KIBARKAN TRIPANJI PEMBEBASAN NASIONAL 1. HAPUSKAN HUTANG LUAR NEGERI 2. NASIONALISASI ASSET ASING 3. INDUSTRIALISASI NASIONAL

Senin, 28 Desember 2009

Seni Musik Sebagai Budaya Pembebasan. MungkinKAH…?

Oleh: Amoye Egeidaby

Apa itu arti dari musik? Musik adalah bunyi atau suara yang didengarkan oleh setiap individu dan memiliki makna dan pesan tertentu yang berbeda-beda berdasarkan sejarah, lokasi, budaya dan selera seseorang. Dari bunyi atau suara yang didengarkan mengatakan sesuatu tentang sesuatu, jadi musik berhadapan dengan makna dan pesan untuk diresapkan. Makna dan pesan tersebut bisa dipengaruhi oleh konteks saat manusia berkarya, baik itu tujuan, pendengarnya dan sebagainya. Musik dapat berfungsi sebagai ungkapan perhatian, baik bagi para pendengar yang mendengarkan maupun bagi pemusik yang menggubahnya

Musik merupakan bagian dari musik temporal, yaitu bahwa musik hadir dalam tari dan drama. Musik mengandung kumpulan yang sistematis dan teratur dari berbagai komponen suara -- irama, melodi, dan keselarasan -- untuk dapat dilihat dan dinikmati. Musik, seperti bentuk seni lainnya, merupakan ekspresi yang penuh gaya. Musik melibatkan pengelolaan serta keterampilan dari materi artistik sehingga dapat menyajikan atau mengkomunikasikan suatu hal tertentu, gagasan, atau keadaan perasaan.


Seorang komponis menciptakan suatu lagu berdasarkan situasi yang sedang dialaminya. Jika saat situasinya sedih maka lirikan lagu yang diciptakannya pun sedih, pada saat situasi komponis sedang merasa gembira atau bangga Ia akan menciptakan lagu dengan lirikan lagu yang bangga atau gembira. Begitu juga jika lagunya ingin melukiskan suatu keadaan alam atau situasi suatu lokasi, maka Ia akan menyusun keadaan alam itu dari bait ke bait dalam suatu lirikan lagu. Sehingga pendengarnya pun seakan-akan ikut merasakan apa yang dirasakan oleh komponis pada saat menciptakan lagu tersebut.

Jika musik pada dasarnya sebuah bentuk aktivitas manusia yang memunyai maksud tertentu, setidaknya musik meliputi tiga komponen yaitu, komponis, produk musikal yang dihasilkannya, dan aktivitas dimana komponis tersebut membuat produk musikal. Tetapi ketiga hal tersebut tidak lengkap. Komponis membuat sesuatu (musik), berada dalam konteks yang spesifik. Artinya bahwa ketika komponis mengeluarkan ide, akan dipengaruhi oleh konteks tertentu, seperti yang telah disebutkan di atas, bisa dilihat dari tujuannya, para pendengarnya, tempatnya atau waktunya.

Contoh kasus, ketika seorang komponis menciptakan karya musik dari alat musik tifa. Untuk membunyikan tifa tersebut, dipukul sesuai dengan norma tertentu, tetapi si komponis membunyikannya dengan cara digesek dan dipukul dengan batu bahkan digelindingkan bak sebuah ban yang akan diangkut ke dalam truk. Tentu saja apa yang dilakukan si komponis merupakan hal yang gila bukan? Tentu saja tidak, apabila dikaitkan dengan konteks yang telah dijelaskan tadi. Artinya si komponis mempunyai tujuan, mengetahui siapa pendengarnya atau audiensnya, mengetahui dimana tempat dan waktunya.


Musik Sebagai Pembebasan

Tahun 1968 banyak disebut sebagai tahun kelahiran musik reggae. Sebenarnya tidak ada kejadian khusus yang menjadi penanda awal muasalnya, kecuali peralihan selera musik masyarakat Jamaika dari Ska dan Rocsteady, yang sempat populer di kalangan muda pada paruh awal hingga akhir tahun 1960-an, pada irama musik baru yang bertempo lebih lambat : reggae. Boleh jadi hingar bingar dan tempo cepat Ska dan Rocksteady kurang mengena dengan kondisi sosial dan ekonomi di Jamaika yang sedang penuh tekanan.

Kata “reggae” diduga berasal dari pengucapan dalam logat Afrika dari kata “ragged” (gerak kagok–seperti hentak badan pada orang yang menari dengan iringan musik ska atau reggae). Irama musik reggae sendiri dipengaruhi elemen musik R&B yang lahir di New Orleans, Soul, Rock, ritmik Afro-Caribean (Calypso, Merengue, Rhumba) dan musik rakyat Jamaika yang disebut Mento, yang kaya dengan irama Afrika. Irama musik yang banyak dianggap menjadi pendahulu reggae adalah Ska dan Rocksteady, bentuk interpretasi musikal R&B yang berkembang di Jamaika yang sarat dengan pengaruh musik Afro-Amerika. Secara teknis dan musikal banyak eksplorasi yang dilakukan musisi Ska, diantaranya cara mengocok gitar secara terbalik (up-strokes), memberi tekanan nada pada nada lemah (syncopated) dan ketukan drum multi-ritmik yang kompleks.

Teknik para musisi Ska dan Rocsteady dalam memainkan alat musik, banyak ditirukan oleh musisi reggae. Namun tempo musiknya jauh lebih lambat dengan dentum bas dan rhythm guitar lebih menonjol. Karakter vokal biasanya berat dengan pola lagu seperti pepujian (chant), yang dipengaruhi pula irama tetabuhan, cara menyanyi dan mistik dari Rastafari. Tempo musik yang lebih lambat, pada saatnya mendukung penyampaian pesan melalui lirik lagu yang terkait dengan tradisi religi Rastafari dan permasalahan sosial politik humanistik dan universal.

Perlawanan Budaya. Jika merujuk pada seorang penyanyi beraliran musik reggae asal Jamaika, dengan ciri khas dandanan dan rambut kimbalnya, Bob Marley telah berkesenian sesuai dengan kehendak hatinya. Menyuarakan kaum tertindas dalam lagunya tanpa memikirkan kepentingan pasar dan niat untuk membentuk organisasi perlawanan terhadap sistem yang berkuasa. Begitu juga di Papua, perlawanan terhadap fenomena sosial dan rezim yang berkuasa juga ditunjukan oleh Black Brothers era 1970an hingga 1980an. Dalam lagu-lagunya yang banyak mengangkat tema kritik sosial adalah: Hari Kiamat, Derita Tiada Akhir, Ammapondo, Tiada Senyum di Akhir Senja, Hilang, Kr. Kenangan, Wainapire, Musik Masa Kini, Kr. Gunung Sicloop dan masih banyak lagu lain yang bermotif perjuangan.

Black Brothers termasuk kategori group band termahal di Indonesia pada masa itu bersama Panbers dan Koes Plus. Namun Black Brothers melarikan diri ke Papua Nugini, Vanuatu, Australia dan Belanda karena diduga membantu OPM untuk perjuangan Papua merdeka. Pada kenyataannya yang Black Brothers lakukan hal adalah sama dengan yang dilakukan oleh Bob Marley. Yaitu sama-sama berjuang dan melakukan perlawanan sosial lewat karya seni, khususnya lewat lagu yang mereka ciptakan. Mereka menyuarakan apa yang menjadi kehendak hatinya dan tanpa adanya permintaan pasar. Tapi perjuangan yang mereka suarakan hanya lewat karyanya saja, tanpa bermaksud untuk memobilisasi ide dari perjuangannya dengan membentuk organisasi sosial. Alasan yang sering diutarakan seniman dalam berjuang, untuk tidak membentuk organisasi sosial adalah agar menjaga kemurnian kesenian itu, meski tema-tema yang diangkatnya bermuatan politis. Seniman seperti ini tidak memiliki niatan membentuk organisasi perlawanan untuk menolong kaum tertindas yang sering disuarakan lewat lagunya. Mereka tetap konsisten berjuang hanya melalui jalur kesenian dan karya-karyanya yang kritis terhadap rezim berkuasa. Perjuangan untuk membebaskan rakyat jelata dari penindasan, memang tak dapat dilakukan secara individu tetapi haruslah secara terorganisir dan kontinu.

Karya Seni yang hanya menjadi instrumen hegemoni dari budaya global membuat ilusi-ilusi dan fantasi dimana kemudian secara tidak disadari membuat penikmat lupa terhadap realitas sosial disekitarnya. Yang lebih parah lagi adalah implikasinya terhadap kaum tertindas; dimana disaat mereka seharusnya sedang berpikir dan mengusahakan terwujudnya suatu perubahan menuju keadaan yang lebih baik, seniman-budayawan malah terlena dalam suasana mabuk keharuan, cinta, kasih sayang, dan kondisi melankolis. Seni sebagai konsep perlawanan adalah subordinat dari sebuah perlawanan budaya (counter cultur). Konsuekensinya karya seni tersebut akan terpinggirkan meski mungkin cuma sementara dan akan menghadapi penolakan secara reaksioner dari masyarakat. Karya seperti ini juga memiliki risiko "dijinakkan" oleh hegemoni sistem yang ada dengan mengubahnya menjadi sekedar konsep alternatif yang kemudian bakal menjadi mainstream kesenian. Dalam konteks gerakan perubahan, seni adalah sebuah media sekaligus alternatif perlawanan. Meski begitu seni tidak dapat lepas sebagai sebuah bentuk perlawanan budaya (counter culture) tersendiri. Karya seni perlawanan dapat mengartikulasikan secara sekaligus hasrat ekspresi seniman dengan tanpa menegasikan idealisme dan potensi revolusioner-nya.

Pertanyaannya sekarang bagi kita seniman dan budayawan yang tergerak untuk melawan penindasan budaya yang sepakat untuk memperjuangkan hak mereka agar dapat memiliki kesempatan mengembangkan budaya sendiri maka organisasi sebagai alat perjuangan kepentingan adalah kebutuhan mendesak yang harus segera dibentuk. Tugas yang juga mendesak adalah membuka kesadaran seniman sendiri yang masih banyak menganggap bahwa kondisi ini tidak ada hubungannya dengan sistem ekonomi yang diterapkan oleh negara Indonesia. Dengan menganalisa basis struktur yang terjadi di masyarakat tentunya seniman dapat melihat unsur ketertindasan mereka sehingga mereka lebih sedikit mendapat kesempatan untuk tampil dan mendapat pengakuan masyarakat.

Bagi penyanyi dalam sebuah kelompok, musik memberikan suatu komunikasi yang intim dan emosional antara pemimpin dan anggota kelompok secara individu dan antara anggota itu sendiri yang terjadi bahkan ketika hubungan antarpribadi terbatas atau/dan pecah. Musik dapat mempersatukan suatu kelompok yang beraneka ragam menjadi suatu unit yang fungsional. Fungsi musik sebagai ungkapan perhatian dapat dilihat dalam hal musik dialami sebagai suatu pemberian dari orang-orang yang kelihatannya tidak memilki apa-apa.

Black Brothers yang pernah berkiprah di Indonesia era 1970-an tidak akan muncul lagi dipanggung seni , namun semuanya itu kenagan yang ditinggalkan. Kapan Black Brothers Junior akan muncul ke permukaan…..? (sebuah impian yang belum pernah terjawab, hanya ilusi belaka)….semoga…!!!(Dari berbagai sumber)

Senin, 28 September 2009

Mengapa Kuba Masih Bermakna

Diana Raby

Pada awal 1990an terdapat kebulatan pandangan di antara media, dalam lingkaran politik Barat, dan bahkan di antara akademisi bahwa keruntuhan revolusi Kuba sudah dekat. Bahkan kini, banyak pengamat memandang bahwa hanya masalah waktu bagi Kuba untuk mengalami transisi ke demokrasi (yang dipahami sebagai definisi sempit poliarki) dan "ekonomi pasar."

Tapi bahwa sosialisme Kuba nyatanya telah mampu bertahan dengan ketegaran luar biasa dalam "Periode Khusus" dan masih berfungsi hampir dua puluh tahun setelah keruntuhan Tembok Berlin patut untuk dijadikan renungan. Bahkan masalah kesehatan Fidel Castro yang berlarut-larut dan pengunduran dirinya sebagai presiden tidak menyebabkan kekacauan atau kerusuhan, seperti yang dipredikasi banyak orang. Maka kenapa Kuba bisa bertahan, dan apa makna itu bagi politik sosialis dan progresif saat ini?

Jawaban singkatnya adalah, dengan segala persoalan dan kekurangannya, tatanan revolusioner masih berjalan. Banyak rakyat Kuba yang masih meyakini prinsip-prinsip sosialis; mereka biasanya mengeluhkan berbagai kelangkaan barang dan pembatasan, tapi tidak banyak yang menyimpan ilusi tentang alternatif yang ditawarkan di seberang Selat Florida.

Tapi mengapa begitu? Apa yang membedakan Kuba dari Uni Soviet dan Eropa Timur? Untuk memahami ini kita perlu kembali pada asal usul revolusi dan transformasi mencengangkan yang terjadi dari 1959 hingga 1963. Sebelum revolusi, Kuba adalah wilayah protektorat AS, sebuah perkebunan tebu yang luas di mana pemerintahan "demokratik" yang dapat disuap silih berganti dengan kediktatoran brutal. Ide melancarkan revolusi sosialis di sini - atau di wilayah lainnya dalam "pekarangan" AS di Karibia dan Amerika Tengah - adalah di luar pemikiran. Jadi pada 1 Januari 1959 ketika sang diktator Batista melarikan diri dan gerilyawan berjenggot memasuki Havana dan Santiago, hampir tidak seorang pun yang mengantisipasi jangkauan dan kedalaman perubahan yang akan menyusul.

Transisi Kuba menuju sosialisme adalah yang paling cepat dan menyeluruh dibandingkan wilayah mana pun di dunia: UU Reformasi Agraria pertama dan kedua, nasionalisasi praktis terhadap semua industri dan jasa yang besar, kampanye melek huruf yang luar biasa dan pembangunan pendidikan publik gratis dalam semua tingkat, layanan kesehatan gratis, dan pengorganisiran milisi rakyat dan organisasi massa yang disiplin dari tingkat antar-warga ke atas, semua dilakukan dalam waktu sekitar empat tahun.

Namun dalam enam bulan pertama tahun 1959, semua retorikanya adalah tentang demokrasi dan kemanusiaan; sosialisme jarang disebut hingga pertengahan tahun 1960, dan tidak secara resmi diadopsi sebagai tujuan hingga April 1961, dua tahun dan empat bulan setelah kemenangan awal (pada masa invasi Teluk Babi). Gerakan 26 Juli (M-26-7) yang telah memimpin perjuangan bersenjata dan merebut kekuasaan, merupakan gerakan yang lebar dan heterogen yang memiliki perbedaan serius dengan partai Komunis Kuba saat itu, Partido Socialista Popular (PSP). Revolusinya begitu kerakyatan, tapi banyak pengamat menilai (atau takut) bahwa itu akan berakhir sama dengan nasib Guatemala lima tahun sebelumnya, ketika pemerintahan Arbenz yang kerakyatan dijatuhkan oleh kudeta dukungan CIA.

Euforia luar biasa yang ditimbulkan oleh revolusi tersebut di Kuba dan wilayah Amerika Latin lainnya, serta fleksibilitas ideologi dalam masa awalnya, adalah hal yang fundamental untuk memahami makna pentingnya. Berlangsung pada wilayah dan waktu di mana hegemoni AS tidak tertandingi, di mana revolusi besar di Meksiko telah dinetralisir dan gerakan progresif seperti Sandino di Nikaragua, Grau San Martin di Kuba pada 1933, Gaitan di Kolombia, dan Arbenz di Guatemala telah ditumpas dengan intervensi tertutup maupun terbuka oleh AS, kemenangan Kuba segera memberikan dampak simbolik. Dalam kunjungan luar negerinya yang pertama setelah menang, di Venezuela pada akhir Januari 1959, Fidel Castro disambut oleh massa yang gegap gempita. Pada Februari, Salvador Allende yang saat itu menjabat Senator di Chile menyatakan bahwa "revolusi Kuba tidak saja milik Anda....kita sedang menjalani gerakan terpenting yang pernah ada di Benua Amerika," (1) dan tak lama setelahnya Gloria Gaitan, putri dari pemimpin kerakyatan Kolombia yang dibunuh, memproklamirkan bahwa pengalaman Kuba adalah "awal dari pembebasan agung Nuestra America [Amerika Kita]."(2) Mantan presiden Meksiko, Lazaro Cardenas, penandatangan nasionalisasi minyak tahun 1938 di negeri itu juga memberikan dukungan antusias terhadap Kuba.

Ciri khas revolusi Kuba yang paling jelas - dan alasan utama yang menyebabkannya mampu menghindari nasib Guatemala, mengalahkan invasi kontra-revolusioner Teluk Babi pada April 1961 - adalah kemenangan militer yang tidak ada bandingannya oleh Pasukan Pemberontak atas kekuatan sang diktator Batista. Ini juga yang memungkinkan kaum Marxis setelahnya untuk mengangkat proses itu sebagai kasus baku (textbook) bagi tesis Lenin tentang revolusi bersenjata kelas pekerja. Tapi kekuatan yang merebut kekuasaan bukanlah partai Komunis atau Marxis, melainkan gerakan demokratik yang lebar dengan ideologi campuran (eclectic) dari tradisi revolusioner kerakyatan Kuba dan Amerika Latin, dan memiliki pandangan yang tidak begitu jelas tentang keadilan sosial dan pembebasan nasional. Para Komunis tua dari PSP, yang berakar pada gerakan buruh dan kalangan intelektual namun telah terkompromikan oleh dukungan awalnya terhadap Batista, pada awalnya mengecam Fidel Castro dan para gerilyawan sebagai "petualang borjuis-kecil" dan baru mulai mendukung gerakan tersebut pada awal kemenangannya, yakni di akhir tahun 1958.

Ini membuat segalanya lebih mengejutkan banyak pengamat ketika kepemimpinan revolusioner, yang diwakili di atas segalanya oleh Fidel Castro, mendesak maju terlepas dari semua rintangan yang ada pada tiga tahun pertama dari awal tahun 1959 hingga 1962, menyapu kaum elit kaya Kuba dan kelas tuan tanah dan menentang Washington dengan menyita perkebunan tebu dan peternakan, menasionalisasi industri, membersihkan pendukung Batista dalam aparat negara, menandatangani kesepakatan dagang dengan blok Soviet, dan kemudian menyatakan diri sebagai sosialis. Apakah ini tipuan sulap (sleight-of-hand) yang telah direncanakan oleh kepemimpinan Komunis yang tertutup, sebagaimana diduga oleh banyak komentator sayap kanan di Amerika Serikat? Atau apakah ini reaksi kemarahan kaum nasionalis kerakyatan yang dihadapkan pada permusuhan AS yang ceroboh dan tidak pengertian, sebagaimana diklaim oleh kaum liberal?

Yang benar adalah lebih kompleks dan lebih menarik. Setelah gagal mencapai kemerdekaan pada awal abad sembilan-belas bersama-sama dengan sebagian besar koloni Spanyol lainnya di Amerika, Kuba kemudian mengembangkan suatu gerakan pembebasan nasional yang besar dengan karakter kerakyatan dan radikal yang lebih kental. Para mambises, sebutan bagi gerilyawan kerakyatan dalam pemberontakan tiga-puluh-tahun melawan penjajahan Spanyol (1868-98), menekankan persamaan sosial dan ras serta mengusung kesadaran yang maju pada masanya, yakni anti-imperialis maupun anti-kolonial. Ini dengan jelas diekspresikan oleh penulis ulung dan pejuang kemerdekaan ternama Jose Marti ketika ia mendeklarasikan dalam surat terakhirnya pada 1895: "Segala yang telah kulakukan hingga saat ini dan segala yang akan saya akan lakukan setelahnya bertujuan untuk mencegah, melalui kemerdekaan Kuba, Amerika Serikat agar tidak semakin membebani Amerika Kita." (3)

Semangat anti-imperialis ini diekspresikan lagi dalam perjuangan melawan diktator Gerardo Machado (1925-33) dan revolusi 1933 yang gagal, yang dalam banyak hal merupakan pembuka jalan bagi 1959. Represi brutal dikombinasikan dengan keputus-asaan terhadap situasi ekonomi akibat depresi dunia berujung pada kerusuhan rakyat yang mana para pekerja mengambil alih pabrik-pabrik gula dan mengibarkan bendera merah, mahasiswa menduduki istana presiden, dan tentara berpangkat rendah melakukan pemberontakan serta menjatuhkan korps perwira. Pemerintahan sementara di bawah seorang profesor kedokteran yang kerakyatan, Dr. Ramon Grau San Martin, mendekritkan banyak kebijakan progresif termasuk reformasi agraria, intervensi (kontrol pemerintah) terhadap Perusahaan Listrik Kuba yang dimiliki AS, upah minimum, delapan-jam kerja per hari, dan hak pilih bagi perempuan. Tapi pemerintahan revolusioner ini tidak memiliki dukungan politik yang terorganisir, dan tak lama kemudian terungkaplah dengan jelas bahwa pemimpin pasukan pemberontak, Sersan Fulgencio Batista, adalah seorang oportunis yang bersedia bekerjasama dengan Kedutaan AS.

Di bawah administrasi baru Franklin D. Roosevelt, Washington baru saja memproklamirkan Kebijakan Tetangga Baik (Good Neighbor Policy) dan sungkan mengirimkan pasukan marinirnya. Tapi dengan keberadaan kapal perang AS di lepas pantai, dilakukanlah tekanan atas Havana dan tidaklah mengejutkan ketika pada Januari 1934 Grau San Martin dijatuhkan oleh Batista yang kini menjadi penguasa di balik tahta. Dua puluh lima tahun setelahnya akan menyaksikan komidi-putar berupa presiden boneka yang lemah, pemerintahan terpilih yang korup, dan kediktatoran terang-terangan oleh Batista, dengan semakin meningkatnya frustrasi dan kekecewaan di antara mayoritas rakyat Kuba, baik pekerja, petani, atau kelas menengah. Secara khusus adalah kegagalan Grau dan rekan-rekannya dalam Partido Autentico (Partai Otentik Revolusi Kuba) yang melapangkan jalan bagi kediktatoran Batista 1952-58 dan revolusi sesungguhnya yang menyusul kemudian.

Walaupun para revolusioner muda yang berkumpul di sekeliling pengacara aktivis Fidel Castro Ruz pada awal 1950an sudah cukup akrab dengan ide-ide sosialis, latar belakang intelektual dan politik mereka cukup bervariasi dan beragam. Fidel sendiri adalah anggota Partido Ortodoxo yang memisahkan diri dari para Autenticosa beberapa tahun sebelumnya sebagai protes terhadap korupsi mereka dan ditinggalkannya prinsip-prinsip 1933. Pimpinan Ortodoxo, Eduardo Chibas, ialah seorang yang kaya, berpemikiran independen dan pernah menjadi pemimpin mahasiswa pada 1933 serta memiliki pengikut massa dari 1949 hingga 1951 dengan retorikanya yang berapi-api menentang korupsi dalam siaran radio mingguannya. Dengan slogannya "Verguenza contra dinero" ("Kehormatan melawan uang"), Chibas membangkitkan idealisme moral yang telah menjadi tema utama radikalisme Kuba sejak Marti. Chibas menembak dirinya sendiri saat program radionya pada Agustus 1951. Terjadi demonstrasi massa yang berkabung saat pemakamannya, dan seruan populisnya menjadi inspirasi bagi para anggota partai ortodoxos, banyak di antaranya beberapa tahun kemudian bergabung dengan M-26-7.

Tokoh kunci lainnya dalam cikal-bakal gerakan revolusioner baru adalah Antonio Guiteras, seorang pemuda yang ketika masih menjadi mahasiswa paska sarjana di Universitas Havana telah menjabat menteri dalam negeri pada pemerintahan Grau San Martin yang berumur singkat. Adalah Guiteras yang merupakan pendorong maju langkah-langkah radikal yang didekritkan dalam bulan-bulan penuh gejolak di tahun 1933; dan ketika Grau dijatuhkan, Guiteras melakukan perjuangan bawah tanah dan membentuk gerakan pemberontakannya sendiri, Joven Cuba (Kuba Muda), dengan mengusung program sosialis secara eksplisit. Sebagai tokoh populer dan aktivis sosialis independen dalam Partai Komunis, Guiteras jelas sekali merupakan sebuah ancaman dan tidaklah mengejutkan bahwa ia dibunuh tahun 1935.

Guiteras mewakili tradisi Marxis Amerika Latin yang otonom, diasosiasikan dengan Jose Carlos Mariategui dari Peru, dan ini akan memberikan pengaruh penting kepada beberapa anggota utama M-26-7 seperti Armando Hart. Ini merupakan juga pengaruh ideologis utama bagi pemuda revolusioner Argentina, Ernesto "Che" Guevara yang akan bertemu dengan Fidel Castro dan kawan-kawannya di Meksiko pada 1955 dan menjadi tokoh utama dalam revolusi.

Tapi dalam banyak hal inspirasi fundamental para pemberontak M-26-7 adalah tradisi rakyat Kuba mambises, Jose Marti dan Antonio Maceo, seorang jendral pasukan pembebasan yang berdarah campuran (mulatto) dalam perang melawan penjajahan Spanyol; sebuah ideologi egalitarianisme radikal, anti-imperialisme, dan kemandirian agraria. Ini memiliki banyak persamaan dengan tradisi Amerika Latin yang lebih luas terhitung sejak masa Simon Bolivar dengan cita-citanya tentang persatuan benua itu dan ketidakpercayaannya terhadap ekspansionisme kaum kulit putih (gringo).

Ini bukannya mengatakan bahwa para revolusioner Kuba pada tahun 1950an adalah anti-komunis atau tidak dipengaruhi oleh teori-teori sosialis Eropa dan Marxis internasional. Tapi kebanyakan dari mereka adalah independen dari gerakan Komunis internasional dan juga dari aliran internasional yang terorganisir seperti para Trotskyis. Independensi ini, dan fleksibilitas ideologi dan taktis yang menyertainya, adalah krusial bagi kesuksesan mereka.

Dengan mengambil tradisi kerakyatan nasional yang dikombinasikan dengan perasaan frustasi dan kemarahan pada korupsi, represi, dan dominasi AS, para revolusioner mampu mencapai bukan saja kemenangan militer tapi juga dukungan dan antusiasme masa rakyat. Pada Januari 1959 terjadi euforia yang begitu besar bercampur dengan anggapan bahwa segalanya adalah mungkin, dan ini diekspresikan dalam deklarasi para pemimpinnya: "Revolusi tidak dapat dibuat dalam sehari, tapi yakinlah bahwa kita akan menjalankan revolusi. Yakinlah bahwa untuk pertama kalinya, Republik ini akan benar-benar merdeka dan rakyatnya akan mendapatkan apa yang pantas mereka peroleh" (Fidel Castro, 3 Januari); (4) "Revolusi ini adalah dari Kuba seperti halnya pohon kelapa" dan "banyak orang belum menyadari sebesar apa perubahan yang terjadi di negeri kita" (Fidel, 24 Februari);(5) "Pada tanggal satu Januari 1959 yang telah kita lakukan tidak lain dari penuntasan perang kemerdekaan; Revolusi Marti dimulai saat ini" (Raul Castro, 13 Maret).(6)

Dengan kata lain, tanpa memberikan referensi apa pun pada Marx, sosialisme, atau pertarungan kelas, terdapat komitmen penuh untuk perubahan radikal dan untuk melayani kepentingan rakyat. Referensi ideologis yang eksplisit adalah pada warisan revolusioner nasional: dalam mempertahankan reformasi agraria pada Juni 1959, Fidel menyatakan bahwa "apa yang kami lakukan saat ini, Anda tuan-tuan yang membela kepentingan pihak yang kuat, apa yang kami lakukan adalah melaksanakan sepenuhnya deklarasi dan doktrin Utusan kami [Marti], yang mengatakan bahwa tanah air adalah milik semua dan untuk kesejahteraan semuanya"; (7) dan pada Juli 1959 ia mengutip Antonio Maceo: "Revolusi akan berlanjut selama masih tersisa ketidakadilan yang belum disembuhkan."(8)

Bahwa deklarasi-deklarasi ini bukan sekedar retorika segera menjadi jelas ketika langkah-langkah tegas dilakukan dalam semua wilayah kebijakan, dan langkah-langkah ini berperan meningkatkan dukungan rakyat yang luar biasa terhadap kepemimpinan revolusioner. Dengan dukungan massif seperti itu dan dengan monopoli angkatan bersenjata, otoritas baru di Havana menikmati kebebasan bertindak yang tak pernah ada sebelumnya; oposisi internal secara nyata dilumpuhkan dan tidak ada partai politik atau organisasi yang mampu menyaingi prestise Fidel dan M-26-7 yang secara efektif menjadi gerakan pembebasan nasional rakyat Kuba.

Dalam situasi seperti ini sebuah program sosialis a priori hanya akan menjadi perintang: kekuatan revolusi berasal dari karakternya yang menekankan konsensus dan inklusifitas. Ketika sosialisme dideklarasikan, ia lebih merupakan suatu refleksi dari realitas yang baru, suatu situasi tak diduga yang muncul sebagai hasil dari proses dialektik. Kekuatan tuntutan rakyat untuk penentuan-nasib-sendiri (self-determination) dan keadilan sosial, dikombinasikan dengan struktur monopolistik ekonomi perkebunan Kuba dan konfrontasi langsung dan tak terhindarkan dengan imperialisme AS membuat solusi sosialis sebagai satu-satunya jalan yang terbuka untuk melangkah maju dari awal 1960 ke depan, bila revolusi tidak boleh runtuh akibat perpecahan dan ketidak-koherenan. Dalam hal ekonomi politik, analisa yang bagus terhadap dinamika ini dapat ditemukan dalam studi James O'Connor tahun 1970, The Origins of Socialism in Cuba (asal usul sosialisme di Kuba, pen.). (9)

Validitas analisis ini dikonfirmasikan oleh interview yang saya lakukan di Kuba pada tahun 1990an. Beberapa mantan anggota M-26-7, ketika ditanya tentan evolusi ideologi mereka selama perjuangan bersenjata dan dalam dua hingga tiga tahun setelah kemenangan pada 1 Januari 1959, menyatakan bahwa pandangan awal mereka adalah demokratik, anti-imperialis, dan mendukung keadilan sosial, tapi bukan sosialis dan pastinya bukan Komunis atau Marxis-Leninis. Hanya pada titik tertentu dalam transformasi revolusioner - yang oleh kebanyakan dari mereka diidentifikasikan sekitar pertengahan hingga akhir tahun 1960 atau 61 - mereka menyadari bahwa apa yang mereka bangun di Kuba adalah suatu bentuk sosialisme; dan deklarasi Fidel yang terkenal tentang ini selama invasi Teluk Babi, dengan sederhana mengonfirmasikan pemikiran mereka: "Pues si: somos socialistas!" ("Ya: kami sosialis!")

Ini menurut hemat saya bukan sekedar kekhasan proses Kuba: ini mengonfirmasikan implikasi argumen Gramsci bahwa agar ideologi proletar - teori Marxis - menang, ia mesti memenangkan pertempuran hegemoni dan menjadi "akal sehat" (common sense). Atau untuk menjabarkannya secara berbeda, abstraksi teori Marxis harus melebur dengan tradisi demokratik kerakyatan dari negeri tertentu sebelum itu dapat menjadi hegemonik. Ini mungkin kesalahan krusial kebanyakan partai-partai Komunis (dan juga Trotskyis): gagasan bahwa dengan menceramahkan doktrin Marxis-Leninis yang abstrak mereka dapat membangun gerakan massa revolusioner yang efektif.

Euforia revolusioner 1959-61 di Kuba memiliki banyak persamaan dengan ideologi demokratik akar-rumput berbasis-lebar dari gerakan antiglobalisasi dan antikapitalis belakangan ini. Penolakan terhadap partai-partai dan dogma-dogma yang telah berdiri kokoh, keyakinan terhadap aksi-aksi massa, pencarian solusi yang baru dan orisinil: ini adalah karakteristik fermentasi kreativitas yang menyapu Kuba pada tahun-tahun awal revolusi. Benar, sejak 1962 dan setelahnya keorisinilan ini mulai dikompromikan dengan pengadopsian model-model Soviet akibat aliansi yang diharuskan oleh konteks Perang Dingin saat itu, tapi terlepas dari ini Kuba mempertahankan aspek penting otonomi dan kreatifitasnya. "Penyelewengan Kuba" (Cuban heresy) dalam pencariannya akan "Manusia Baru" (New Man) dan penekanannya pada insentif moral merupakan contoh dari hal ini, begitu pun dengan keteguhan Kuba dalam mendukung revolusi bersenjata di Amerika Latin dan Afrika (berkontradiksi dengan tujuan Soviet, "koeksistensi damai").

Setelah tahun 1970 kegagalan yang tampak dari strategi pengembangan yang idealistik dan diasosiasikan dengan "insentif moral", serta kekalahan gerakan pemberontakan bersenjata di berbagai negeri mengharuskan Kuba mengadopsi kebijakan gaya-Soviet yang lebih orthodox. Selama sekitar lima belas tahun ini tampak memberikan hasil, dengan tingginya pertumbuhan PDB dan stabilitas ekonomi. Tapi pada pertengahan delapan puluhan, jelaslah bahwa tingkat hutang Kuba kepada Uni Soviet maupun negeri-negeri kapitalis semakin menjadi problem, begitu pun dengan kombinasi sentralisme birokratik yang kaku dan insentif material di bawah Sistema de Direccion y Planificacion de la Economia (Sistem Pengelolaan dan Perencanaan Ekonomi).(10)

Inilah yang kemudian menyebabkan diluncurkannya "Kampanye Rektifikasi (pembetulan arah, pen.)" pada 1986 dan penolakan Fidel terhadap kebijakan Soviet glasnost dan perestroika. Dipandang oleh banyak orang sebagai "Stalinis" atau "konservatif," penolakan kebijakan Gorbachev ini nyatanya bukan seperti yang dituduhkan: itu justru mencerminkan pemahaman pemimpin Kuba yang jauh ke depan bahwa tipe liberalisasi dari-atas-ke-bawah akan dipastikan menuju pada arah kapitalis. Itu juga mencerminkan keyakinan bahwa di Kuba, di mana - tidak seperti di Uni Soviet - partisipasi akar-rumput dan idealisme revolusioner belum seluruhnya dihancurkan oleh puluhan tahun otoriterianisme dan kadang kala represi brutal, sosialisme dapat dihidupkan kembali melalui kombinasi dari kepemimpinan yang visioner dan mobilisasi kerakyatan.

Keberhasilan Kuba bertahan dalam tekanan luar biasa pada tahun-tahun terburuk "Periode Khusus" di pertengahan 1990an tidak mungkin dijelaskan dengan cara lain selain oleh kelanjutan vitalitas revolusi. Kelangkaan dan kesulitan begitu besar sehingga pemerintahan lain akan runtuh dalam hitungan bulan. Tidak ada seorang pun pengunjung Kuba pada tahun-tahun itu yang tidak terkesan oleh ketegaran (stoicism) dan komitmen rakyat Kuba ketika pasokan listrik hanya berfungsi selama beberapa jam sehari, bahan pangan membusuk di ladang karena tidak ada transportasi ke pasar, para pekerja tiap harinya menghabiskan enam jam untuk mencapai tempat kerjanya dengan berjalan kaki hanya untuk menemukan bahwa tidak ada yang bisa dikerjakan karena ketiadaan bahan bakar, dan rak-rak pertokoan benar-benar kosong. Ini terjadi dalam sebuah negeri yang dibanjiri dengan gambaran masyarakat konsumeris AS dan propaganda kontra-revolusioner, dan di mana semua orang mengetahui bahwa Tembok Berlin telah runtuh dan negeri-negeri Eropa Timur berjatuhan seperti rumah kartu. Tapi di Kuba hanya terjadi satu aksi protes yang serius, pada Agustus 1994, dan walaupun beberapa orang bertolak dengan rakit menyeberangi Selat Florida karena putus asa, mayoritas tetap setia pada revolusi.

Faktor krusial dari kemampuan Kuba untuk bertahan adalah komitmen dan contoh yang diberikan oleh kepemimpinannya, terutama Fidel. Tapi hal penting lainnya adalah bahwa orientasi kebijakan sosialis tidak pernah ditinggalkan: tidak seperti Nikaragua Sandinista, yang di bawah tekanan parah pada akhir tahun delapan-puluhan mengadopsi rekomendasi IMF, meliberalkan harga komoditas dasar, dan memasarkan layanan sosial, Kuba mempertahankan perawatan kesehatan dan pendidikan yang gratis dan universal, dan mensubsidi harga sewa perumahan dan rekening air dan listrik. Ia juga mengintensifkan - bukannya meninggalkan - konsultasi demokratik dengan massa penduduk terkait tindakan-tindakan yang akan diambil. Di saat mantan pemimpin Komunis saling berjatuhan dan memeluk kapitalisme, dan pemerintahan Barat memberitahukan penduduk mereka bahwa tidak ada alternatif terhadap neoliberalisme, para pemimpin Kuba memulai proses konsultasi yang ekstensif melibatkan sekitar 80.000 "parlemen pekerja" di penjuru negeri untuk mendiskusikan langkah-langkah yang diperlukan untuk mengatasi krisis ekonomi.

Terlepas dari anggapan konvensional bahwa Kuba adalah sebuah kediktatoran (meskipun bagi kaum kiri termasuk yang baik), rakyat Kuba selalu bersikeras bahwa mereka memiliki bentuk demokrasi sosialisnya sendiri. Setelah apa yang terjadi di Uni Soviet dan Eropa Timur, skeptisisme tentang ini bisa dimengerti. Tapi salah satu dari kesalahan besar pemikiran progresif dekade terakhir ini adalah menerima begitu saja, tanpa mempertanyakan, sistem poliarki liberal sebagai satu-satunya bentuk demokrasi yang valid; penolakan terhadap otoriterianisme Stalinis mestinya bukan berarti meninggalkan kritik Marxis terhadap liberalisme borjuis.

Demokrasi dalam makna yang sesungguhnya - pemerintahan oleh rakyat - perlu dimulai dari komunitas lokal, dengan rakyat dalam lingkungan tempat tinggalnya dan tempat kerjanya dalam mengatur urusan mereka sendiri. Dalam hal ini Kuba memiliki sistem demokrasi lokal yang hidup. Nominasi kandidat secara langsung dalam pertemuan-pertemuan komunitas dan pemilihan mereka sebagai delegasi kekuasaan rakyat (popular power) tingkat kotapraja dalam pemilihan yang multi-kandidat dan rahasia, plus kewajiban mereka memberikan laporan pribadi tiap enam bulan bukan saja dalam satu pertemuan lokal tapi beberapa pertemuan (dengan kemungkinan riil untuk ditarik mundur (recall)), jaminan tingkat partisipasi dan kontrol lokal yang sangat baik bahkan bila dibandingkan dengan negeri-negeri yang memiliki kredensial demokratik yang tanpa cacat. (11)

Adalah benar bahwa pada tingkat yang lebih tinggi terdapat batasan-batasan, dengan delegasi provinsi dan nasional ditampilkan dalam daftar-daftar yang hanya memuat satu kandidat untuk tiap jabatan, sehingga opsi satu-satunya pagi pemilih adalah untuk menerima atau menolak tiap kandidat. Perdebatan kebijakan melibatkan input rakyat secara ekstensif melalui instrumen-instrumen seperti parlemen pekerja dan konsultasi oleh komisi bentukan Majelis Nasional, tapi perdebatan seperti itu jelas beroperasi dalam parameter yang dirancang secara terpusat. Akhirnya, tidak terbantahkan bahwa selama Amerika Serikat secara aktif berkomitmen menjatuhkan revolusi, ekspresi demokrasi sosialis yang penuh dan bebas tidaklah dimungkinkan di Kuba; namun mengingat cara-cara elit borjuasi memanipulasi poliarki liberal untuk mencegah tantangan serius terhadap sistem kapitalisme, bisa diargumenkan bahwa para pemilih di negeri-negeri Barat memiliki pengaruh yang lebih kecil dibandingkan rakyat Kuba dalam menentukan kebijakan dalam wilayah-wilayah krusial seperti kebijakan keuangan, pertahanan, dan luar negeri.

Tapi untuk mengargumenkan relevansi Kuba dalam dunia saat ini, jelaslah tidak cukup hanya membela sistem sosialis negeri itu dari kritik-kritiknya. Dalam abad keduapuluh-satu, tidakkah pulau itu memiliki sesuatu untuk ditawarkan, yang bukan sekedar kelangsungan hidup dari masa lalu?

Jawabannya adalah setidaknya ada dua wilayah di mana Kuba memberikan kontribusi vital terhadap kemunculan alternatif sosialis atau antikapitalis baru. Satu adalah dalam isu lingkungan hidup: awalnya sebagai persoalan kebutuhan, tapi kini juga persoalan kebijakan. Kuba telah menjalani peralihan fundamental menuju pertanian organik dan pengadopsian praktek-praktek yang berkesinambungan secara ekologis dalam seluruh ekonominya. Selama beberapa tahun hingga kini ia telah mempelopori pengembangan pertanian perkotaan, dengan mengubah petak kecil lahan yang tersedia menjadi organoponicos, proyek-proyek didedikasikan untuk budi daya intensif terhadap beragam luas varietas buah dan sayuran, sebagian besar dengan metode organik. Sebagai hasil dari ini kota Havana kini memproduksi 60 persen buah dan sayurannya dalam batas kotanya, (12) dan skema ini kini sedang diadopsi di Venezuela dan negeri-negeri lainnya. "Revolusi Energi" telah mendesentralisasi pembangkit energi sehingga daya listrik semakin kurang bergantung pada pembangkit-pembangkit berkekuatan tinggi dan lebih pada generator lokal kecil yang lebih efisien dan lebih mampu bertahan dalam saat darurat. Lampu bohlam incandescent telah diganti di seluruh penjuru negeri dan terdapat investasi berskala besar dalam energi matahari (solar) dan angin. (13) Pejabat Kuba kini menyatakan terang-terangan bahwa pengembangan padat-energi model sosialis tradisional dan kapitalis adalah tidak berkesinambungan.

Kontribusi vital kedua bagi kemunculan alternatif baru terletak pada dukungan Kuba terhadap Venezuela, Bolivia, dan negeri-negeri Amerika Latin lainnya yang kini terlibat dalam perjuangan menciptakan model sosial dan ekonomi baru. Para komentator sering berfokus pada bantuan Venezuela kepada Kuba dalam bentuk petroleum murah, tapi pentingnya bantuan Kuba kepada revolusi Bolivarian tidak bisa diremehkan. Tanpa bantuan ribuan rakyat Kuba, Chavez bisa dibilang hampir tidak mungkin menerapkan misi kesehatan Barrio Adentro yang luar biasa atau misi melek-huruf Robinson. Begitu pun, Evo Morales tidak akan mampu menerapkan program seperti itu di Bolivia, setidaknya dalam waktu yang singkat - dan dengan kritisnya situasi politik kedua negeri itu, waktu yang singkat itu krusial, baik dulu maupun kini.

Tapi juga dari pandangan politik yang lebih luas, tanpa Cuba, Chavez (dan begitu juga Evo Morales di Bolivia, Rafael Correa di Ekuador, dan Fernando Lugo di Paraguay) akan menghadapi kesulitan yang lebih besar dalam meraih kredibilitas bagi penerapan proyek pemberdayaan politik kerakyatan melalui pengambil-alihan dan transformasi negara. Disorientasi kaum kiri sudah demikian rupa sehingga hanya gerakan yang benar-benar tak diduga seperti Chavez lah yang dapat menawarkan langkah maju; dan tanpa inspirasi dan dukungan Kuba pada saat-saat krusialnya, Chavez mungkin akan gagal. Tanpa Kuba, maka tidak ada Venezuela; dan tanpa Venezuela, tidak ada Bolivia, tidak ada Ekuador, dan tidak ada Paraguay dan kebangkitan kembali (betapa pun tak sempurnanya) Nikaragua Sandinista.

Tentu bukannya tidak ada apa pun yang terjadi di negeri-negeri ini; tapi sangatlah mungkin bahwa tanpa contoh Venezuela dan tanpa inspirasi dan bantuan praktis Kuba, gerakan kerakyatan yang kuat dan eksis tidak mampu menjalankan strategi yang tepat untuk meraih kekuasaan dan menggunakannya secara efektif untuk membalikkan kebijakan neoliberal. Mereka sangat jelas menekankan bahwa mereka menyusuri jalan independen, meminjam dan mendukung satu sama lain dan Kuba, tapi tanpa membuat kesalahan lama yang mencoba menerapkan cetakan "orthodox" yang seragam.

Lebih jauh lagi, Kuba telah secara eksplisit mengatakan bahwa mereka tidak memandang sosialisme mereka sebagai cetak-biru untuk dikopi. Yang diberikan Kuba adalah contoh hidup, sebuah demonstrasi bahwa, bertentangan dengan kebijaksanaan konvensional dari "Tatanan Dunia Baru," negara bukannya tak berdaya dan bahwa adalah mungkin membangun dan mempertahankan alternatif nonkapitalis. Apa yang tidak mungkin adalah mereproduksi strategi Kuba tentang revolusi bersenjata, dan ini adalah kontribusi dari Chavez dan rakyat Venezuela: menjalankan strategi baru yang bukan murni militer dan juga bukan murni elektoral, tapi kombinasi dari mobilisasi rakyat, pemilihan umum, dan dukungan militer.

Seiring berkembangnya proyek baru "sosialisme abad-dua puluh satu" dan Alternatif Bolivarian, Kuba juga mengasosiasikan diri dengan inspirasi budaya dan ideologi tradisi anti-imperialis kerakyatan di Amerika Latin. Sebagaimana telah kita lihat, asal usul ideologi orisinal Kuba dari Marti dan para mambises setidaknya sama banyaknya dengan teori sosialis internasional, dan dalam hal ini itu melebur sempurna dengan "Bolivarianisme" Chavez. Dapat diargumenkan bahwa, walaupun hubungan dengan Soviet diperlukan pada masa bertahan hidupnya revolusi dalam konteks Perang Dingin, ia memang mengarah pada distorsi yang tak diinginkan terhadap sosialisme Kuba, dan bahwa hari ini Kuba, yang telah terbebas dari kekangan Soviet dan dibantu oleh tetangga Latinnya, menemukan kembali keorisinalannya.

Dalam konteks ini reformasi di Kuba saat ini seharusnya tidak dipandang sebagai jalan menuju arah kapitalis (setidaknya tidak perlu begitu), tapi sebagai adaptasi terhadap proyek "sosialisme abad duapuluh-satu" yang lebih fleksibel dan dinamis yang pada akhirnya akan menemukan ekspresi yang serupa (tapi tak identik) dengan Venezuela, Bolivia dan negeri lainnya. Ini akan didasarkan pada pengakuan bahwa sosialisme tidak akan pernah sempurna, tidak pula sepenuhnya stabil dan aman dalam sebuah dunia imperialis, dan bahwa kelangsungan hidupnya dan pembaharuannya akan selalu bergantung pada dukungan dan partisipasi rakyat.(14) Peran negara akan tetap penting, tapi ruang lebih besar akan diberikan pada inisiatif lokal dan akar-rumput, dan juga pada semacam insentif material yang sebelumnya dikecam sebagai kapitalis. Tapi ini didasarkan atas pengakuan bahwa egalitarianisme tidak dapat diterapkan melalui dekrit, dan bahwa jaminan terbaik dalam mencegah kembalinya kapitalisme terletak pada hidupnya budaya partisipasi kolektif, bukannya kontrol birokratik. Wilayah di mana negara pusat masih dan akan memainkan peran krusial adalah dalam menyediakan keseluruhan arahan yang koheren, meminimalisir penyusupan kapital global, dan menjamin pertahanan diplomatik, politik dan militer dalam melawan imperialisme.

Tentunya, selama bertahun-tahun Kuba telah membuat kesalahan, dan tidak semuanya disebabkan oleh pengaruh Soviet. Strategi ekonomi awal berupa industrialisasi dadakan segera terbukti tidak dapat dipraktekkan dan kemudian digantikan oleh ketergantungan pada ekspor gula berskala besar sebagai sumber akumulasi untuk diversifikasi yang lebih gradual. "Ofensif Revolusioner Akbar" tahun 1968 berujung pada nasionalisasi yang tak matang terhadap unit-unit usaha kecil, dengan berakibat serius mengancam ketersediaan barang-barang dan jasa bagi konsumen. Terdapat juga kesalahan serius dalam kebijakan budaya yang telah mendapat kritik secara ekstensif. Tapi yang menyelamatkan sosialisme Kuba adalah tingkat partisipasi rakyat yang jarang ditemukan di tempat lain, dan terus menerus responsifnya kepemimpinan yang ada terhadap keprihatinan dan kebutuhan rakyat. Terlepas dari keluhan yang serius dan sering kali beralasan, mayoritas rakyat Kuba terus merasa bahwa ini adalah revolusi mereka dan bukan sekedar proyek paternalistik dari suatu partai/aparat negara dari kejauhan, dan hasilnya adalah pada saat ini negeri tersebut terus menunjukkan aspek-aspek obyektif maupun subyektif dari suatu alternatif antikapitalis.

Media barat begitu bersemangat menerjemahkan reformasi baru-baru ini dalam bidang pertanian, dalam upah dan skala insentif, dan dalam ketersediaan barang elektronika bagi konsumen sebagai bukti bahwa Kuba sedang bertolak menuju transisi kapitalis. (15) Tapi tidak terdapat indikasi dipertimbangkannya penggunaan tenaga kerja berskala besar oleh swasta atau pasar kapital swasta dengan pasar modalnya atau institusi kapitalis serupa itu. Pemerintah telah menegaskan komitmennya terhadap pendidikan, kesehatan dan layanan sosial lainnya yang universal dan gratis. Kuba baru-baru ini menandatangani kesepakatan baru yang penting dengan beberapa negeri, tercatat di antaranya Brasil dan Uni Eropa, yang akan meningkatkan kapasitasnya dalam melawan blokade AS tanpa meninggalkan prioritas-prioritas sosialisnya.

Terakhir, kemurahan hati yang luar biasa dan komitmen ribuan kaum internasionalis Kuba dalam memberikan layanan kesehatan dan lainnya dalam kondisi yang mana hanya sedikit yang dapat menerimanya, merupakan saksi hidup dari realitas proyek sosialis negeri itu. Wartawan veteran Inggris Hugh O'Shaughnessy baru-baru ini memberikan kisah yang mengharukan tentang misi Kuba di Bolivia. Ia mengutip Maria de los Angeles, seorang dokter Kuba yang bekerja sebagai Direktur Rumah Sakit Mata (Ophthalmologi) di El Alto, Bolivia, yang berada pada ketinggian hampir mencapai 4.000 meter dan berkondisi berat: "Saya pikir selalu ada keterlibatan elemen kasih sayang," katanya: "Sebelum saya meninggalkan Kuba untuk pergi ke Guatemala dan Bolivia, saya tidak mengetahui seperti apa kemiskinan riil itu." (16)

Sementara Kuba terus mempraktekkan solidaritas semacam ini, relevansinya terhadap gerakan antikapitalis global sedikit sekali bisa diragukan. Tapi juga, keberadaan negeri-negeri ALBA adalah bukti lebih jauh bahwa Kuba tidak dapat dipisahkan dari perkembangan baru yang penuh inspirasi di Venezuela, Bolivia, dan wilayah lainnya: Amerika Latin saat ini mendemonstrasikan bahwa dunia yang lain adalah mungkin, dan Kuba memainkan peran sentral dalam penciptaan dunia itu.

------------------

Catatan

1. Revolución (Havana), Februari 28, 1959. Ini dan semua terjemahan dari terbitan berkala di Kuba dilakukan oleh saya.
2. Revolución, April 24, 1959.
3. José Martí, Inside the Monster, Philip S. Foner, ed. (New York: Monthly Review, 1975), 3.
4. Revolución, Januari 4, 1959.
5. Revolución, Februari 25, 1959.
6. Revolución, Maret 14, 1959.
7. Revolución, Juni 8, 1959.
8. La Calle (Havana), Agustus 1, 1959.
9. Lihat James O’Connor, The Origins of Socialism in Cuba (Ithaca: Cornell University Press, 1970).
10. Salah satu diskusi terbaik tentang ini dapat ditemukan dalam Ken Cole, Cuba (London: Pinter, 1998), chapter 3.
11. Dalam isu ini, lihat Arnold August, Democracy in Cuba and the 1997–98 Elections (Havana: Editorial José Martí, 1999), dan Peter Roman, People’s Power (Lanham, MD: Rowman & Littlefield, 2003).
12. Simon Butler, “Cuba carries out new land reform,” Green Left Online, Agustus 16, 2008, www.greenleft.org.au/2008/763/39410
13. “Cuban agriculture” (wawancara dengan Roberto Pèrez), Fight Racism! Fight Imperialism! (UK), no. 205 (Oktober/November 2008): 10.
14. Lihat Michael A. Lebowitz, Build It Now (New York: Monthly Review Press, 2006), and D. L. Raby, Democracy and Revolution (London: Pluto Press, 2006), especially chapter 3.
15. Untuk contohnya lihat “Cuban workers to get bonuses for extra effort,” The Guardian (UK), June 13, 2008, dan “Cuba’s wage changes have nothing to do with a return to capitalism,” Helen Yaffe, The Guardian, Juni 20, 2008.
16. Hugh O’Shaughnessy, Misiones cubanas en Bolivia, 4 de abril de 2008,

-----

Diana Raby adalah rekan senior dalam Institut Penelitian Studi Amerika Latin, Universitas Liverpool (Inggris Raya) dan juga seorang profesor emeritus sejarah di Universitas Toronto. Ia telah secara ekstensif menulis tentang Amerika Latin dan juga aktif dalam gerakan solidaritas seperti Kampanye Solidaritas Kuba (Cuba Solidarity Campaign) dan Pusat Informasi Venezuela (Venezuela Information Centre - UK). Buku terakhirnya, Democracy and Revolution: Latin America and Socialism Today (London: Pluto Press, 2006) mengajukan argumen tentang pentingnya Venezuela, bersama dengan Kuba dan negeri-negeri ALBA, dalam pembaharuan kiri internasional pada abad ini.
Sumber (http://www.nefos.org/?q=node/67)

Dimuat dalam Monthly Review, volume 60, number 8, January 2009
Diterjemahkan oleh NEFOS.org

Strategi Perubahan di Indonesia Harus Mengadaptasi Realitas Nasional

Jakarta : Perkembangan politik dan ekonomi di kawasan Amerika Latin, terutama dalam sepuluh tahun terakhir, memberikan kontribusi penting bagi pergerakan anti neoliberalisme dan anti imperialisme di berbagai belahan dunia.

Bagi banyak kalangan progressif di Indonesia, pengalaman Amerika Latin menyediakan sebuah cermin menarik untuk menemukan atau merefleksikan strategi anti neoliberalisme dan anti imperialisme di dalam negeri.

Pendapat ini terungkap dalam diskusi bertajuk "Amerika Latin dan Pengalaman Perjuangan Pembebasan Nasional", yang diselenggarakan oleh Berdikari Online di Jakarta, Jumat (11/9).

Diskusi diawali dengan apresiasi Ras Muhamad, Sang Duta Reggae Indonesia, mengenai perjuangan pembebasan nasional di Indonesia. Menurutnya, seniman Indonesia harus ambil bagian dalam perjuangan kedaulatan nasional, setidaknya dengan mereflesikan keadaan atau penderitaan rakyat di sekelilingnya dalam karya-karya mereka.

Dalam persoalan kedaulatan nasional, mengacu kepada konsep demokrasi, rakyat harus ditempatkan sebagai pemilik kedaulatan tertinggi. Namun, dalam praktek di Indonesia, praktek politik justru menjauhkan rakyat dari kedaulatannya, sebab diselewengkan oleh politisi.

Untuk itu, menurut pemilik nama asli Muhamad Egar ini, perjuangan kedepan adalah bagaimana mengembalikan kedaulatan kepada rakyat Indonesia. "kemerdekaan tidak bisa dipahami sekedar soal kedaulatan wilayah, tetapi juga harus berbicara kesejahteraan seluruh rakyat," ujarnya.

Dengan mengutip Bung Karno, Ras Muhamad menekankan perlunya usaha mengembalikan Konsep Trisakti: berdaulat di bidang politik, berdikari di bidang ekonomi, dan punya kepribadian budaya.

Sementara itu, Budiman Sudjatmiko dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) menekankan pentingnya penyebaran teori-teori revolusioner melalui bahasa yang dipahami oleh rakyat. Menurutnya, keberhasilan Amerika Latin karena mampu mempertahankan orang-orang yang menyebarkan gagasannya melalui bahasa rakyat. "Pada era kediktatoran militer, proses penindasan hanya bisa menguasai rakyat secara fisik, tetapi gagal untuk mengubur gagasan-gagasan revolusior dan kerakyatan yang ada di sana," ujarnya.

Dalam perkembangannya, kata dia, beberapa unsur konservatif di era perjuangan anti imperialisme tahun 1960, justru berbalik menjadi unsur pergerakan yang progressif ketika kediktatoran militer dan era neoliberalisme.

Dia mencontohkan, kelompok gereja yang pada awalnya menjadi golongan anti komunis ataupun sosialis, kemudian berbalik menjadi penyokong gerakan progressif: menyembunyikan sejumlah aktifis progressif ketika penculikan massif, dan senantiasa menanamkan keberpihakannya kepada kaum miskin.

Di Indonesia, hal semacam itu tidak ditemukan. Istilah "rakyat", yang mengacu pada konotasi progressif atau kiri, akhirnya dihilangkan oleh Orde Baru. Beberapa orang yang bersikap secara politik menentang neoliberalisme atau kapitalisme sekarang ini, namun punya ikatan histories sebagai kekuatan reaksioner dan anti progressif di masa lalu, ternyata tidak bisa berdamai dengan masa lalunya.

Hal semacam ini, merupakan faktor penghambat terhadap kemunculan ide-ide progressif di kalangan rakyat, sebab masih dihambat oleh kekangan-kekangan masa lalu. "Kita sangat liberal di bidang politik dan ekonomi, tapi sangat konservatif dalam soal ide atau gagasan", katanya.

Pijakan bagi pengalaman progressif rakyat Indonesia masih mengacu pada Orde Lama, yaitu masa pemerintahan Soekarno. Sehingga bagi banyak kalangan rakyat, pengertian kiri dan revolusioner selalu mengacu kepada masa-masa Orde Lama. Sementara Orde Lama sendiri mengacu pada era kemajuan bagi gerakan progressif, seperti PKI, Soekarno, Marhaenisme, PNI kiri, dan sebagainya.

Peneliti Institute For Global Justice (IGJ) Veronika Saraswati menjelaskan soal praktik eksploitasi kekayaan alam Amerika Latin dari segi historis. Menurutnya, pemberlakuan doktrin "Monroe" merupakan bentuk pengkaplingan terhadap kawasan atau wilayah di Amerika Latin. Dalam proyek ini, AS menanamkan rencananya untuk menguasai wilayah ini melalui sejumlah perjanjian perdagangan dan propaganda menghentikan komunisme.

Dalam penjelasannya, Veronica condong menunjukkan pengalaman Kuba dalam menggagas dunia baru, sebuah tatanan masyarakat yang berada diluar kontrol AS dan sekutunya. Dengan pilihan ini, AS dan sekutunya berupaya menundukkan pemerintahan revolusioner di Kuba, mulai dari Peristiwa Teluk Babi hingga bentuk diplomasi setengah hati; embargo dan blokade ekonomi.

Sekarang ini, setelah melalui perjuangan panjang melawan kepungan dan blokade ekonomi AS dan sekutunya, Kuba berhasil menciptakan sebuah antitesa terhadap sistim kapitalisme. Di bidang pendidikan, misalnya, Kuba berhasil memberantas buta huruf dan menerapkan pendidikan gratis di semua jenjang pendidikan. Kuba juga unggul dalam bidang pelayanan kesehatan, dimana keberhasilan mereka disejajarkan dengan negara-negara maju.

Terkait perubahan politik di Amerika Latin sekarang ini, Jesus Syaiful Anam, Koordinator Hands off Venezuela (HOV) Indonesia mengatakan, kemenangan elektoral di sejumlah Negara Amerika Latin merupakan pertanda kebangkitan politik rakyat.

Lebih jauh lagi, perubahan politik di Amerika Latin dapat mempengaruhi perubahan politik dunia, terutama dalam menginspirasi perjuangan anti neoliberalisme dan anti kapitalisme di Negara atau kawasan lain. Venezula misalnya, terutama setelah Chavez mendeklarasikan Sosialisme Abad 21, mempunyai pengaruh politik luar biasa untuk mempengaruhi Negara atau kawasan yang lain.

Menurutnya, kebangkitan Bolivarianismo tidak dapat dipisahkan dengan peristiwa Carazcao, dimana jutaan rakyat turun ke jalan untuk memprotes kenaikan harga bahan bakar. Pada awal pemerintahannya, Chaves masih melibatkan kelompok oligarkhi dan borjuis nasional di negeri itu, bahkan berlangsung hingga kudeta oposisi tahun 2002. Baru pada tahun 2005 Chavez menegaskan orientasi sosialisnya.

Kedepan, revolusi Venezuela dapat menjadi jenis revolusi permanen, sebab mendasarkan kekuatannya kepada rakyat luas, khususnya kelas pekerja, kemudian berkembang bukan hanya dalam batasan nasional tetapi juga mengarah pada internasional.

Rudi Hartono, peneliti di Lembaga Pembebasan Media dan Ilmu Sosial (LPMIS), sekaligus pengelola Jurnal Nefos menyoroti sepak terjang pemerintahan berkarakter kiri di Amerika Latin. Menurutnya, ada tiga pergeseran pokok yang menonjol di Amerika Latin sekarang ini. Pertama, pengaktifan kembali negara sebagai alat untuk mencapai kesejahteraan dan pembangunan, terutama yang menempatkan rakyat sebagai protagonist dan sasaran. Kedua, penerapan kebijakan sosial, ekonomi, politik yang pro-kerakyatan, tentunya dengan kadar yang berbeda-beda, khususnya dalam program menghapus kemiskinan di kawasan ini. ketiga, adanya dorongan kuat untuk integrasi regional yang bersifat alternatif, khususnya untuk menggantikan model kerjasama regional yang berbau perdagangan bebas.

Dalam proses integrasi regional ini, menurut Rudi, sangat menarik karena mempengaruhi perimbangan kekuatan di masing-masing negara, secara regional, dan internasional. Model kerjasama regional, yang sebelumnya mempromosikan perdagangan bebas, justru mengeksploitasi kelemahan mereka dan menempatkan mereka sebagai mitra junior yang bergantung kepada AS.

Selain itu, Rudi juga menekankan soal platform umum dari pemerintahan kiri di Amerika Latin: keadilan sosial, demokrasi politik, dan kedaulatan nasional. Ketiga platform ini menjadi agenda penting bagi setiap pemerintahan, hanya saja prosesnya sangat bergantung pada peta perimbangan kekuatan di dalam negeri masing-masing.

Rudi juga menandai sejumlah tantangan yang dihadapi oleh pemerintahan kiri di Amerika Latin sekarang ini, seperti penggunaan media oleh oposisi, demokrasi liberal, dan kerusakan budaya akibat neoliberal (konsumerisme, fragmentasi, dsb). Di samping itu, ada usaha dari AS untuk memperluas basis militernya, tentunya untuk memudahkan kontrol terhadap pergerakan massa rakyat di wilayah ini.

Untuk itu, guna mengantisipasi hambatan ini, Rudi melihat sejumlah gebrakan yang dilakukan pemerintahan Chaves di Venezuela, Rafael Correa di Ekuador, dan Evo Morales di Bolivia. Ada beberapa usaha untuk melewati ringatan ini, diantaranya: mendorong integrasi regional (ALBA dan Bank Selatan), mensiasati dan mengganti aturan main sistim demokrasi liberal (referendum dan partisipasi rakyat), mendorong keterlibatan rakyat di garis depan (mobilisasi massa dan Council Commune), memperdalam atau mempercepat proses transformasi sosial, ekonomi dan politik.

Setelah diskusi berakhir, acara berlanjut dengan buka puasa bersama, kemudian pemutaran sebuah film berjudul "Tan Malaka".

Terkait acara ini, Ketua Umum Papernas Agus Jabo Priyono menekankan bahwa diskusi-diskusi seperti ini harus terus diintensifkan di kalangan pergerakan. Disamping itu, dia juga menegaskan perlunya kaum pergerakan Indonesia mempelajari sejarah negeri sendiri, karakter rakyat Indonesia, dan mengenali situasi dengan baik.

ULFA ILYAS

sumber Berdikari online

Posisi Gerakan Demokratik Terhadap Skandal BLBI dan Kasus Century

Arie Ariyanto*)

BERDIKARI Online, Jakarta : Belum tuntas penyelesaian skandal BLBI, publik kembali disuguhkan kejadian yang mengoyak rasa keadilan masyarakat. Pertama, Skandal Bank Century, berupa aksi penyelamatan yang dilakukan pemerintah lewat Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dengan menyuntikkan dana sebesar Rp 6,76 triliun. Aksi ini terus menjadi polemik. Bahkan, banyak kabar menyebutkan bahwa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono turut terlibat dan berkepentingan dalam aksi penyelamatan ini.

Komisi XI DPR mempersoalkan suntikan dana kepada Bank Century yang mencapai Rp 6,7 triliun, padahal yang diketahui oleh DPR hanya Rp 1,3 triliun. Bank Century pada November 2008 diambilalih oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) karena rasio kecukupan modalnya minus 3,5 persen. LPS terhitung menyuntikkan dana hingga empat kali kepada Bank Century sejak November 2008 sehingga jumlahnya mencapai Rp 6,7 triliun.

Langkah penyelematan pemerintah melalui keputusan penyelamatan Bank Century pada 21 November 2008 dilakukan saat kondisi perbankan Indonesia dan dunia mendapat tekanan berat akibat krisis ekonomi global. Dalih keputusan itu dilakukan untuk menghindari terjadinya krisis secara berantai pada perbankan yang dampaknya jauh lebih mahal dan lebih dasyat dibandingkan tahun 1998.

Saat ini Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melakukan audit untuk kasus Bank Century atas permintaan dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Juni 2009. Ketua BPK Anwar Nasution menjelaskan alasan pimpinan KPK meminta audit kepada BPK karena kasus Bank Century telah menjadi perhatian publik. BPK awalnya mengalami kesulitan untuk mengaudit kasus Bank Century, namun pada akhirnya menemui kelancaran setelah ada upaya kooperatif dari pihak Bank Indonesia.

Kedua, temuan Kejaksaan Agung terkait tunggakan besar yang dilakukan oleh Samsul Nursalim kepada pemerintah terkait Bantuan Likuiditas Bank Indonesia pada 1997. Meski sudah menerima Surat Keterangan Lunas (SKL), rupanya pihak Kejaksaan Agung menilai Samsul Nursalim telah melakukan ingkar janji/wanprestasi. Menurut Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara (JAM Datun) Edwin P Situmorang (04/09), dalam penyelesaian kewajiban Pemegang Saham Pengendali (PSP) PT BDNI Syamsul Nursalim sebesar kurang lebih Rp 28 Trilyun yang diselesaikan dengan pola MSAA, ternyata terdapat wanprestasi yang dilakukan Syamsul Nursalim kepada Pemerintah RI Cq Departemen Keuangan Cq BPPN kurang lebih senilai Rp 4,758 Trilyun.

Saat ini Kejaksaan Agung mengirimkan surat rekomendasi kepada Menkeu Sri Mulyani terkait temuan wanprestasi dari Syamsul Nursalim atas aset Rp 4,758 triliun. Hal ini terkait pengucuran kredit dari Bank Indonesia Rp 28 triliun dengan pola MSAA kepada PT BDNI dengan Syamsul selaku komisaris utama. Kejaksaan Agung berencana untuk menarik kembali sisa aset yang dimilikinya senilai 4,7 Triliun.



***

Skandal BLBI terjadi lebih dari 10 tahun ditengah Indonesia melewati krisis multidimensi sejak dimulainya pada 1997, setelah selama masa krisis, ekonomi, sosial dan politik nasional menjadi porak poranda. Kini sisa-sisa krisis itu belum hilang baik dalam benak rakyat maupun dalam beban APBN. Salah satunya adalah masalah penyaluran dan penggunaan dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) per 29 Januari 1999 sebesar Rp 144,54 triliun. Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) merupakan konsekuensi diterbitkannya kebijakan pemerintah yang tertuang dalam Kepres No.26/1998 dan Kepres No.55/1998. Kepres itu terbit setelah sebelumnya didahului munculnya Surat Gubernur BI (Soedrajad Djiwandono, ketika itu) tertanggal 26 Desember 1997 kepada presiden dan di setujui oleh Presiden Soeharto sesuai surat Mensesneg No. R183/M.sesneg/12/1997 karena adanya krisis moneter yang luar biasa saat itu.

Dana sebesar itu tersalur ke 48 bank yang terdiri atas kelompok 16 Bank Dalam Likuidasi (BDL) sebesar Rp 11,89 triliun, 10 Bank Beku Operasi (BBO) sebesar mencapai Rp 57,95 triliun, lima Bank Take Over (BTO) sebesar Rp 57,64 triliun, dan 18 Bank Beku Kegiatan Usaha (BBKU) sebesar Rp 17,32 triliun. (Rekomendasi BPK atas hasil audit investigatif penyaluran dan penggunaan dana BLBI)

Bank Take Over adalah bank yang diambil alih oleh pemerintah sebanyak 5 Bank yaitu BCA, Bank Danamon, PDFI, Bank Tiara Asia, Bank Nusa Nasional/BNN. Jumlah dana talangan BLBI yang diberikan kepada 5 bank ini sebanyak 57.6 triliun.

Kelima Bank ini menyelesaikan BLBI nya dengan cara hutang BLBI dikonversi kan menjadi saham pemerintah sehingga pemerintah menjadi mayoritas rata 90 % dan pemilikan lama tinggal 10%. Jadi pola penyelesaian BLBI Bank Take Over yaitu dengan cara hutang BLBI dikonversikan menjadi saham pemerintah. Artinya banknya sendiri yang menyelesaikan BLBI.

Selain itu para pemilik Bank Take Over juga adalah debitur bank tersebut maka mereka harus meyelesaikan pinjamannya. Pola penyelesaian pinjaman (PKPS) untuk Salim Group (eks BCA) sebesar Rp 52.7 T dengan cara Master of Settlement Acquisition Agreement (MSAA) dimana nilai aset yang diserahakan kepada pemerintah sama dengan pinjaman Groupnya. Sedangakan Usman Atmajaya (eks Danamon) sebesar Rp 12.3 T dengan cara Master Refinancing And Notes Issuence Agreement (MRNIA) dimana nilai aset lebih kecil dibandingkan pinjaman groupnya sehingga harus ditambah personal guarantee. Untuk pemilik PDFCI, Bank Tiara, BNN Pola penyelesaian dengan cara APU (Akte Pengakuan Utang).

Sedangkan pola penyelesaian lain dari Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) oleh Bank Beku Operasi (BBO) dan Bank Beku Kegiatan Usaha (BBKU). Jumlah BLBI yang diberikan kepada 10 Bank BBO sebesar Rp 57,6 Triliun. Sedangkan jumlah BLBI yang diberikan kepada 18 Bank BBKU sebesar Rp 17.3 triliun. Pola penyelesaian BLBI pada Bank BBO dan BBKU karena Bank mereka tidak beroprasi lagi maka hutang BLBI harus dibayar dengan aset pemilik Bank. Pola penyelesaiannya adalah dengan cara MSAA, MRNIA dan APU.

***

Pemberantasan korupsi sampai saat ini masih menghadapi berbagai kendala, baik itu upaya penggembosan maupun serangan balik koruptor lewat berbagai siasat. Sebagai contoh, berlarut-larutnya pembahasan RUU Tipikor dan Pengadilan Korupsi oleh DPR yang terancam tidak selesai. Serta, upaya menjatuhkan kredibilitas KPK sebagai komisi independen yang mempunyai kewenangan besar menyelidiki dan menyidik perkara korupsi melalui kasus yang menimpa Ketua KPK Antasari Azhar, dll.

Kejadian tahun lalu, masyarakat disuguhkan peristiwa yang cukup menyakitkan untuk keadilan publik, yaitu tiga bankir penunggak BLBI (Atang Latief, James Januardy, dan Ulung Bursa) diterima istana untuk merundingkan pola penyelesaian hutangnya. Inilah sejumlah fakta bahwa sekalipun pemberantasan korupsi mendapatkan dukungan luas dari masyarakat, akan tetapi hambatan dan upaya serangan balik koruptor juga semakin kuat.

Menurut guru besar Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, Prof Dr H Soetandyo Wignjosoebroto, kasus korupsi BLBI dinilai tidak hanya terkait pelanggaran pidana, tetapi juga tergolong pelanggaran hak asasi manusia di bidang pendidikan, ekonomi, dan sosial. Alasannya, dana senilai ratusan triliun yang macet seharusnya bisa dialokasikan untuk kesejahteraan rakyat, membangun fasilitas pendidikan, dan pemerataan kerja. Ironisnya, alokasi anggaran BLBI tersebut tidak diimbangi dengan porsi anggaran untuk kesejahteraan rakyat.

Dalamkonteks pemberantasan korupsi, lebih dari sekedar masalah teknis hukum kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengusut BLBI, agaknya poin yang lebih dibutuhkan ada pada komitmen KPK dan dukungan politik dari eksekutif dan legislatif. Dalam kondisi rendahnya legitimasi kejaksaan, indikasi terlibatnya beberapa pejabat struktural di Kejaksaan Agung dan fakta persidangan yang menyeret nama-nama penegak hukum, hampir tidak ada harapan untuk menyelesaikan kemelut skandal BLBI. Kecuali satu hal, KPK punya komitmen kuat menuntaskan skandal itu.

Publik mempunyai harapan besar, bahwa salah satu indikator pemberantasan korupsi adalah dituntaskanya berbagai skandal besar, salah satunya adalah BLBI. Dan prestasi pemberantasan korupsi oleh pemerintahan saat ini, dalam persepsi publik karena KPK dipercaya punya integritas, konsistensi dan kualitas SDM untuk menyelesaikan berbagai kasus, tidak ada pilihan lain.

Sejauh ini alasan penolakan berbagai fihak terkaiat pengambilalihan penanganan kepada KPK, masih berkisar pada perdebatan apakah kewenangan KPK mengambil alih BLBI bersifat retroaktif atau tidak. Namun, menurut Febri Diansyah, Peneliti Hukum, Indonesia Corruption Watch (ICW), poin ini telah dijawab sejumlah ahli hukum pidana. KPK jelas berwenang menangani BLBI. Masyarakat akan mendukung penuntasan skandal ini pada institusi yang lebih bersih. Kalaupun masih ada perbedaan di kalangan ahli hukum, pertanyaannya, apakah KPK akan memilih analisis yang mendukung pemberantasan korupsi atau sebaliknya?



***

Pada hari Selasa, 25 Agustus 2009 Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) didukung oleh Partisipasi Indonesia (PI) mendesak Kejaksaan Agung, sebagai institusi penegak hukum dan penuntutan nagara. Desakan pada Kejaksaan Agung tsb agar lembaga itu transparan untuk menjelaskan proses hukum terhadap sejumlah obligor bermasalah.

Saat ini sedikitnya ada 14 bank penerima BLBI yang proses hukumnya dihentikan. Padahal mereka belum menyelesaikan seluruh kewajibannya kepada negara.

Sebagai contoh, PT Sejahtera Bank Umum (SBU) milik keluarga Lesmana Basuki, hingga kini masih menunggak Rp. 800 miliar lebih kepada Negara. Namun sampai saat ini, penyelesaian hukumnya malah dihentikan. Padahal, Lesmana Basuki memiliki catatan buruk dalam penegakkan hukum di Tanah Air. Bersama 12 koruptor lainnya, Lesmana Basuki pernah tercatat dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) Kejaksaan Agung. Namun dia bisa bebas, setelah MA mengabulkan PK, tanpa alasan yang jelas.

Lesmana Basuki bersama dengan terdakwa Tony Suherman yang menjabat sebagai Direktur Opersional PT SBU pada bulan Mei 1994 hingga Februari 1998, menjual surat-surat berharga berupa Commercial Paper (CP) dan/atau Medium Term Note (MTN), atas tanggungan PT Hutama Karya. Namun hasil penjualan ini ternyata disalahgunakan dengan memasukkannya kedalam rekening konsorsium Hutama Yala di SBU Hayam Wuruk, yang seharusnya dimasukkan ke rekening PT Hutama Karya. Atas perbuatannya ini Negara dirugikan hingga Rp 209,3 miliar dan 105 juta dolar AS. Ketika akan dieksekusi pada 25 Juli 2000 sesuai keputusan PT DKI, keberadaanya tidak diketahui.



***

Berbagai kasus dan skandal uang rakyat, memang sangat melelahkan jika di ikuti secara teknis dan teoritis, modus operandinya. Tak heran, dalam masalah ini, domain-nya ada pada pengamat, ahli atau teoritisi yang mengerti seluk beluk moneter dan perbankan. Padahal, diluar kerumitan yang kita konsumsi melalui opini yang berkembang, sebenarnya kemelut ini berhulu pada frame dan orientasi ekonomi pemerintah dengan pendekatan neoliberlisme.

Sebagaimana kita ketahui, beberapa nama yang di duga menjadi aktor dalam aksi penyelamatan Bank Century diantaranya Boediono dan Sri Mulyani adalah pendekar-pendekar ekonomi pasar yang masuk dalam rongga-sendi otoritas moneter (BI) dan fiskal (Depkeu) dan mempunyai kewenagan penuh, arah kebijakan belanja uang negara. Fungsi control DPR-pun mandul, oleh berbagai sebab: lemahnya komitmen dan kemauan politik serta kecenderungan suap yang melekat pada sejumlah legislator.

Melalui suguhan berbagai skandal ini, kita mulai meredefinisi bahwa neoliberalisme yang dalam pemahaman umum adalah arah kebijakan ekonomi yang tidak menghendaki peran dan campur Negara dalam urusan publik, ternyata justru jauh lebih parah: ideologi neoliberal menghendaki Negara diarahkan untuk mensubsidi pelaku pasar (baca: korporasi). Maka untuk selajutnya, bisa dipahami bahwa pertentangan antara ekonomi neoliberal vs ekonomi kerakyatan sejatinya adalah pertarungan memperebutkan peran Negara, apakah akan diabdikan untuk mayoritas rakyat atau pemodal besar sebagai pelaku pasar.

Peran gerakan demokratik menjadi penting! Pertama, tidak hanya sekedar tagihan bagi kekuatan kritis gerakan (utamanya mahasiswa yang menjadi kendali moral) bahwa di depan mata ada praktek ketidak adilan kekuasaan yang secara pararel berderet ironi kemiskinan, pengangguran bahkan kelaparan di Yahokimo, Papua. Akan tetapi juga alat uji, masih tersedia kah energi gerakan untuk merespon persoalan besar ini (?).

Kedua, alat ukur/indikator ideologisasi gerakan di hadapkan pada praktek nyata operasi neoliberal dalam sendi-sendi vital penganggaran uang rakyat oleh Negara. Dengan demikian, respon gerakan dengan tuntutan dan solusinya menjadi injeksi pengetahuan rakyat ditengah perang opini dan langkah-langkah pembelaan melalui kekuasaan atas praktek penyelewengan ini (baca: counter issue).

Ketiga, gerakan juga di harapkan menjadi pisau pembelah kecenderungan spectrum di tingkat pengambil kebijakan untuk menghidari upaya kong-kalikong, sehingga bahaya laten penyelewengan uang rakyat yang selalu ‘selesai diatas' berdasar transaksi, bisa di hindari. Gerakan kembali mempunyai peran penting dalam menentukan demarkasi kekuatan politik, antara kubu neoliberalis vs pro-populis. Demarkasi ini sempat mengalami ujud pasang saat perdebatan dalam ajang Pilpres dan anti klimaks kembali surut saat hasil Pilpres diketahui pemenangnya.

Bola atas skandal tersebut saat ini ada di beberapa pengambil kebijakan. Pertama, BPK yang saat ini di perintahkan oleh KPK untuk melakukan audit investigasi atas aksi talangan Bank Century. Kedua, DPR yang mempunyai kewenangan untuk membentuk hak angket, sekaligus mengoptimalkan fungsi kontrolnya. Ketiga, KPK sebagai lembaga independen yang yang dibekali kewenangan dan payung hukum menindak perkara korupsi. Ke-empat, Kejaksaan Agung sebagai lembaga penuntutan Negara, jika terbukti ada tindakan pidana atas skandal tersebut sebagai di tandainya proses hukum. Dan tak kalah penting adalah pada kekuatan atau jantung neoliberal itu sendiri, yaitu Istana Negara, Bank Indonesia sebagai pemegang otoritas moneter dan Departemen Keuangan sebagai pemegang otoritas fiscal. Pada institusi-institusi itulah serangan gerakan harus diarahkan.

Dengan diskusi dan konsolidasi teori kita berharap gerakan demokratik bisa mendapatkan senjata ampuh lagi: aksi!

*) Penulis bekerja sebagai Managing Director Partisipasi Indonesia dan Anggota Partai Rakyat Demokratik/Pepernas.

Minggu, 16 Agustus 2009

PERJUANGAN KEBUDAYAAN di BAWAH NEOLIBERALISME

Sebelum masuk ke tahap apa yang harus dilakukan dalam perjuangan kebudayaan di alam neoliberalisme ini, pertama, yang harus dipahami adalah kebudayaan tidak bisa lepas dari sistem ekonomi politik yang sedang berkuasa di satu negeri. Keduanya tak bisa terpisahkan. Untuk bisa memahami budaya massa yang terjadi sekarang ini, kita harus masuk dalam sejarah tiga era kepemimpinan politik yang ada di Indonesia.

Era Soekarno

Soekarno menerapkan politik Demokrasi Liberal dalam artian semua ideologi diperbolehkan tumbuh berkembang. Berdirinya banyak partai dan ormas (Pemilu thn 1955 diikuti 100an partai) membuktikan hal itu. Soekarno bahkan mampu memetakan tiga spektrum kekuatan besar di Indonesia, yakni yang disebutnya dengan Nasionalis, Agama dan Komunis (NASAKOM). Tiga kekuatan itulah yang coba disatukan Soekarno dalam sebuah cita-cita menjadikan Indonesia negeri yang berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi dan berkepribadian di bidang budaya.

Ekonomi Tertutup yang dianut Soekarno terwujud dengan menolak bantuan dari negeri-negeri kolonialist Barat. Penolakan terhadap intervensi kekuatan asing (dalam hal ini dominasi modal) pernah pula ditegaskan oleh salah satu pimpinan teras Partai Komunis Indonesia (PKI) MH. Lukman pada tahun 1959 dalam artikel berjudul ‘Penanaman Modal Asing Memperkuat Kedudukan Imperialisme di Negeri Kita’. MH. Lukman berkata: “ ….. Kami anti penanaman modal asing karena keyakinan kami bahwa dengan penanaman modal asing atau dengan imperialisme bukan saja tidak bisa memperbaiki tingkat penghidupan rakyat dan mengembangkan ekonomi nasional, tetapi malahan menghancurkan kedua-duanya. Tidak ada kaum imperialis di dunia ini yang menanamkan kapitalnya di manapun juga berdasarkan perikemanusiaan untuk menolong sesama manusia”.
Kita tentu ingat seruan mahsyur Soekarno saat itu: ”Go To Hell With Your Aid..!”

Politik liberal Soekarno justru menjadikan dinamis di lapangan kebudayaan. Lahirnya Surat Kepercayaan Gelanggang (yang ditandatangani di Jakarta tanggal 18 Februari 1950, menyatakan "Revolusi di tanah air kami sendiri belum selesai"), berlanjut dengan polemik budaya antara Lekra - Manikebu. Selain Lekra (yang lahir pada 17 Agustus 1950) juga terbangun wadah kebudayaan seperti Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN), Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia (Lesbumi) yang didirikan warga Nahdatul Ulama (NU).

Aura politik Soekarno yang anti penjajahan asing saat itu merembes ke kerja-kerja kebudayaan. Misalnya mobilisasi massa untuk ganyang Malaysia (karena konsolidasi Malaysia akan menambah kontrol Inggris di kawasan ini, sehingga jadi ancaman terhadap kemerdekaan Indonesia) dan aksi boikot film-film import oleh Panitia Aksi Pemboikotan Film Imperialis Amerika Serikat (PAPFIAS) karena dinilai berisi propaganda yang berbahaya bagi kesadaran massa.

Era Soeharto

Politik Otoriter Orde Baru terwujud dalam pemasungan: pembatasan hak‑hak dasar partisipasi rakyat dalam berorganisasi – berpolitik. Itu pun masih ditambah dengan penerapan 5 paket UU Politik (Pemilihan Umum, Susunan dan Kedudukan MPR/DPR, Partai Politik dan Golkar, Referendum dan Organisasi Kemasyarakatan), juga dwi fungsi ABRI (militer Indonesia/TNI memiliki dua tugas, yaitu menjaga keamanan - ketertiban negara serta memegang kekuasaan mengatur negara). Ini semua semakin mengukuhkan kontrol dan dominasi kekuasaan Orde Baru Soeharto kepada rakyat. Hanya ada 3 partai politik (PPP – PDI – Golkar); pembredelan koran, majalah dan pelarangan buku‑buku merupakan ”kebijakan” politik Soeharto atas nama ”stabilitas” keamanan negara.

Soeharto menganut sistem Ekonomi Liberal/liberalisasi ekonomi (terbalik 180 derajat dari era Soekarno) dengan membuka lebar pintu bagi modal-modal luar negeri. Tahun 1967 keluar UU No 1 tentang Penanaman Modal Asing/PMA. PMA bebas dari pajak negara, PMA berkuasa penuh atas sumber daya alam dan sumber daya manusia Indonesia. Koorporasi raksasa macam Freeport, Newmont, ExxonMobil, ConocoPhilips, Chevron, British Petrolium, HalliBurton dan seterusnya silahkan masuk. Pemerintah juga mulai berhutang pada IGGI, IMF, Bank Dunia, Paris Club.

Politik otoriter Soeharto melahirkan budaya bisu di rakyat. Tak ada budaya kritis, tak berani beda pendapat dengan pemerintah karena negara begitu bengis dan tak segan menghantam siapapun yang mencoba tak ikut aturan. Bahkan bisa-bisa, 5 orang berkumpul tanpa seizin keamanan setempat bisa jadi masalah besar.

Liberalisasi ekonomi (yang kemudian diistilahkan pemerintah dengan globalisasi) praktis membawa masuk produk-produk budaya dari peradaban barat ke Indonesia, mengubah budaya masyarakat kita. Yang tadinya hanya mengenal budaya kerakyatan dan sisa-sisa feodal, sejak adanya gelombang neoliberalisme kita pun tahu: diskotik, Coca Cola, MTV, mode/fashion yang bisa membuat penampilan para remaja kita seragam.

Kita tentu masih ingat film Ghost di tahun 1991, trend saat itu adalah seluruh remaja putri kita meniru plek gaya rambut Demi Moore si pemeran utama film tersebut. Atau ikut pencitraan (seperti sang model dalam produk di iklan di TV) bahwa kulit yang baik itu harus putih, rambut yang bagus itu harus lurus, perut yang sehat itu harus rata (dulu orang ingin jadi gemuk seperti Patih Gajah Mada, Tunggul Ametung, Ken Arok, Napoleon Bonaparte, Alfred Hitchcock karena gemuk adalah simbol kemakmuran dan kesuksesan). Maka berbondonglah orang di seluruh negeri membeli kosmetik pemutih kulit, salon diantri orang yang ingin Ribounding (proses pelurusan rambut secara permanen), gymnasium – fitness centre digeruduk guna pelangsingan perut, makanan, minuman, jamu, obat-obatan dan alat-alat (yang menjanjikan penurunan berat badan dan mengencangkah perut dalam waktu singkat) ramai dibeli orang.

Era Reformasi/Neoliberalisme

Era sekarang (yang orang biasa menyebut dengan era reformasi) pemerintahan kita menerapkan liberalisasi politik dan ekonomi.

Organisasi dan partai politik berdiri, kebebasan berpendapat - kebebasan pers dijamin undang undang (walau demokrasi belum sepenuhnya, karena ajaran Marxisme – Leninisme, Ahmaddiyah masih jadi larangan).

Liberalisasi Ekonomi yang merupakan kelanjutan era Soeharto dulu semakin membuat rakus imperialisme mencaplok sumber daya alam negeri kita (minyak, gas, nikel, emas, timah, baja, bijih besi dst). Mereka terus berpindah - terus ”browsing” ladang-ladang mana lagi yang bisa dieksploitasi. Ladang lama tergerus habis, tersisa tinggal limbah dan lingkungan rusak.

Runtuh - bangkrutnya industri nasional karena memang tidak mampu bersaing dengan korporasi – korporasi asing dalam hal modal juga SDM/penguasaan technologi.

Karena pembangunan ekonomi/cari modalnya dengan ngutang ke IMF, Bank Dunia, Paris Club maka harus bayar ke para lembaga donor internasional tersebut. Ini menyedot banyak APBN negara yang seharusnya digunakan untuk maximum program – program sosial.

Neoliberalisme dalam budaya menjadikan kita terbiasa belanja ke Mall (yang tumbuh subur menggusur pasar-pasar tradisionil yang dulu becek, bau, plus juga melenyapkan interaksi positif antar sesama pembeli/pembeli dengan pedagang).

Tidaklah buruk kalau kita ikut budaya maju peradaban barat, mengkonsumsi makanan capat saji di Mc Donald’s, menikmati musik di Hard Rock Cafe, trance bersama DJ favourite, nonton film terbaru produk Hollywood di Mega Blitz, ngopi di Starbucks sambil online atau mendatangi pameran komputer terbesar untuk update informasi terkini dunia technologi komputer - IT dsb. Hanya saja itu belum jadi budaya yang juga bisa dinikmati seluruh rakyat negeri ini. Mahalnya biaya sekolah berpengaruh pada sumber daya manusia Indonesia. Pada akhirnya kita hanya terus mengkonsumsi tanpa mampu mencipta bahkan menandingi produk-produk maju budaya barat.

Neoliberalisme dalam makna globalisasi juga telah menghilangkan batas-batas negara dan bangsa dalam menaikkan berbagai genre kesenian kita ke tingkat dunia. Sepertinya tak ada sekat dalam menilai bentuk-bentuk kesenian yang berkembang.

Inul bisa saja ditolak di sini, tapi di belahan dunia lain justru diminati. Gamelan dan wayang sekarang jadi milik dunia tak hanya Jawa & Bali. Karya Sastra Pram yang berbahasa Indonesia bisa dibaca warga dunia dengan melalui proses penterjemahan ke 41 bahasa asing. Si ’Laskar Pelangi’ Andrea Hirata diantri dan dikejar ratusan orang yang minta tanda tangannya, tidak hanya di Indonesia tapi juga di Malaysia dan Singapura.

Lalu Bagaimana Perjuangan Kebudayaan Di bawah Neoliberalisme?

Lapangan budaya era neoliberalisme sekarang ini memungkinkan kita menggunakan demonstrasi, organisasi, teater, film, vergadering, rapat, kongres, diskusi, selebaran, pamflet sebagai tehnik dan ekspresi dalam berjuang.

Dan suatu perjuangan kebudayaan harus memiliki landasan ideologi, yakni harus punya cita-cita membangun masyarakat sejahtera, modern, berpemerintahan bersih dan pro rakyat/kerakyatan. Akhirnya gerakan kebudayaan bermakna politik. Dalam bentuk kongkritnya, membangun organisasi supaya bisa berbicara seluas-luasnya perihal problem-problem rakyat berikut jalan keluarnya.

Sebagai referensi bolehlah kita belajar dari negeri - negeri yang bisa begitu berdaulat karena berhasil membangun gerakan kebudayaan dan semangat nasionalisme progressif untuk kemajuan bangsanya.

Spirit Swadesi-nya India

Mereka bangun Bollywood untuk melawan dominasi Hollywood, mereka buat merk minuman Cola Cola sebagai tandingan Coca Cola.

Di awal 2008 ini Tata Motors Ltd. produsen mobil dan kendaraan komersial terbesar di India meluncurkan mobil termurah di dunia dan berseru: "People's Car".

Cara berpakaian banyak orang India (bahkan oleh warganya yang tinggal di luar India) tidak melulu ikut trend mode eropa – amerika. Selain sebagai budaya identitas juga berkaitan erat dengan industri dalam negeri mereka, hasil produk textile dalam negeri mendahulukan kebutuhan dalam negeri India sebelum diexport.

India maju dalam hal IT dan perkembangan teknologi, punya banyak jagoan-jagoan software, sampai super komputer tercepat pun tidak kalah dengan negeri-negeri barat.

Spirit Kamikaze-nya Jepang

Siapa sangka negeri sekecil Jepang yang miskin sumber daya alamnya justru mampu menjajah Indonesia (bahkan dunia) yang super besar ini. Industri otomotif mereka begitu digdaya, mobil-mobil buatan Jepang mengisi garasi-garasi rumah rakyat, dan kalau jalan-jalan protokol di seluruh negeri ini sedang macet, dapat dipastikan 100 % kendaraan yang sedang memenuhi jalanan itu pasti produksi Jepang.

Icon-icon kebudayaan mereka macam komik Manga, Harajuku Style – J Rock/Japanese Rock mendominasi dunia.

Jepang juga mampu mengembangkan tehnik bertani modern/tehnik bertani hidrolik, membangun lahan pertanian secara indoor bahkan di lantai atas sebuah gedung pencakar langit.

Spirit kemandirian-nya China

Kebijakan tegas politik pemerintahan China (kasus Tiananmen, Falun Gong, konflik dengan Taiwan dan Tibet) di satu sisi memang menuai banyak kecaman, tapi sisi lainnya China berhasil dalam menjaga keutuhan dan kemajuan negerinya.

Kebijakan tegas lain adalah hukuman berat (potong jari dsb) bagi pelaku korupsi, bahkan berlaku sampai ke keluarga inti; si ayah korupsi, ibu dan anak juga terkena hukuman.

Pemerintah China (lewat Departemen Keamanan Publik dan Departemen Publikasi Komite Sentral Partai Komunis China) juga memerangi pornografi yang dikongkritkan dengan penutupan ribuan situs porno. Alasannya tentu bukan karena pemerintah takut terhadap kaum oposan berpropaganda menyerang pemerintah lewat internet, atau bersiap jadi tuan rumah olimpiade 2008, tapi China memproteksi rakyatnya agar tidak jadi “sumber nafkah” bagi situs-situs porno yang banyak datang dari luar China. Dengan jumlah penduduk terbesar di dunia dan ada sekitar 210 juta orang yang aktif mengunakan internet tentunya akan jadi pasar menggiurkan bagi bisnis situs porno mencari pelanggan.

Kungfu China yang tak pernah mati, terus bermetamorfosis, menerobos Hollywood, improvisasi cerita tanpa membuang identitas budaya asal. Kungfu China mengalahkan legenda Highlander dari Scotland. (Ingat film The Forbidden Kingdom dan Kungfu Panda)

Lalu kita sendiri harus gimana..?

Kita sudah menyimpulkan bahwa Indonesia sekarang adalah negeri yang terjajah oleh imperialisme modern. Kongkritnya dengan dikuasainya kekayaan energi dan tambang kita oleh koorporasi-koorporasi asing, juga kewajiban bayar utang luar negeri adalah bentuk penjajahan yang lain.

Untuk bisa maju menjadi negeri-negeri hebat seperti diulas di atas maka kita harus kembali ke semangat Soekarno. Semangat yang dalam istilah pimpinan politik kita waktu itu sebagai TRISAKTI; menjadikan Indonesia Mandiri secara ekonomi, Berdaulat secara politik dan berkepribadian di bidang Budaya.

Sekaranglah keharusan kita membangun gerakan Pembebasan Nasional; lewat demonstrasi, lewat organisasi, dengan teater, film, seni musik, seni sastra, vergadering, rapat, kongres, diskusi, selebaran, pamflet, internet dan berseru: ”Hapus Hutang Luar Negeri, Nasionalisasi Industri Tambang Asing, Bangun Pabrik (Industri) Nasional untuk Kesejahteraan Rakyat.

Meluaskan gerakan pembebasan nasional, menjadikannya budaya bahkan kesadaran luas di rakyat, itulah tugas para pekerja budaya sekarang ini.

___________________________________
Oleh Tejo Priyono
Ketua Jaker & Kabid Budaya PAPERNAS.

Sneevliet:





Dari Belanda, Menebar Benih Radikalisme di Indonesia

Dalam pustaka sejarah, nama Sneevliet lebih identik sebagai penyemai ‘virus’ ideologi komunisme, yang dibawanya dari Belanda. Sasarannya bukan hanya orang-orang Belanda yang ada di Indonesia, melainkan juga orang-orang Indonesia. Di negeri asalnya, dia adalah petaka bagi rezim. Kepalanya terlalu keras untuk ditundukkan. Akibatnya, dia masuk daftar buronan, yang siap diseret ke penjara kapan saja.
Bernama lengkap Hendricus Josephus Franciscus Marie Sneevliet, kita lebih mengenalnya dengan nama nama Sneevliet. Ia lahir di Rotterdam, 13 Mei 1883. Proses berpolitiknya dimulai ketika tahun 1901, dia bekerja sebagai buruh di sebuah pabrik di Belanda. Akhirnya, pada usia 20–an, dia mulai berkenalan dengan gelanggang politik. Ia bergabung dalam Sociaal Democratische Arbeid Partij (Partai Buruh Sosial Demokrat) di Nederland hingga tahun 1909, yakni sebagai anggota Dewan Kota Zwolle. Setelah itu dia diangkat sebagai pimpinan serikat buruh kereta api dan trem (National Union of Rail and Tramway Personnel) pada tahun 1911.
Di organisasi baru inilah, Snevlieet menunjukkan watak sejatinya, berani, dan tak pernah menyerah. Dia memimpin pemogokan-pemogokan buruh di Belanda, sehingga membuat namanya masuk dalam ‘daftar hitam’ di Belanda. Keberanian ini pastilah membuat rezim takut. Lewat federasi serikat buruh, yang dikuasai oleh pemerintah, dibuatlah cara untuk menekan Snevlieet. Sehingga, jabatan sebagai ketua serikat buruh kereta api cuma setahun dipegangnya. Pada tahun 1912, ia mengundurkan diri, setelah terjadi konflik yang panas antara serikat buruh yang dipimpinnya dengan federasi serikat buruh. Peristiwa itu terjadi setelah terjadinya pemogokan buruh-buruh kapal, di mana Sneevliet berdiri sebagai pimpinan aktif dalam pemogokan itu. Lepas dari aktivitasnya di Serikat Buruh, sempat membuat Sneevliet bimbang, ia bahkan berniat untuk mundur dari ranah pergerakan. Beralihlah dia ke dunia perdagangan, dan inilah jalan yang membawanya berkelana sampai ke Indonesia
Tahun 1913, untuk kali pertama, ia menginjakkan kaki ke Indonesia. Tepat pada saat itu, dunia pergerakan di Hindia Belanda tengah bersemi. Sneevliet, yang pada awalnya bekerja sebagai jurnalis di sebuah harian di kota Surabaya, mulai terusik untuk kembali berpolitik. Namun saat itu kondisi kerjanya masih belum mapan, ia pindah ke Semarang dan diangkat menjadi sekretaris di sebuah perusahaan.

Mendirikan ISDV
Hasrat politiknya rupanya tak bisa ditahan-tahan. Dia sempat aktif menjadi sekretaris dari Handelsvereeniging (Asosiasi Buruh) di Semarang. Pada tahun 1914, ia mendirikan sebuah organisasi politik yang diberi nama Indische Sociaal Democratische Vereniging (ISDV). Awalnya anggotanya hanya 65 orang, yang kesemuanya adalah orang Belanda dan kalangan Indo-Belanda. Sneevliet masih belum yakin untuk merekrut anggota dari kaum bumi putra. Dalam waktu setahun kemudian, organisasi tersebut mengalami perkembangan pesat menjadi ratusan anggotanya. Perkembangan tersebut tak terlepas dari peranan koran organisasi berbahasa Belanda, Het Vrije Woord yang menjadi corong propaganda ISDV. Beberapa tokoh Belanda yang aktif membantu Sneevliet adalah Bergsma, Adolf Baars, Van Burink, Brandsteder dan HW Dekker. Di kalangan pemuda Indonesia tersebut nama-nama Semaun, Alimin dan Darsono. Pengaruh ISDV juga meluas di kalngan buruh buruh kereta api dan trem yang bernaung dibawah organisasi Vereniging van Spoor Tramweg Personal (VTSP).
Dalam waktu yang bersamaan, pergerakan di Hindia Belanda tengah mengalami masa terang. Sarekat Islam, terus membesar dengan jumlah anggota mencapai puluhan ribu yang tersebar di berbagai daerah. Oleh karena itu ISDV, merubah haluan untuk menitik beratkan pengorganisiran pada anggota-anggota maju dari Sarekat Islam, dan inilah cikal bakal generasi pertama perekrutan kader-kader Marxis.
Pada bulan Maret 1917 Sneeveliet menulis artikel berjudul Zegepraal (kemenangan), yang memuliakan Revolusi Februari Kerensky di Rusia dengan kata-kata:
Telah berabad-abad disini hidup berjuta-juta rakyat yang menderita dengan penuh kesabaran dan keprihatinan, dan sesudah Diponegoro tiada seorang pemuka yang mengerakan massa ini untuk menguasai nasibnya sendiri. Wahai rakyat di Jawa, revolusi Rusia juga merupakan pelajaran bagimu. Juga rakyat Rusia berabad-abad mengalami penindasan tanpa perlawanan, miskin dan buta huruf seperti kau. Bangsa Rusia pun memenangkan kejayaan hanya dengan perjuangan terus-menerus melawan pemerintahan paksa yang menyesatkan. Apakah penabur dari benih propaganda untuk politik radikal dan gerakan ekonomi rakyat di Indonesia memperlipat kegiatannya? Dan tetap bekerja dengan tidak henti-hentinya, meskipun banyak benih jatuh di atas batu karang dan hanya nampak sedikit yang tumbuh? Dan tetap bekerja melawan segala usaha penindasan dari gerakan kemerdekaan ini? Maka tidak bisa lain bahwa rakyat di Jawa, diseluruh Indonesia akan menemukan apa yang ditemukan oleh rakyat Rusia: kemenangan yang gilang gemilang.

Organisasi ISDV bergerak cepat dengan strategi mereka untuk merekrut massa dari SI. Pengaruhnya yang kuat ternyata mengkhawatirkan pemerintah Hindia Belanda, sebab pada saat yang sama, pemogokan-pemogokan buruh bertambah kuat dan meluas. Semaun, Darsono dan Alimin, adalah pimpinan-pimpinan SI Semarang yang berhasil direkrut oleh Snevlieet. Mereka punya kesamaan pandangan, prinsip-prinsip ideologi radikal dengan ISDV. Pada akhirnya perpecahan di tubuh SI tak terelakkan, perpecahan antar sayap moderat dan sayap radikal. SI Putih yang dipimpin HOS Tjokroaminoto, H.Agus Salim dan Abdul Muis, serta SI Merah yang dikepalai oleh Semaun dan teman temannya.

Kemenangan revolusi Rusia makin banyak jadi bahan perbincangan rakyat. Agar pengaruh ISDV tidak semakin mengeruhkan situasi, yang dikhawatirkan memberi kemungkinan terjadinya pemberontakan rakyat, maka pemerintah Hindia Belanda menyusun rencana untuk menangkap Sneevliet dan menyeseretnya ke pengadilan. Sneeliet pun, pada bulan Desember 1918, akhirnya diusir dari Indonesia karena aktivitas politiknya.
ISDV pun mulai kehilangan kendali akibat para pimpinannya diusir dari Indonesia. Juga mulai dijauhi massa akibat prinsip-prinsip radikal mereka yang masih belum bisa dipahami massa. Semaun pun mengambil keputusan, mengganti ISDV menjadi Partai Komunis Hindia pada 23 Mei 1920. Tujuh bulan kemudian, partai ini mengubah namanya menjadi Partai Komunis Indonesia. Semaun terpilih sebagai ketua.
Akan halnya dengan Snevlieet, ia diproses oleh jaksa dan hakim Belanda dari pemerintahan Hindia Belanda. Seorang Belanda kontra Belanda; tetapi juga seorang sosialis kontra kolonialis. Di depan pengadilan yang terjadi pada bulan November 1917, ia membacakan pidato pembelaannya setebal 366 halaman. Pidato pembelaanya itulah yang merupakan sumber referensi mengenai ajaran-ajaran sosialisme secara ilmiah, yang dipakai oleh banyak pemimpin-pemimpin bangsa kita. Salah satunya adalah Indonesia Menggugat, pidato pembelaan Bung Karno ayang dibacakan di muka Pengadilan di Bandung pada tahun 1930. Pledoi setebal 183 halaman itu jelas-jelas menunjukkan pengaruh yang besar sekali dari jalan pikiran Sneevliet yang dikembangkannya di tahun 1917.

Sejak saat itulah ajaran-ajaran Marxisme meluas di Indonesia. PKI berdiri di Semarang, pada tahun 1920 dengan Semaun-Darsono yang mempeloporinya. Di Surabaya Tjokroaminoto dari Serikat Islam, mulai juga memakai referensi-referensi kiri dan literatur yang disebut oleh Sneevliet di dalam pembelaannya, seperti: artikel Das Kapital-nya Marx.

Berbagai literatur tersebut mulai mulai dicari-cari beberapa aktivis. Ada juga yang berusaha mendapatkannya dengan membeli dan meminjam dari toko buku ISDV, dan dikaji di rumah Tjokroaminoto bersama-sama Surjopranoto, Alimin dan lain-lain. Termasuk salah satunya adalah Bung Karno, pemuda cerdas yang tahun 1916-1920 indekos pada keluarga Tjokroaminoto, seorang tokoh pergerakan di Surabaya. Hal tersebut diakuinya dalam sebuah surat yang ditulisnya saat dia menjalani masa pembuangan di Bengkulu, tahun 1941:
“Sejak saya sebagai seorang anak plonco, untuk pertama kalinya saya belajar kenal dengan teori Marxisme dari mulut seorang guru HBS yang berhaluan sosial demokrat (C. Hartough namanya) sampai memahamkan sendiri teori itu dengan membaca banyak-banyak buku Marxisme dari semua corak, sampai bekerja di dalam aktivitas politik, sampai sekarang, maka teori Marxisme bagiku adalah satu-satunya teori yang saya anggap kompeten buat memecahkan soal-soal sejarah, soal-soal politik, soal-soal kemasyarakatan.”

Terinspirasi oleh gerakan revolusi yang dilakukan oleh Bolshevik, ISDV mulai mengorganisir kalangan militer dengan membentuk dewan-dewan tentara dan pelaut. Dalam waktu tidak lebih dari tiga bulan sekitar tiga ribu prajurit dan pelaut menjadi anggota gerakan yang kemudian dikenal dengan nama tentara merah. Akan tetapi, tanpa diduga, waktu kemudian berjalan bertolak belakang dengan semangat revolusioner yang tengah berkembang. Revolusi Rusia yang menjadi perspektif bagi tumbuhnya revolusi Eropa dan negeri-negeri lain di Eropa, di belahan Eropa lainnya justru mengalami kekalahan dan diberangus, termasuk di Belanda. Akibatnya kemudian berimbas pula pada pergerakan di Indonesia. Reaksi juga menjalar ke Hindia Belanda, anggota-anggota tentara merah dan anggota ISDV ditangkap dan dipenjara, seiring dengan kekalahan dan gerakan revolusi Belanda.

Langkah Sneeviet pun masih belum terhenti. Pada 1920 dia hadir pada Kongres Kedua Komintern di Moskow sebagai perwakilan dari ISDV. Dan dari 1921 hingga 1923 menjadi perwakilan dari Comintern di China. Sekembalinya ke Belanda, dia menjadi ketua Sekretariat Nasional Buruh. Pada tahun 1929, dia mendirikan Partai Sosialis Revolusioner dan terpilih sebagai ketuanya. Setelah penggabungan partainya berubah nama menjadi Revolutionary Socialist Workers' Party, dimana Sneevliet menjadi sekretaris pertama dan kemudian kemudian menjadi ketua hingga 1940. Dia juga sempat menjadi anggota Parlemen dari 1933 hingga 1937. Pada saat perang Dunia Kedua dia memimpin grup pertahanan bernama Marx-Lenin-Luxemburg-Front. Dia kemudian tertangkap dan dieksekusi pada tahun 1942.
______________________________________________________
Diambil dari Koran Pembebasan Partai Rakyat Demokratik | No. 4 Tahun I November 2002

TIRTO ADHI SOERYO




Sang Pembebas yang Tersingkir dari Sejarah

Seorang besar acapkali baru terasa kadar kebesarannya tatkala dia sudah tiada. Dan selalu saja kita terlambat menyadarinya. Tak terbilang tokoh yang terlepas dari kesadaran historis kita, entah karena pemburaman ‘sejarah’ yang memang sering dikuasai kaum yang menang atau lantaran kita tak pernah sungguh-sungguh jujur dalam menilai kembali ‘sejarah’ kita sendiri. Dan karenanya, kita telah melupakan satu nama: Tirto Adhi Suryo. Sungguh ironis, mengingat dia adalah sosok paling penting bagi bangkitnya pergerakan kaum terdidik Indonesia. Tirto, pertama-tama harus diletakkan dalam setting sosial pergerakan nasional bangkitnya pers pribumi, pintu gerbang bagi, terutama, kaum terjajah ke alam demokrasi modern. Dan Tirto lah sang pemulanya. Tulisan-tulisannya yang tajam mengajarkan kaum terjajah untuk bangkit dan berani melawan kesewenangan kolonial, menjadi kaum mardika.
Pramudya Ananta Toer, penulis besarbeberapa kali, berturut-turut, dinominasikan meraih nobel kesusastraanmenuangkan segenap kekagumannya pada sang tokoh dengan menulis Sang Pemula dan tetralogi Buru Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca. Mencermati garis hidupnya, pada masanya Tirto memang seorang pribadi pemula, dalam segala hal. Ia lebih dikenal, itu pun oleh segelintir orang saja, sebagai perintis pers. Padahal, tangannya lah yang menciptakan hampir seluruh senjata bagi perubahan ke arah dunia modern. Tirto merupakan seorang pribumi pertama yang mendirikan NV (sebagai bentuk perniagaan), percetakan, hotel, lembaga bantuan hukum, lembaga penyalur tenaga kerja, perintis bidang periklanan, perintis emansipasi kaum perempuan, sekaligus pendiri SDI (menurut ejaan sekarang/MES: Serikat Dagang Islam), cikal bakal SI (MES: Serikat Islam), organisasi modern pribumi pertama dan terbesar di Indonesia.
Terlahir di Blora tahun 1880, dari keluarga aristokrat Jawa bapaknya seorang Bupati bernama RM Tirtodipuro. Djokomono, nama kecilnya. Satu hal yang membuatnya beruntung, karena asal muasal kastanya, adalah kesempatan mendapatkan pendidikan Eropa, sehingga ia bisa membandingkan antara kultur kasta bangsawannya, yang dianggapnya ‘kuno dan menindas’, dengan kultur ‘modern yang membebaskan’.
Djokomono kecil tak mengenal kedua orang tuanya dengan baik, sejak kecil ia hidup berpindah-pindah dari satu keluarga ke keluarga yang lain yang memiliki jabatan-jabatan penting pemerintahan di Jawa. Sosok yang ia sematkan hormat tertingginya adalah sang nenek seorang perempuan agung, yang dengan gagah berani menghadap Gubernur Jendral Hindia Belanda, memprotes ketidakadilan yang ditimpakan pada suaminya, seorang Bupati di Bojonegoro. Sang nenek lah yang memberinya petuah-petuah berharga: percaya pada kekuatan sendiri, tak takut pada kemiskinan dan kehilangan pangkat. Sikap Tirto yang berbeda dari watak kebanyakan kastanya: bicara lugas, berani menentang ketidakadilan, membuatnya tersisih dari pergaulan saudara-saudaranya. Terutama,
setelah ia menolak mentah-mentah meneruskan jabatan bapaknya.

Tirto, pribadi penggelisah dan sendiri, agaknya memang terlahir untuk membebaskan. Budaya tulis menghantarkannya pada dunia yang agung dan gemilang. Ia adalah seorang jurnalis pribumi pertama yang menulis dengan bahasa Melayu lingua franca. Ia adalah jurnalis yang jangkauan gagasannya melambung jauh melebihi keadaan jamannya. Di tangannya, pers menjelma sebagai senjata pembela keadilan. Dalam Zaman Bergerak, Takashi Shiraishi menyebut bahwa Tirto lah orang bumiputra pertama yang menggerakkan bangsa melalui tulisan. Tak berlebihan kiranya menyebut Tirto sebagai inisiator kebangkitan kesadaran nasional, yang mengawali langkahnya tanpa gentar: bahwa proses pemerdekaan harus dirintis dari dua bilah mata pisaukoran dan organisasi!

Titik terpenting hidupnya diawali ketika ia bersekolah di STOVIA pada usia
13 tahun. Ini memang tak lazim, umumnya anak para bangsawan lebih memilih sekolah pamong praja, yang menjamin jalan lempang menuju kekuasaan; sedangkan sekolah kedokteran, tentu lebih condong dengan ‘pengabdian’ ketimbang kekuasaan. Di sekolah ini lah dan di kota Batavia lah Tirto muda menempa diri dengan beragam pergaulan dan pengetahuan. Di lingkungan sosial seperti itu lah lah ia, untuk pertama kali, terbebas dari segala aturan feodal kebangsawanan yang menyesakkan.

Sejak mula cita-citanya cuma satu: membuat surat kabar sendiri, sebagai suluh penerang bagi bangsanya. Sayang, semua selalu terbentur ketiadaan dana.
Baru lah, pada tahun 1903, dengan bantuan modal dari RAA Prawiradiredja, Bupati Cianjur yang sepakat dengan ide-idenya, berdirilah surat kabar yang diberi nama Soenda Berita. Surat kabar pertama yang didirikan, dikelola dan diterbitkan oleh orang pribumi. Tujuannya adalah meningkatkan pengetahuan bangsanya, menyiapkan pembaca memasuki dunia modern.

Pada tahun 1905, ketika Soenda Berita sudah bisa mengorganisir diri, Tirto mengembara ke Maluku. Di sana ia bertemu dan menikah dengan seorang putri Raja Bacan, Princess Fatimah perempuan cerdas lulusan MULO yang mahir berbahasa Belanda; seseorang yang kelak kemudian menjadi anggota redaksi Medan Priyayi. Sepulang dari Maluku tempat ia menyaksikan kebiadaban kolonial warisan JP Coen sebuah gelora baru merubah semua bentuk tulisannya: menjadi lebih lugas, lebih garang. Pada tahun 1907, ia mendirikan Medan Priyayi, sebuah mingguan sederhana berformat 12,5 x 19,5 cm,
dengan tebal 22 halaman. Untuk mengatasi persoalan modal, ia memulai sebuah gagasan bentuk perniagaan, yakni dengan meminta pelanggan membayar lebih dahulu dengan imbalan memiliki saham perusahaan bernama NV Medan Priyayi. Itu lah bentuk perniagaan pertama yang didirikan pribumi.

Mingguan Medan Priyayi semakin berkembang pesat, bahkan, setahun kemudian, berubah menjadi harian. Tirto menciptakan gaya jurnalistik tersendiri, radikal dan penuh sindiran. Ia menulis tentang berbagai penyelewengan dan kesewenangan yang dilakukan pemerintah kolonial maupun para kaki tangan pribumi. Semangatnya untuk menggerakkan bangsanya menentang ketidakadilan semakin berkobar. Tulisan-tulisannya makin berani. Ia, yang sangat mengagumi Max Havelaar, mengungkap kebusukan-kebusukan kolonial yang dibungkus politik etis. Pemerintah kolonial murka. Lantaran tulisannya tentang penyalahgunaan jabatan di sebuah daerah, Tirto dibuang ke Lampung, selama 3 bulan. Saat itu, hampir semua aktivis yang berani membuka kedok kekuasaan kolonial ke media massa sempat dijebloskan ke penjara. Mereka dijerat pers-delict, dianggap mengganggu rust en orde kolonial. Mas Marko, seorang jurnalis muda radikal, 4 kali mendekam di tahanan lantaran tulisan-tulisannya.

Sekembalinya dari pembuangan, Tirto membenahi NV Medan Priyayi yang sempat terbengkelai. Pada tahun 1907 ia mendirikan Sarekat Priyayi,
organisasi pribumi pertama, yang kemudian berubah menjadi SDIuntuk mengorganisir para pedagang batik yang berbasis di Solo. Pada tahun 1911,
ia berkeliling ke kota-kota besar pusat modal pribumi untuk mengorganisir pembentukan cabang-cabang SDI. Untuk itu, kepemimpinan SDI, untuk sementara, diserahkan pada H. Samanhudi, seorang saudagar batik terkemuka di Solo. Sayang, sejarah kemudian berkata lain, peranan Tirto sebagai pendiri SDI dikikis oleh H Samanhudi sendiri. Pemerintah kolonial, yang sangat membenci Tirto, lewat DA Rinkers, seorang ilmuwan Belanda yang mengabdi pada politik kolonial, membantu mengaburkan fakta ketokohan Tirto. Hingga, kemudian, Samanhudi lah yang lebih dikenal sebagai pendiri SDI yang, kemudian, berkembang pesat dan berubah menjadi SI.

Gerakan perempuan juga menjadi komitmen Tirto. Pada tahun 1908,
ia merintis pendirian surat kabar Poeteri Hindia, yang melahirkan nama
Siti Soendari sebagai penulis termahsyur. Siti Soendari, berpendidikan Belanda, lebih memilih menjadi perempuan merdeka, yang bercita-cita, ketimbang mengikuti kehendak orang tua, yang menawarkan segala fasilitas dan kemudahan. Jadi lah Soendari sebagai sosok aktivis politik perempuan pribumi pertama. Kebangkitan pergerakan perempuan paska Kartini mulai bertunas dan, kemudian, berkembang ke penjuru tanah air. Sebarisan srikandi yang bertarung melawan kekuatan zaman bermunculan. Di Sumatra Barat muncul Rohana Koedoes, yang mendirikan koran ‘Sunting Melayu”. Selain lewat koran, menurut Tirto, kemajuan gerakan perempuan juga harus dimulai lewat sekolah, ia menjadi donatur tetap sekolah perempuan di Jawa Barat yang didirikan oleh Dewi Sartika.

1909-1912, adalah titik puncak kegemilangan surat kabar harian Medan Priyayi. Jumlah pelanggannya mencapai 2.000 orang. Suatu masa yang sangat dicita-citakan Tirto sejak mudamenyaksikan bangsanya bangkit dari kebodohan dan ketertindasan hampir saja tercapai. Sayang sekali, roda sejarah berbalik arah. Karena gangguan kolonial, Medan Priyayialat propaganda dan pengorganisiran yang sudah demikian kokoh itu, akhirnya runtuh satu per satu omsetnya terus merosot; setoran dari para pelanggannya macet; beberapa perusahaan menolak pasang iklan. Medan Priyayi tak mampu melunasi biaya percetakan. Akhirnya, Agustus 1912, Medan Priyayi gugur secara dramatis. Seperti diistilahkan Pram, “semua yang dibangunnya runtuh. Juga nama baiknya. Yang tinggal hidup adalah amal dan semangatnya.”

Sang tokoh ditahan lantaran tak mampu melunasi tunggakan hutang. Sebagai hukumannya, ia dibuang ke Ambon pada tahun 1913. Dua tahun berikutnya ia baru kembali ke Jawa, ketika semuanya telah berubah. Jaman terus bergulir. Organisasi makin banyak bermunculan, puluhan tokoh namanya terderek naik, menyesaki rongga ingatan rakyat. Pergerakan nasional hampir mencapai titik terangnya.

Barangkali memang sudah menjadi sebuah kelaziman sejarah, manusia-manusia berjiwa agung harus mengakhiri periode hidupnya dalam kesepian dan keterasingan. Apakah itu Galileo, yang mati di tiang gantung; Marx, Soekarno, juga Chairil Anwar, yang mati di ujung perih dan sepi. Djokomono Tirto Adhi Soeryo, meninggal setelah menderita sakit bertahun-tahun. Tak jelas penyakit yang dideritanya. Tak ada yang pernah memeriksa, sekalipun kawan-kawan dekatnya adalah dokter-dokter termahsyur pada masanya. Ia telah terlunta-lunta, sendiri. Hotel Medan Priyayi, miliknya, yang semula banyak menghidupi surat kabarnya, telah berpindah tangan ke sahabatnya sendiri Gunawan, ketika ia masih dalam pengasingan. Tirto bertahan sampai wafatnya di sana, karena itu lah satu-satunya tempat ‘miliknya’ yang bisa dituju. Ia tak punya lagi sanak saudara. Tirtoyang, menurut propaganda kolonial, sangat berbahaya kondisinya sudah rapuh dan papa, membuat semua sahabatnya menjauh. Musuh-musuhnya kegirangan dan menyebut tokoh agung ini “terlunta-lunta
dan gila’.

Pada tanggal 7 Desember 1918, seperti digambarkan oleh mas Marko, seorang murid dan pengagum Tirto, dalam tulisannya: “dengan diantar rombongan sangat kecil jenazahnya dibawa ke peristirahatan terakhirnya di Mangga Dua.” Tak satupun koran memuat kabar kematiannya. Ia benar-benar telah dilupakan oleh bangsanya, yang dicintai, dan dididiknya untuk maju. Sementara itu, perjuangan pembebasan umat manusia, yang merupakan bagian terbesar dari seluruh perjuangan hidup dan cita-cita Tirto Adhi Soeryo, lambat laun mengalun. Ia telah terbaring tenang. Sebagaimana ditulis Pram dalam Sang Pemula: “ Seperti jamak menimpa seorang pemula, terbuang setelah madu mulia habis terhisap, sekiranya ia tak mulai tradisi menggunakan pers sebagai alat perjuangan dan pemersatu dalam masyarakat heterogen seperti Hindia, bagaimana sebuah nation seperti Indonesia akan terbentuk?” ***

________________________________
Diambil dari Koran Pembebasan
Partai Rakyat Demokratik [PRD]

BUKU TAMU


ShoutMix chat widget
Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger