Desember 1918, akhirnya diusir dari Indonesia karena aktivitas politiknya.
ISDV pun mulai kehilangan kendali akibat para pimpinannya diusir dari Indonesia. Juga mulai dijauhi massa akibat prinsip-prinsip radikal mereka yang masih belum bisa dipahami massa. Semaun pun mengambil keputusan, mengganti ISDV menjadi Partai Komunis Hindia pada 23 Mei 1920. Tujuh bulan kemudian, partai ini mengubah namanya menjadi Partai Komunis Indonesia. Semaun terpilih sebagai ketua.
Akan halnya dengan Snevlieet, ia diproses oleh jaksa dan hakim Belanda dari pemerintahan Hindia Belanda. Seorang Belanda kontra Belanda; tetapi juga seorang sosialis kontra kolonialis. Di depan pengadilan yang terjadi pada bulan November 1917, ia membacakan pidato pembelaannya setebal 366 halaman. Pidato pembelaanya itulah yang merupakan sumber referensi mengenai ajaran-ajaran sosialisme secara ilmiah, yang dipakai oleh banyak pemimpin-pemimpin bangsa kita. Salah satunya adalah Indonesia Menggugat, pidato pembelaan Bung Karno ayang dibacakan di muka Pengadilan di Bandung pada tahun 1930. Pledoi setebal 183 halaman itu jelas-jelas menunjukkan pengaruh yang besar sekali dari jalan pikiran Sneevliet yang dikembangkannya di tahun 1917.

Sejak saat itulah ajaran-ajaran Marxisme meluas di Indonesia. PKI berdiri di Semarang, pada tahun 1920 dengan Semaun-Darsono yang mempeloporinya. Di Surabaya Tjokroaminoto dari Serikat Islam, mulai juga memakai referensi-referensi kiri dan literatur yang disebut oleh Sneevliet di dalam pembelaannya, seperti: artikel Das Kapital-nya Marx.

Berbagai literatur tersebut mulai mulai dicari-cari beberapa aktivis. Ada juga yang berusaha mendapatkannya dengan membeli dan meminjam dari toko buku ISDV, dan dikaji di rumah Tjokroaminoto bersama-sama Surjopranoto, Alimin dan lain-lain. Termasuk salah satunya adalah Bung Karno, pemuda cerdas yang tahun 1916-1920 indekos pada keluarga Tjokroaminoto, seorang tokoh pergerakan di Surabaya. Hal tersebut diakuinya dalam sebuah surat yang ditulisnya saat dia menjalani masa pembuangan di Bengkulu, tahun 1941:
“Sejak saya sebagai seorang anak plonco, untuk pertama kalinya saya belajar kenal dengan teori Marxisme dari mulut seorang guru HBS yang berhaluan sosial demokrat (C. Hartough namanya) sampai memahamkan sendiri teori itu dengan membaca banyak-banyak buku Marxisme dari semua corak, sampai bekerja di dalam aktivitas politik, sampai sekarang, maka teori Marxisme bagiku adalah satu-satunya teori yang saya anggap kompeten buat memecahkan soal-soal sejarah, soal-soal politik, soal-soal kemasyarakatan.”

Terinspirasi oleh gerakan revolusi yang dilakukan oleh Bolshevik, ISDV mulai mengorganisir kalangan militer dengan membentuk dewan-dewan tentara dan pelaut. Dalam waktu tidak lebih dari tiga bulan sekitar tiga ribu prajurit dan pelaut menjadi anggota gerakan yang kemudian dikenal dengan nama tentara merah. Akan tetapi, tanpa diduga, waktu kemudian berjalan bertolak belakang dengan semangat revolusioner yang tengah berkembang. Revolusi Rusia yang menjadi perspektif bagi tumbuhnya revolusi Eropa dan negeri-negeri lain di Eropa, di belahan Eropa lainnya justru mengalami kekalahan dan diberangus, termasuk di Belanda. Akibatnya kemudian berimbas pula pada pergerakan di Indonesia. Reaksi juga menjalar ke Hindia Belanda, anggota-anggota tentara merah dan anggota ISDV ditangkap dan dipenjara, seiring dengan kekalahan dan gerakan revolusi Belanda.

Langkah Sneeviet pun masih belum terhenti. Pada 1920 dia hadir pada Kongres Kedua Komintern di Moskow sebagai perwakilan dari ISDV. Dan dari 1921 hingga 1923 menjadi perwakilan dari Comintern di China. Sekembalinya ke Belanda, dia menjadi ketua Sekretariat Nasional Buruh. Pada tahun 1929, dia mendirikan Partai Sosialis Revolusioner dan terpilih sebagai ketuanya. Setelah penggabungan partainya berubah nama menjadi Revolutionary Socialist Workers' Party, dimana Sneevliet menjadi sekretaris pertama dan kemudian kemudian menjadi ketua hingga 1940. Dia juga sempat menjadi anggota Parlemen dari 1933 hingga 1937. Pada saat perang Dunia Kedua dia memimpin grup pertahanan bernama Marx-Lenin-Luxemburg-Front. Dia kemudian tertangkap dan dieksekusi pada tahun 1942.
______________________________________________________
Diambil dari Koran Pembebasan Partai Rakyat Demokratik | No. 4 Tahun I November 2002

TIRTO ADHI SOERYO




Sang Pembebas yang Tersingkir dari Sejarah

Seorang besar acapkali baru terasa kadar kebesarannya tatkala dia sudah tiada. Dan selalu saja kita terlambat menyadarinya. Tak terbilang tokoh yang terlepas dari kesadaran historis kita, entah karena pemburaman ‘sejarah’ yang memang sering dikuasai kaum yang menang atau lantaran kita tak pernah sungguh-sungguh jujur dalam menilai kembali ‘sejarah’ kita sendiri. Dan karenanya, kita telah melupakan satu nama: Tirto Adhi Suryo. Sungguh ironis, mengingat dia adalah sosok paling penting bagi bangkitnya pergerakan kaum terdidik Indonesia. Tirto, pertama-tama harus diletakkan dalam setting sosial pergerakan nasional bangkitnya pers pribumi, pintu gerbang bagi, terutama, kaum terjajah ke alam demokrasi modern. Dan Tirto lah sang pemulanya. Tulisan-tulisannya yang tajam mengajarkan kaum terjajah untuk bangkit dan berani melawan kesewenangan kolonial, menjadi kaum mardika.
Pramudya Ananta Toer, penulis besarbeberapa kali, berturut-turut, dinominasikan meraih nobel kesusastraanmenuangkan segenap kekagumannya pada sang tokoh dengan menulis Sang Pemula dan tetralogi Buru Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca. Mencermati garis hidupnya, pada masanya Tirto memang seorang pribadi pemula, dalam segala hal. Ia lebih dikenal, itu pun oleh segelintir orang saja, sebagai perintis pers. Padahal, tangannya lah yang menciptakan hampir seluruh senjata bagi perubahan ke arah dunia modern. Tirto merupakan seorang pribumi pertama yang mendirikan NV (sebagai bentuk perniagaan), percetakan, hotel, lembaga bantuan hukum, lembaga penyalur tenaga kerja, perintis bidang periklanan, perintis emansipasi kaum perempuan, sekaligus pendiri SDI (menurut ejaan sekarang/MES: Serikat Dagang Islam), cikal bakal SI (MES: Serikat Islam), organisasi modern pribumi pertama dan terbesar di Indonesia.
Terlahir di Blora tahun 1880, dari keluarga aristokrat Jawa bapaknya seorang Bupati bernama RM Tirtodipuro. Djokomono, nama kecilnya. Satu hal yang membuatnya beruntung, karena asal muasal kastanya, adalah kesempatan mendapatkan pendidikan Eropa, sehingga ia bisa membandingkan antara kultur kasta bangsawannya, yang dianggapnya ‘kuno dan menindas’, dengan kultur ‘modern yang membebaskan’.
Djokomono kecil tak mengenal kedua orang tuanya dengan baik, sejak kecil ia hidup berpindah-pindah dari satu keluarga ke keluarga yang lain yang memiliki jabatan-jabatan penting pemerintahan di Jawa. Sosok yang ia sematkan hormat tertingginya adalah sang nenek seorang perempuan agung, yang dengan gagah berani menghadap Gubernur Jendral Hindia Belanda, memprotes ketidakadilan yang ditimpakan pada suaminya, seorang Bupati di Bojonegoro. Sang nenek lah yang memberinya petuah-petuah berharga: percaya pada kekuatan sendiri, tak takut pada kemiskinan dan kehilangan pangkat. Sikap Tirto yang berbeda dari watak kebanyakan kastanya: bicara lugas, berani menentang ketidakadilan, membuatnya tersisih dari pergaulan saudara-saudaranya. Terutama,
setelah ia menolak mentah-mentah meneruskan jabatan bapaknya.

Tirto, pribadi penggelisah dan sendiri, agaknya memang terlahir untuk membebaskan. Budaya tulis menghantarkannya pada dunia yang agung dan gemilang. Ia adalah seorang jurnalis pribumi pertama yang menulis dengan bahasa Melayu lingua franca. Ia adalah jurnalis yang jangkauan gagasannya melambung jauh melebihi keadaan jamannya. Di tangannya, pers menjelma sebagai senjata pembela keadilan. Dalam Zaman Bergerak, Takashi Shiraishi menyebut bahwa Tirto lah orang bumiputra pertama yang menggerakkan bangsa melalui tulisan. Tak berlebihan kiranya menyebut Tirto sebagai inisiator kebangkitan kesadaran nasional, yang mengawali langkahnya tanpa gentar: bahwa proses pemerdekaan harus dirintis dari dua bilah mata pisaukoran dan organisasi!

Titik terpenting hidupnya diawali ketika ia bersekolah di STOVIA pada usia
13 tahun. Ini memang tak lazim, umumnya anak para bangsawan lebih memilih sekolah pamong praja, yang menjamin jalan lempang menuju kekuasaan; sedangkan sekolah kedokteran, tentu lebih condong dengan ‘pengabdian’ ketimbang kekuasaan. Di sekolah ini lah dan di kota Batavia lah Tirto muda menempa diri dengan beragam pergaulan dan pengetahuan. Di lingkungan sosial seperti itu lah lah ia, untuk pertama kali, terbebas dari segala aturan feodal kebangsawanan yang menyesakkan.

Sejak mula cita-citanya cuma satu: membuat surat kabar sendiri, sebagai suluh penerang bagi bangsanya. Sayang, semua selalu terbentur ketiadaan dana.
Baru lah, pada tahun 1903, dengan bantuan modal dari RAA Prawiradiredja, Bupati Cianjur yang sepakat dengan ide-idenya, berdirilah surat kabar yang diberi nama Soenda Berita. Surat kabar pertama yang didirikan, dikelola dan diterbitkan oleh orang pribumi. Tujuannya adalah meningkatkan pengetahuan bangsanya, menyiapkan pembaca memasuki dunia modern.

Pada tahun 1905, ketika Soenda Berita sudah bisa mengorganisir diri, Tirto mengembara ke Maluku. Di sana ia bertemu dan menikah dengan seorang putri Raja Bacan, Princess Fatimah perempuan cerdas lulusan MULO yang mahir berbahasa Belanda; seseorang yang kelak kemudian menjadi anggota redaksi Medan Priyayi. Sepulang dari Maluku tempat ia menyaksikan kebiadaban kolonial warisan JP Coen sebuah gelora baru merubah semua bentuk tulisannya: menjadi lebih lugas, lebih garang. Pada tahun 1907, ia mendirikan Medan Priyayi, sebuah mingguan sederhana berformat 12,5 x 19,5 cm,
dengan tebal 22 halaman. Untuk mengatasi persoalan modal, ia memulai sebuah gagasan bentuk perniagaan, yakni dengan meminta pelanggan membayar lebih dahulu dengan imbalan memiliki saham perusahaan bernama NV Medan Priyayi. Itu lah bentuk perniagaan pertama yang didirikan pribumi.

Mingguan Medan Priyayi semakin berkembang pesat, bahkan, setahun kemudian, berubah menjadi harian. Tirto menciptakan gaya jurnalistik tersendiri, radikal dan penuh sindiran. Ia menulis tentang berbagai penyelewengan dan kesewenangan yang dilakukan pemerintah kolonial maupun para kaki tangan pribumi. Semangatnya untuk menggerakkan bangsanya menentang ketidakadilan semakin berkobar. Tulisan-tulisannya makin berani. Ia, yang sangat mengagumi Max Havelaar, mengungkap kebusukan-kebusukan kolonial yang dibungkus politik etis. Pemerintah kolonial murka. Lantaran tulisannya tentang penyalahgunaan jabatan di sebuah daerah, Tirto dibuang ke Lampung, selama 3 bulan. Saat itu, hampir semua aktivis yang berani membuka kedok kekuasaan kolonial ke media massa sempat dijebloskan ke penjara. Mereka dijerat pers-delict, dianggap mengganggu rust en orde kolonial. Mas Marko, seorang jurnalis muda radikal, 4 kali mendekam di tahanan lantaran tulisan-tulisannya.

Sekembalinya dari pembuangan, Tirto membenahi NV Medan Priyayi yang sempat terbengkelai. Pada tahun 1907 ia mendirikan Sarekat Priyayi,
organisasi pribumi pertama, yang kemudian berubah menjadi SDIuntuk mengorganisir para pedagang batik yang berbasis di Solo. Pada tahun 1911,
ia berkeliling ke kota-kota besar pusat modal pribumi untuk mengorganisir pembentukan cabang-cabang SDI. Untuk itu, kepemimpinan SDI, untuk sementara, diserahkan pada H. Samanhudi, seorang saudagar batik terkemuka di Solo. Sayang, sejarah kemudian berkata lain, peranan Tirto sebagai pendiri SDI dikikis oleh H Samanhudi sendiri. Pemerintah kolonial, yang sangat membenci Tirto, lewat DA Rinkers, seorang ilmuwan Belanda yang mengabdi pada politik kolonial, membantu mengaburkan fakta ketokohan Tirto. Hingga, kemudian, Samanhudi lah yang lebih dikenal sebagai pendiri SDI yang, kemudian, berkembang pesat dan berubah menjadi SI.

Gerakan perempuan juga menjadi komitmen Tirto. Pada tahun 1908,
ia merintis pendirian surat kabar Poeteri Hindia, yang melahirkan nama
Siti Soendari sebagai penulis termahsyur. Siti Soendari, berpendidikan Belanda, lebih memilih menjadi perempuan merdeka, yang bercita-cita, ketimbang mengikuti kehendak orang tua, yang menawarkan segala fasilitas dan kemudahan. Jadi lah Soendari sebagai sosok aktivis politik perempuan pribumi pertama. Kebangkitan pergerakan perempuan paska Kartini mulai bertunas dan, kemudian, berkembang ke penjuru tanah air. Sebarisan srikandi yang bertarung melawan kekuatan zaman bermunculan. Di Sumatra Barat muncul Rohana Koedoes, yang mendirikan koran ‘Sunting Melayu”. Selain lewat koran, menurut Tirto, kemajuan gerakan perempuan juga harus dimulai lewat sekolah, ia menjadi donatur tetap sekolah perempuan di Jawa Barat yang didirikan oleh Dewi Sartika.

1909-1912, adalah titik puncak kegemilangan surat kabar harian Medan Priyayi. Jumlah pelanggannya mencapai 2.000 orang. Suatu masa yang sangat dicita-citakan Tirto sejak mudamenyaksikan bangsanya bangkit dari kebodohan dan ketertindasan hampir saja tercapai. Sayang sekali, roda sejarah berbalik arah. Karena gangguan kolonial, Medan Priyayialat propaganda dan pengorganisiran yang sudah demikian kokoh itu, akhirnya runtuh satu per satu omsetnya terus merosot; setoran dari para pelanggannya macet; beberapa perusahaan menolak pasang iklan. Medan Priyayi tak mampu melunasi biaya percetakan. Akhirnya, Agustus 1912, Medan Priyayi gugur secara dramatis. Seperti diistilahkan Pram, “semua yang dibangunnya runtuh. Juga nama baiknya. Yang tinggal hidup adalah amal dan semangatnya.”

Sang tokoh ditahan lantaran tak mampu melunasi tunggakan hutang. Sebagai hukumannya, ia dibuang ke Ambon pada tahun 1913. Dua tahun berikutnya ia baru kembali ke Jawa, ketika semuanya telah berubah. Jaman terus bergulir. Organisasi makin banyak bermunculan, puluhan tokoh namanya terderek naik, menyesaki rongga ingatan rakyat. Pergerakan nasional hampir mencapai titik terangnya.

Barangkali memang sudah menjadi sebuah kelaziman sejarah, manusia-manusia berjiwa agung harus mengakhiri periode hidupnya dalam kesepian dan keterasingan. Apakah itu Galileo, yang mati di tiang gantung; Marx, Soekarno, juga Chairil Anwar, yang mati di ujung perih dan sepi. Djokomono Tirto Adhi Soeryo, meninggal setelah menderita sakit bertahun-tahun. Tak jelas penyakit yang dideritanya. Tak ada yang pernah memeriksa, sekalipun kawan-kawan dekatnya adalah dokter-dokter termahsyur pada masanya. Ia telah terlunta-lunta, sendiri. Hotel Medan Priyayi, miliknya, yang semula banyak menghidupi surat kabarnya, telah berpindah tangan ke sahabatnya sendiri Gunawan, ketika ia masih dalam pengasingan. Tirto bertahan sampai wafatnya di sana, karena itu lah satu-satunya tempat ‘miliknya’ yang bisa dituju. Ia tak punya lagi sanak saudara. Tirtoyang, menurut propaganda kolonial, sangat berbahaya kondisinya sudah rapuh dan papa, membuat semua sahabatnya menjauh. Musuh-musuhnya kegirangan dan menyebut tokoh agung ini “terlunta-lunta
dan gila’.

Pada tanggal 7 Desember 1918, seperti digambarkan oleh mas Marko, seorang murid dan pengagum Tirto, dalam tulisannya: “dengan diantar rombongan sangat kecil jenazahnya dibawa ke peristirahatan terakhirnya di Mangga Dua.” Tak satupun koran memuat kabar kematiannya. Ia benar-benar telah dilupakan oleh bangsanya, yang dicintai, dan dididiknya untuk maju. Sementara itu, perjuangan pembebasan umat manusia, yang merupakan bagian terbesar dari seluruh perjuangan hidup dan cita-cita Tirto Adhi Soeryo, lambat laun mengalun. Ia telah terbaring tenang. Sebagaimana ditulis Pram dalam Sang Pemula: “ Seperti jamak menimpa seorang pemula, terbuang setelah madu mulia habis terhisap, sekiranya ia tak mulai tradisi menggunakan pers sebagai alat perjuangan dan pemersatu dalam masyarakat heterogen seperti Hindia, bagaimana sebuah nation seperti Indonesia akan terbentuk?” ***

________________________________
Diambil dari Koran Pembebasan
Partai Rakyat Demokratik [PRD]

ROQUE DALTON





Aku Senang Tertawa, dan Mengasihi Rakyat

Diambil Dari Koran Pembebasan Partai Rakyat Demokratik

Roque Dalton lahir pada 14 Mei 1935 di San Salvador El Salvador. Bapaknya salah seorang dari residivis Dalton Bersaudara. Ibunya seorang perawat yang menanggung hidup keluarganya. Setelah setahun di Universitas Santiago Chili, Roque mendaftar ke Universitas San Salvador tahun 1956, di sini ia mendirikan Lingkaran Studi Sastra Universitas yang gedungnya kemudian dibakar tentara. Setahun setelah itu, ia bergabung dengan Partai Komunis; karenanya pada tahun 1959 dan tahun 1960 ia dipenjara dengan dakwaan menghasut tentara dan kaum tani untuk memberontak pada tuan tanah. Dalton divonis mati, tapi hidupnya diselamatkan sehari sebelum eksekusi saat diktator Kolonel José Maria Lemus terguling. Pada tahun 1961 ia menjalani pembuangan di Mexico, menulis beberapa sajak yang dipublikasikan dalam La Ventana en el rostro (“Jendela yang di Hadapan Mukaku”) dan El turno del ofendido (“Giliran Mereka yang dizalimi”) yang ia dedikasikan untuk kepala kepolisan El Salvador, yang gagal mendakwanya.

Ia ke Mexico, sebagai buangan politik. Dari Mexico Roque secara sukarela pindah dan menetap di Kuba. Dengan hangat para penulis Kuba dan buangan Amerika Latin yang biasa ngumpul-ngumpul di Casa de las Amèricas menyambutnya. Sejak saat itu [dimulai dengan karyanya “Jendela di Hadapan Mukaku” dan El Mar (“Laut Itu”) pada tahun 1962] hampir seluruh karya puisinya diterbitkan di Kuba. Pada musim panas 1965 ia kembali ke El Salvador untuk melanjutkankan perjuangan politiknya. Dua bulan setelah kedatangannya, ia ditangkap lagi, disiksa dan lagi-lagi divonis mati. Tapi lagi-lagi ia berhasil melarikan diri saat gempa bumi menghancurkan dinding selnya, ia gali reruntuhan dinding selnya menjadi lubang jalan lari.

Roque kembali ke Kuba dan, beberapa bulan kemudian Partai Komunis mengirimnya ke Praha sebagai koresponden The International Review: Problems of Peace and Socialism. Pada tahun 1969 bukunya Taberna y ostros lugares (“Warung Tempat Mabuk dan Tempat-tempat Lainnya”) yang menggambarkan pengalaman selama ia tinggal di Praha memenangkan Penghargaan Pusisi Casa de las Amèricas dan menempatkannya pada umur 34 tahun sebagai salah seorang penyair muda terbaik Amerika Latin. Pada tahun 1975, faksi militer gerilya Marxis, Rakyat Revolusioner Ejército (ERP) secara tak adil menuduhnya mencoba memecah belah organisasi dan menghakiminya dengan hukuman mati. Mereka mengeksekusinya pada 10 Mei 1975, empat hari sebelum ulang tahunnya yang ke-40.

Akh, puisi, ia pun menyayangi revolusi
Kelahirannya sebagai anak haram dan statusnya sebagai anak tersingkir di sekolah anak-anak orang kaya, mematangkan perasaan sakithatinya, dan itu lah tak diragukan lagi, akar yang menentukan Roque menolak norma-norma yang ada, yang terbawa hingga masa dewasanya. Ia lah yang terpandai di kelasnya, terpilih sebagai murid rangking tertinggi pada hari wisuda. Pada perayaan wisuda, ia mengambil kesempatan untuk melampiaskan perasaan sakithatinya pada kemunafikan guru-guru Jesuitnya yang tanpa malu-malu mendukung prasangka-prasangka mayoritas orang kaya di sekolahnya, walau pun mereka tak terang-terangan menyemangatinya, tapi mereka mentolerir perlakuan diskrininatif (yang menjijikan) murid-murid kaya terhadap saudara-saudara sesama umat Yesus yang miskin atau anak-anak haram.

Roque sudah menjadi seorang revolusioner militan saat revolusi Kuba (Januari 1959) menghasilkan kejutan (bagai gempa) dalam kesadaran sosial seluruh orang Amerika Latin. Pasti lah merupakan pengalaman luar biasa bagi penyair berumur 24 tahun menyaksikan bahwa keyakinan revolusionernya bisa diwujudkan, apalagi telah ia lantangkan, sudah ia kerjakan bahkan pernah

Salah satu konsekwensi vitalitasnya adalah hasil kerjanya yang berlimpah: 18 volume puisi dan prosa, sebelum kematian (prematur) pada usia 40 tahun. Konsekwensi lainnya, penampakkan tak sabaran untuk merevisi-mengerjakan ulang sajak-sajaknya. Walaupun faktanya bahwa banyak karya sindirannya dipulas dan diasah bagaikan intan, tapi seseorang akan mendapat kesan seakan-akan karya-karyanya tak diolah secara hati-hati dan sabar, atau datang begitu saja ke kepalanya, dan terdorong ke luar begitu saja mungkin di bagian belakang amplop, atau di selembar tissue-tatakan, dikumpulkan, lalu masuk kantong. Membaca kembali karyanya, seesorang tak bisa menghindari sensasi (dipancarkan, tak ragu lagi, oleh pengetahuan setelah momen terjadi) bahwa dia penulis yang terburu-buru; bahwa ia, dalam beberapa hal, tahu waktunya terbatas, hari-harinya terbatas, dan ia harus segera memanfaatkan setiap momentum, apapun aktivitas yang sedang ia jalani.

Ia akan bercerita tentang hal-hal fantastik tentang El Salvador seperti yang dikarangannya. Seorang lelaki yang pernah dipenjara seorang yang benar-benar menyelam ke kedalaman penjara yang dipenuhi kecoa, selama beberapa tahun. Gila, memang, saat mereka memberikan kesempatan padanya untuk melarikan diri dari penjara; ia tak mau melepaskan kesempatan tersebut sampai gigitan kecoa yang terakhir. Ia akan tersenyum penuh berkah dan baginya dikelilingi kecoa bagai dikelilingi kupu-kupu. Sekali waktu Roque pernah dipenjara dan mereka akan menembaknya. Apalagi mereka menghasut agar partai percaya bahwa ia adalah agen dan intel CIA. Maksud mereka agar jika ia dibunuh ia tak akan jadi martir. Ia tak percaya Tuhan tapi malam itu ia berdoa, ia berlutut di sel-nya dan berdoa. Bila “keberuntungan gila” datang katanya, datang lah gempa bumi malam ini juga, penjara runtuh dan ia melarikan diri. Cinto Vitier, Fina dan Aku menertawainya, mengatakan padanya bahwa kami punya sebutan lain bagi apa yang ia sebut sebagai “keberuntungan gila”, dan ia juga tertawa. Roque selalu ada dalam susana humor (tak kepalang tanggung), walau banyak hal mengerikan telah ia jalani, segala hal mengerikan yang akan selalu menunggunya di depan hidupnya yang, sebenarnya, sudah ia perkirakan sebelumnya. Komitmen Roque Dalton pada revolusi bagai suatu akad nikah. Ia mengawini revolusi. Takdirnya bukan sekadar menyanyikan revolusi, tapi juga memberikan hidupnya, nyawanya, bagi revolusi. Sekarang ia merasuk lagi dalam kehidupan banyak orang, ia hidup kembali dalam pemberontakan El Salvador. Ia selalu tertawa, di tengah-tengah pembantaian, di tengah-tengah tangisan. Ia tertawa karena ia merasa menang. Seolah-olah ia lah pemenangnya. Roque Dalton akan menjadi taman kanak-kanak, sekolah-sekolah, rumah sakit-rumah sakit; ia akan menjadi sajak yang ia tulis dan sajak-sajak lainnya yang belum ia tulis. Roque Dalton akan tertawa, penduduk Roque Dalton yang bahagia.

Karya sindiran-nyinyir (nya) dibasuh kemanusiaan yang lemah lembut; Menurut Majalah Reportase Katolik Nasional: …seorang yang sederhana, jujur, kawan rakyat El Salvador yang penuh dedikasi; Anaknya Juan Jose Dalton mengatakan: “Ayahku dibunuh karena perbedaan politik, dan pimpinan gerilaya ERP tak pernah memebrikan otok-ktitik resmi yang mendalam dan sadar.”

Aku
Sebagaimana juga kau
yang mencintai rasa sayang, mencintai hidup, pertemuan yang manis
dalam segala hal, pemandangan birunya langit
di satu hari bulan Januari.

Darahku juga mendidih
dan aku tertawa hingga mataku
paham pedihnya airmata.

Menurutku dunia ini indah
dan puisi bagai roti; milik semua orang.
Dan urat-urat syarafku tak berujung di diriku
tapi di banjirnya darah
mereka yang berjuang untuk hidup,
cinta,
segala sesuatu,
pemandangan dan roti,
puisi bagi semuanya.

Roque Dalton

Selasa, 11 Agustus 2009

PROFILE CHE GUEVARA


Nama lain: Che
Tanggal lahir: 14 Juni 1928[1]
Tempat lahir: Rosario, Argentina
Tanggal kematian: 9 Oktober 1967
Tempat kematian: La Higuera, Bolivia
Organisasi utama: Gerakan 26 Juli

Ernesto Guevara Lynch de La Serna (Rosario, Argentina, 14 Juni 1928 - Bolivia, 9 Oktober 1967) adalah pejuang revolusi Marxis Argentina dan seorang pemimpin gerilya Kuba.

Guevara dilahirkan di Rosario, Argentina, dari keluarga berdarah campuran Irlandia, Basque dan Spanyol. Tanggal lahir yang ditulis pada akta kelahirannya yakni 14 Juni 1928, namun yang sebenarnya adalah 14 Mei 1928.

Masa kecil

Sejak usia dua tahun Che Guevara mengidap asma yang diderita sepanjang hidupnya. Karena itu keluarganya pindah ke daerah yang lebih kering, yaitu daerah Alta Gracia (Córdoba) namun kesehatannya tidak membaik. Pendidikan dasar ia dapatkan di rumah sebagian dari ibunya, Celia de la Serna. Pada usianya yang begitu muda, Che Guevara telah menjadi seorang pembaca yang lahap. Ia rajin membaca literatur tentang Karl Marx, Engels dan Sigmund Freud yang ada di perpustakaan ayahnya. Memasuki sekolah menegah pertama (1941) di Colegio Nacional Deán Funes (Córdoba). Di sekolah ini dia menjadi yang terbaik di bidang sastra dan olahraga. Di rumahnya, Che Guevara tergerak hatinya oleh para pengungsi perang saudara Spanyol, juga oleh rentetan krisis politik yang parah di Argentina. Krisis ini memuncak di bawah pemerintahan diktator fasis kiri, Juan Peron, seorang yang ditentang Guevara. Berbagai peristiwa tertanam kuat dalam diri Guevara, ia melihat sebuah penghinaan dalam pantomim yang dilakonkan di Parlemen dengan demokrasinya. Maka muncul pulalah kebenciannya akan politisi militer beserta kaum kapitalis dan terutama kepada dolar Amerika Serikat ,yang dianggap sebagai lambang kapitalisme.

Meski demikian dia sama sekali tidak ikut dalam gerakan pelajar revolusioner. Ia hanya menunjukkan sedikit minat dalam bidang politik di Universitas Buenos Aires, (1947), tempat ia belajar ilmu kedokteran. Pada awalnya ia hanya tertarik memperdalam penyakitnya sendiri, namun kemudian dia tertarik pada penyakit kusta.

Pada tahun 1949 ia memulai perjalanan panjangnya yang pertama, menjelajahi Argentina Utara hanya dengan bersepeda motor. Itulah untuk pertama kalinya ia bersentuhan langsung dengan orang miskin dan sisa suku Indian. Selanjutnya pada tahun 1951 setelah menempuh ujian-ujian pertengahan semester Che mengadakan perjalanan yang lebih panjang didampingi dengan seorang teman dan untuk nafkah hidupnya dia bekerja sebagai pekerja paruh waktu. Ia mengunjungi Amerika Selatan, Chili di mana dia bertemu Salvador Allende, dan di Peru ia bekerja sama selama beberapa minggu di Leprasorium San Pablo, di Kolombia ia tiba pada saat La Violencia, di Venezuela ia ditangkap tetapi dilepaskan kembali, kemudian ia juga mengunjungi Miami. Che Guevara mengisahkan perjalanannya dalam buku harian yang kemudian diterbitkan dalam sebuah buku dengan judul Buku Harian Sepeda Motor (The Motorcycle Diaries), yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris pada 1996 dan kemudian difilmkan dengan judul yang sama pada 2004.


Perjalanan Che Guevara

Ia kembali ke daerah asalnya dengan sebuah keyakinan bulat atas satu hal bahwa ia tidak mau menjadi profesional kelas menengah dikarenakan keahliannya sebagai seorang spesialis kulit. Kemudian pada masa revolusi nasional ia pergi ke La Paz, Bolivia di sana ia dituduh sebagai seorang oportunis. Dari situ ia melanjutkan perjalanan ke Guatemala dan mencukupi kebutuhan hidupnya dengan menulis artikel arkeologi tentang reruntuhan Indian Maya dan Inca. Guatemala saat itu diperintah oleh Presiden Jacobo Arbenz Guzman yang seorang sosialis. Meskipun Che telah menjadi penganut paham marxisme dan ahli sosial Lenin ia tak mau bergabung dalam Partai Komunis. Hal ini mengakibatkan hilangnya kesempatan baginya untuk menjadi tenaga medis pemerintah, oleh karena itu ia menjadi miskin. Ia tinggal bersama Hilda Gadea, penganut paham Marxis keturunan Indian lulusan pendidikan politik. Orang inilah yang memperkenalkannya kepada Nico Lopez, salah satu Letnan Fidel Castro. Di Guatemala dia melihat kerja agen CIA sebagai agen kontrarevolusi dan semakin yakin bahwa revolusi hanya dapat dilakukan dengan jaminan persenjataan. Ketika Presiden Arbenz turun jabatan, Guevara pindah ke Kota Mexico (September 1954) dan bekerja di Rumah Sakit Umum, diikuti Hilda Gadea dan Nico Lopez. Guevara bertemu dan kagum pada Raúl Castro dan Fidel Castro juga para emigran politik dan ia menyadari bahwa Fidel-lah pemimpin yang ia cari.


Bergabung dengan Fidel Castro di Kuba

Ia bergabung dengan pengikut Castro di rumah-rumah petani tempat para pejuang revolusi Kuba dilatih perang gerilya secara keras dan profesional oleh kapten tentara Republik Spanyol Alberto Bayo, seorang pengarang "Ciento cincuenta preguntas a un guerilleo" (Seratus lima puluh pertanyaan kepada seorang gerilyawan) di Havana, tahun 1959. Bayo tidak hanya mengajarkan pengalaman pribadinya tetapi juga ajaran Mao Ze Dong dan Che (dalam bahasa Italia berarti teman sekamar dan teman dekat) menjadi murid kesayangannya dan menjadi pemimpin di kelas. Latihan perang di tanah pertanian membuat polisi setempat curiga dan Che beserta orang-orang Kuba tersebut ditangkap namun dilepaskan sebulan kemudian.

Pada bulan Juni 1956 ketika mereka menyerbu Kuba, Che pergi bersama mereka, pada awalnya sebagai dokter namun kemudian sebagai komandan tentara revolusioner Barbutos. Ia yang paling agresif dan pandai dan paling berhasil dari semua pemimpin gerilya dan yang paling bersungguh-sungguh memberikan ajaran Lenin kepada anak buahnya. Ia juga seorang yang berdisiplin kejam yang tidak sungkan-sungkan menembak orang yang ceroboh dan di arena inilah ia mendapatkan reputasi atas kekejamannya yang berdarah dingin dalam eksekusi massa pendukung fanatik presiden yang terguling Batista. Pada saat revolusi dimenangkan, Guevara merupakan orang kedua setelah Fidel Castro dalam pemerintahan baru Kuba dan yang bertanggung jawab menggiring Castro ke dalam komunisme yang menuju komunisme merdeka bukan komunisme ortodoks ala Moskwa yang dianut beberapa teman kuliahnya. Che mengorganisasi dan memimpin "Instituto Nacional de la forma Agraria", yang menyusun hukum agraria yang isinya menyita tanah-tanah milik kaum feodal (tuan tanah), mendirikan Departemen Industri dan ditunjuk sebagai Presiden Bank Nasional Kuba dan menggusur orang orang komunis dari pemerintahan serta pos-pos strategis. Ia bertindak keras melawan dua ekonom Perancis yang beraliran Marxis yang dimintai nasehatnya oleh Fidel Castro dan yang menginginkan Che bertindak lebih perlahan. Che pula yang melawan para penasihat Uni Soviet. Dia mengantarkan perekonomian Kuba begitu cepat ke komunisme total, menggandakan panen dan mendiversifikasikan produksi yang ia hancurkan secara temporer.


Pernikahan Che Guevara

Pada tahun 1959, Guevara menikahi Aledia March, kemudian berdua mengunjungi Mesir, India, Jepang, Indonesia yang juga hadir pada Konfrensi Asia Afrika, Pakistan dan Yugoslavia. Sekembalinya ke Kuba ia diangkat sebagai Menteri Perindustrian, menandatangani pakta perdagangan (Februari 1960) dengan Uni Soviet yang melepaskan industri gula Kuba pada ketergantungan pasar Amerika. Ini merupakan isyarat akan kegagalannya di Kongo dan Bolivia sebuah aksioma akan sebuah kekeliruan yang tak akan terelakkan. "Tidaklah penting menunggu sampai kondisi yang memungkinkan sebuah revolusi terwujud sebab fokus instruksional dapat mewujudkannya" ucapnya dan dengan ajaran Mao Ze Dong ia percaya bahwa daerah daerah pasti membawa revolusi ke kota yang sebagian besar penduduknya adalah petani. Juga pada saat ini ia menyebarkan filosofi komunisnya (diterbitkan kemudian dalam "The Socialism and Man in Cuba", 12 Maret 1965). Ia meringkas pahamnya menjadi "Manusia dapat sungguh mencapai tingkat kemanusiaan yang sempurna ketika berproduksi tanpa dipaksa oleh kebutuhan fisiknya sehingga ia harus menjual dirinya sebagai barang dagangan".


Konfrontasi dengan Uni Soviet

Penentangan resminya terhadap komunis Uni Soviet tampak ketika dalam organisasi untuk Solidaritas Asia Afrika di Aljazair (Februari 1965) menuduh Uni Soviet sebagai kaki tangan imperialisme dengan berdagang tak hanya dengan negara-negara blok komunis dan memberikan bantuan pada negara berkembang sosialis atas pertimbangan pengembaliannya. Ia juga menyerang pemerintahan Soviet atas kebijakan hidup bertetangga dan juga atas Revisionisme. Guevara mengadakan konferensi Tiga Benua untuk merealisasikan program revolusioner, pemberontakan, kerjasama gerilya dari Afrika, Asia dan Amerika Selatan. Di samping itu setelah terpaksa berhubungan dengan Amerika Serikat, ia sebagai perwakilan Kuba di PBB menyerang negara-negara Amerika Utara atas keserakahan mereka dan imperialisme yang kejam di Amerika Latin.

Sikap Che yang tidak kenal kompromi pada dua negara kapitalis mendorong negara komunis untuk memaksa Castro memberhentikan Che (1965, bukan secara resmi tetapi secara nyata. Untuk beberapa bulan tempat tinggalnya dirahasiakan dan kematiannya santer diisukan. Ia berada di berbagai Negara Afrika terutama Kongo di mana dia mengadakan survei akan kemungkinan mengubah pemberontakan Kinshasa menjadi sebuah revolusi komunis dengan taktik gerilya Kuba. Ia kembali ke Kuba untuk melatih para sukarelawan untuk proyek ini dan mengirim kekuatan 120 orang Kuba ke Kongo. Anak buahnya bertempur dengan sungguh-sungguh tetapi tidak demikian halnya dengan para pemberontak Kinshasa. Mereka sia-sia saja melawan kekejaman Belgia dan ketika musim gugur 1965 Che meminta Castro untuk menarik mundur saja bantuan Kuba.


Kematian Che Guevara

Petualangan revolusioner terakhir Che adalah di Bolivia, karena ia salah memperkirakan potensi negara itu yang mengakibatkan konsekuensi yang buruk. Tertangkapnya Che oleh tentara Bolivia pada 8 Oktober 1967 adalah akhir dari segala usahanya dan hukuman tembak dijatuhkan sehari setelah itu.

Pada tanggal 12 Juli 1997 jenazahnya dikuburkan kembali dengan upacara kemiliteran di Santa Clara, di provinsi Las Villas, di mana Guevara mengalami kemenangan dalam pertempuran ketika revolusi Kuba.

Che manjadi legenda. Ia dikenang karena keganasannya, penampilannya yang romantis, gayanya yang menarik, sikapnya yang tak kenal kompromi dan penolakan atas penghormatan berlebihan atas semua reformasi murni dan pengabdiannya untuk kekejaman dan sikapnya yang flamboyan. Ia juga idola para pejuang revolusi dan bahkan kaum muda generasi tahun 1960-1970 atas tindakan revolusi yang berani yang tampak oleh jutaan orang muda sebagai satu-satunya harapan dalam perombakan lingkup borjuis kapitalisme, industri dan komunisme.


Penghormatan terhadap Che Guevara

Berbagai tokoh sastra, musik dan seni telah mempersembahkan komposisinya kepada Che Guevara. Penyair Chili Pablo Neruda mempersembahkan kepadanya puisi Tristeza en la muerte de un héroe (Kesedihan karena kematian seorang pahlawan) dalam karyanya Fin del mundo (Akhir dunia) pada 1969. Pengarang Uruguay, Mario Benedetti menerbitkan pada 1967 serangkaian puisi yang dipersembahkan kepadanya dengan judul A Ras del Sueño (Pada tingkat impian). Penyanyi Carlos Puebla mempersembahkan sebuah lagu Hasta siempre comandante Che Guevara (Untuk selamanya komandan Che Guevara) dan Los Fabulosos Cadillacs, Gallo Rojo (Ayam jantan merah), yang muncul dalam album El León (Singa) pada 1991.

BUKU TAMU


ShoutMix chat widget
Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger