KIBARKAN TRIPANJI PEMBEBASAN NASIONAL 1. HAPUSKAN HUTANG LUAR NEGERI 2. NASIONALISASI ASSET ASING 3. INDUSTRIALISASI NASIONAL
Tampilkan postingan dengan label SENI BUDAYA. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label SENI BUDAYA. Tampilkan semua postingan

Senin, 28 Desember 2009

Seni Musik Sebagai Budaya Pembebasan. MungkinKAH…?

Oleh: Amoye Egeidaby

Apa itu arti dari musik? Musik adalah bunyi atau suara yang didengarkan oleh setiap individu dan memiliki makna dan pesan tertentu yang berbeda-beda berdasarkan sejarah, lokasi, budaya dan selera seseorang. Dari bunyi atau suara yang didengarkan mengatakan sesuatu tentang sesuatu, jadi musik berhadapan dengan makna dan pesan untuk diresapkan. Makna dan pesan tersebut bisa dipengaruhi oleh konteks saat manusia berkarya, baik itu tujuan, pendengarnya dan sebagainya. Musik dapat berfungsi sebagai ungkapan perhatian, baik bagi para pendengar yang mendengarkan maupun bagi pemusik yang menggubahnya

Musik merupakan bagian dari musik temporal, yaitu bahwa musik hadir dalam tari dan drama. Musik mengandung kumpulan yang sistematis dan teratur dari berbagai komponen suara -- irama, melodi, dan keselarasan -- untuk dapat dilihat dan dinikmati. Musik, seperti bentuk seni lainnya, merupakan ekspresi yang penuh gaya. Musik melibatkan pengelolaan serta keterampilan dari materi artistik sehingga dapat menyajikan atau mengkomunikasikan suatu hal tertentu, gagasan, atau keadaan perasaan.


Seorang komponis menciptakan suatu lagu berdasarkan situasi yang sedang dialaminya. Jika saat situasinya sedih maka lirikan lagu yang diciptakannya pun sedih, pada saat situasi komponis sedang merasa gembira atau bangga Ia akan menciptakan lagu dengan lirikan lagu yang bangga atau gembira. Begitu juga jika lagunya ingin melukiskan suatu keadaan alam atau situasi suatu lokasi, maka Ia akan menyusun keadaan alam itu dari bait ke bait dalam suatu lirikan lagu. Sehingga pendengarnya pun seakan-akan ikut merasakan apa yang dirasakan oleh komponis pada saat menciptakan lagu tersebut.

Jika musik pada dasarnya sebuah bentuk aktivitas manusia yang memunyai maksud tertentu, setidaknya musik meliputi tiga komponen yaitu, komponis, produk musikal yang dihasilkannya, dan aktivitas dimana komponis tersebut membuat produk musikal. Tetapi ketiga hal tersebut tidak lengkap. Komponis membuat sesuatu (musik), berada dalam konteks yang spesifik. Artinya bahwa ketika komponis mengeluarkan ide, akan dipengaruhi oleh konteks tertentu, seperti yang telah disebutkan di atas, bisa dilihat dari tujuannya, para pendengarnya, tempatnya atau waktunya.

Contoh kasus, ketika seorang komponis menciptakan karya musik dari alat musik tifa. Untuk membunyikan tifa tersebut, dipukul sesuai dengan norma tertentu, tetapi si komponis membunyikannya dengan cara digesek dan dipukul dengan batu bahkan digelindingkan bak sebuah ban yang akan diangkut ke dalam truk. Tentu saja apa yang dilakukan si komponis merupakan hal yang gila bukan? Tentu saja tidak, apabila dikaitkan dengan konteks yang telah dijelaskan tadi. Artinya si komponis mempunyai tujuan, mengetahui siapa pendengarnya atau audiensnya, mengetahui dimana tempat dan waktunya.


Musik Sebagai Pembebasan

Tahun 1968 banyak disebut sebagai tahun kelahiran musik reggae. Sebenarnya tidak ada kejadian khusus yang menjadi penanda awal muasalnya, kecuali peralihan selera musik masyarakat Jamaika dari Ska dan Rocsteady, yang sempat populer di kalangan muda pada paruh awal hingga akhir tahun 1960-an, pada irama musik baru yang bertempo lebih lambat : reggae. Boleh jadi hingar bingar dan tempo cepat Ska dan Rocksteady kurang mengena dengan kondisi sosial dan ekonomi di Jamaika yang sedang penuh tekanan.

Kata “reggae” diduga berasal dari pengucapan dalam logat Afrika dari kata “ragged” (gerak kagok–seperti hentak badan pada orang yang menari dengan iringan musik ska atau reggae). Irama musik reggae sendiri dipengaruhi elemen musik R&B yang lahir di New Orleans, Soul, Rock, ritmik Afro-Caribean (Calypso, Merengue, Rhumba) dan musik rakyat Jamaika yang disebut Mento, yang kaya dengan irama Afrika. Irama musik yang banyak dianggap menjadi pendahulu reggae adalah Ska dan Rocksteady, bentuk interpretasi musikal R&B yang berkembang di Jamaika yang sarat dengan pengaruh musik Afro-Amerika. Secara teknis dan musikal banyak eksplorasi yang dilakukan musisi Ska, diantaranya cara mengocok gitar secara terbalik (up-strokes), memberi tekanan nada pada nada lemah (syncopated) dan ketukan drum multi-ritmik yang kompleks.

Teknik para musisi Ska dan Rocsteady dalam memainkan alat musik, banyak ditirukan oleh musisi reggae. Namun tempo musiknya jauh lebih lambat dengan dentum bas dan rhythm guitar lebih menonjol. Karakter vokal biasanya berat dengan pola lagu seperti pepujian (chant), yang dipengaruhi pula irama tetabuhan, cara menyanyi dan mistik dari Rastafari. Tempo musik yang lebih lambat, pada saatnya mendukung penyampaian pesan melalui lirik lagu yang terkait dengan tradisi religi Rastafari dan permasalahan sosial politik humanistik dan universal.

Perlawanan Budaya. Jika merujuk pada seorang penyanyi beraliran musik reggae asal Jamaika, dengan ciri khas dandanan dan rambut kimbalnya, Bob Marley telah berkesenian sesuai dengan kehendak hatinya. Menyuarakan kaum tertindas dalam lagunya tanpa memikirkan kepentingan pasar dan niat untuk membentuk organisasi perlawanan terhadap sistem yang berkuasa. Begitu juga di Papua, perlawanan terhadap fenomena sosial dan rezim yang berkuasa juga ditunjukan oleh Black Brothers era 1970an hingga 1980an. Dalam lagu-lagunya yang banyak mengangkat tema kritik sosial adalah: Hari Kiamat, Derita Tiada Akhir, Ammapondo, Tiada Senyum di Akhir Senja, Hilang, Kr. Kenangan, Wainapire, Musik Masa Kini, Kr. Gunung Sicloop dan masih banyak lagu lain yang bermotif perjuangan.

Black Brothers termasuk kategori group band termahal di Indonesia pada masa itu bersama Panbers dan Koes Plus. Namun Black Brothers melarikan diri ke Papua Nugini, Vanuatu, Australia dan Belanda karena diduga membantu OPM untuk perjuangan Papua merdeka. Pada kenyataannya yang Black Brothers lakukan hal adalah sama dengan yang dilakukan oleh Bob Marley. Yaitu sama-sama berjuang dan melakukan perlawanan sosial lewat karya seni, khususnya lewat lagu yang mereka ciptakan. Mereka menyuarakan apa yang menjadi kehendak hatinya dan tanpa adanya permintaan pasar. Tapi perjuangan yang mereka suarakan hanya lewat karyanya saja, tanpa bermaksud untuk memobilisasi ide dari perjuangannya dengan membentuk organisasi sosial. Alasan yang sering diutarakan seniman dalam berjuang, untuk tidak membentuk organisasi sosial adalah agar menjaga kemurnian kesenian itu, meski tema-tema yang diangkatnya bermuatan politis. Seniman seperti ini tidak memiliki niatan membentuk organisasi perlawanan untuk menolong kaum tertindas yang sering disuarakan lewat lagunya. Mereka tetap konsisten berjuang hanya melalui jalur kesenian dan karya-karyanya yang kritis terhadap rezim berkuasa. Perjuangan untuk membebaskan rakyat jelata dari penindasan, memang tak dapat dilakukan secara individu tetapi haruslah secara terorganisir dan kontinu.

Karya Seni yang hanya menjadi instrumen hegemoni dari budaya global membuat ilusi-ilusi dan fantasi dimana kemudian secara tidak disadari membuat penikmat lupa terhadap realitas sosial disekitarnya. Yang lebih parah lagi adalah implikasinya terhadap kaum tertindas; dimana disaat mereka seharusnya sedang berpikir dan mengusahakan terwujudnya suatu perubahan menuju keadaan yang lebih baik, seniman-budayawan malah terlena dalam suasana mabuk keharuan, cinta, kasih sayang, dan kondisi melankolis. Seni sebagai konsep perlawanan adalah subordinat dari sebuah perlawanan budaya (counter cultur). Konsuekensinya karya seni tersebut akan terpinggirkan meski mungkin cuma sementara dan akan menghadapi penolakan secara reaksioner dari masyarakat. Karya seperti ini juga memiliki risiko "dijinakkan" oleh hegemoni sistem yang ada dengan mengubahnya menjadi sekedar konsep alternatif yang kemudian bakal menjadi mainstream kesenian. Dalam konteks gerakan perubahan, seni adalah sebuah media sekaligus alternatif perlawanan. Meski begitu seni tidak dapat lepas sebagai sebuah bentuk perlawanan budaya (counter culture) tersendiri. Karya seni perlawanan dapat mengartikulasikan secara sekaligus hasrat ekspresi seniman dengan tanpa menegasikan idealisme dan potensi revolusioner-nya.

Pertanyaannya sekarang bagi kita seniman dan budayawan yang tergerak untuk melawan penindasan budaya yang sepakat untuk memperjuangkan hak mereka agar dapat memiliki kesempatan mengembangkan budaya sendiri maka organisasi sebagai alat perjuangan kepentingan adalah kebutuhan mendesak yang harus segera dibentuk. Tugas yang juga mendesak adalah membuka kesadaran seniman sendiri yang masih banyak menganggap bahwa kondisi ini tidak ada hubungannya dengan sistem ekonomi yang diterapkan oleh negara Indonesia. Dengan menganalisa basis struktur yang terjadi di masyarakat tentunya seniman dapat melihat unsur ketertindasan mereka sehingga mereka lebih sedikit mendapat kesempatan untuk tampil dan mendapat pengakuan masyarakat.

Bagi penyanyi dalam sebuah kelompok, musik memberikan suatu komunikasi yang intim dan emosional antara pemimpin dan anggota kelompok secara individu dan antara anggota itu sendiri yang terjadi bahkan ketika hubungan antarpribadi terbatas atau/dan pecah. Musik dapat mempersatukan suatu kelompok yang beraneka ragam menjadi suatu unit yang fungsional. Fungsi musik sebagai ungkapan perhatian dapat dilihat dalam hal musik dialami sebagai suatu pemberian dari orang-orang yang kelihatannya tidak memilki apa-apa.

Black Brothers yang pernah berkiprah di Indonesia era 1970-an tidak akan muncul lagi dipanggung seni , namun semuanya itu kenagan yang ditinggalkan. Kapan Black Brothers Junior akan muncul ke permukaan…..? (sebuah impian yang belum pernah terjawab, hanya ilusi belaka)….semoga…!!!(Dari berbagai sumber)

Selasa, 11 Agustus 2009

MATINYA SANG PENYAIR

Pasir pantai. Karang terjal. Pohon nyiur. Gelombang laut. Buih putih. Perahu-perahu nelayan, juga pohon-pohon bakau. Rumah-rumah gubuk para nelayan. Para-para penjemuran ikan asin. Semua menjadi satu rangakaian yang harmonis, dengan angin sebagai buhulnya. Keterpisahan dalam kebersatuan yang abadi. Masing-masing melengkapi, membentuk lingkungan tersendiri, dengan tradisi sendiri pula. Langgam keterikatan yang begitu indah, seperti keterpaduan para penabuh kendang, bonang, gong dan peniup seruling pada pagelaran wayang. Kaitan kata yang sulit terpisahkan, umpama sajak-sajak cinta ataupun tragedi yang ditulis penyair dengan segala kesederhanaannya. Pergesekannya melahirkan zat baru. Memberikan ilham bagi kebaikan dan keburukan. Kejujuran dan kecurangan. Matahari cukup setia mematangkan dan mendewasakannya. Tanpa pilih kasih.

Dalam asuhan alam yang teratur itu, para nelayan hidup dengan kemiskinan dan keterbatasan pemikiran. Kebelengguan mitos laut dan ombak yang bergemuruh. Tradisi yang diterima secara turun temurun, tanpa perubahan dan usaha untuk mengubah. Asinnya air laut dan amisnya ikan hasil tangkapan mereka. Tanpa keinginan lain, kecuali untuk mencukupi sekedar kebutuhan hidup bagi istri dan anak-anaknya. Pasir pantai mengajari mereka kesabaran. Karang terjal menanamkan ketegaran dan keperkasaan. Gelombang laut menjadikan mereka pengembara lautan dan samudera. Bakau menawarkan kuatnya pendirian. Pohon nyiur mengasuh mereka menjadi manusia-manusia yang memiliki pengertian tak terbatas dengan sesama. Meski timbul tenggelam di antara kartu-kartu dan kepul asap rokok, membulat, terbang melayang.

Di antara ketenangan dan keluguan kaum nelayan, harmonitas elemen pantai yang ajeg, dan debur ombak yang berkejaran, seorang lelaki tua melangkah tertatih. Rambut, kumis dan jenggot, memutih bertaut. Sesekali menengadah, memandang matahari yang terus berjalan naik. Entah siapa yang mewasiatkan. Tetapi, lelaki tua itu, merasa dilahirkan bukan untuk dirinya sendiri. Ia hadir di tengah berjubelnya persoalan hidup; peperangan untuk mengumbar angkara murka dan keserakahan, perkosaan, pembunuhan dan penipuan. Dalam hiruk pikuk perdebatan teori-teori kehidupan dan kemanusiaan, pengentasan kemiskinan serta slogan-slogan pembangunan yang terasa asing di telinga kaum nelayan. Memuakkan. Tak ada arti apa-apa bagi mereka. Dan lelaki tua itu merasa hanya sebagai selembar kertas buram yang terombang-ambing gelombang. Berulang terbentur karang. Robek menjadi berpuluh-puluh atau bahkan beratus-ratus bagian. Setiap bagian menjadi kepedihan nurani. Menyatu dengan pasir pantai. Lalu hilang.

Namun ia puas dengan itu semua. Meski hanya dengan baju yang basah dan kering di badan. Air hujan dan panas matahari. Ia tak pernah mengenal gairahnya darah perawan. Hangatnya kasur dan bantal. Ia hanya memiliki sebuah gubuk yang dibangun dari pelepah daun nyiur dan beratapkan anyaman daun pandan berduri. Dindingnya dari anyaman daun nyiur. Setahun sudah ia berada di pantai itu. Bersama dengan anak-anak dan perempuan-perempuan nelayan.

”Hai lelaki tua pemalas. Kau memang lebih pantas menjadi perempuan,” ujar lelaki kaum nelayan yang bertubuh gempal. Kulitnya hitam hangus terbakar matahari. Otot-ototnya biru menonjol, menunjukkan betapa besar tenaga yang dimilikinya. Ia memang orang terkuat di kampung nelayan. Ejekan seperti itu selalu saja diterima lelaki tua. Menerima deraan menyakitkan, ia hanya tersenyum ringan. Di kampung nelayan, istilah ’perempuan’ adalah simbol ketidakberdayaan. Sosok manusia yang tak lebih hanya sebagai pemuas gelegak birahi kaum laki-laki. Pandangan yang menista, dan entah siapa kelak yang akan mengubahnya. Seringkali muncul keraguan, apakah untuk mengubah pandangan itu harus menunggu datangnya seorang nabi baru? Ah…, entahlah, mungkin memang tak akan ada yang berani menjawab, kecuali kalau bersedia menerima kutukan: sesat!

”Atau menjadi penggembala kucing. Biar binatang itu tak lagi mencuri ikan-ikan kami,” sahut yang lain dengan disambut tawa para nelayan yang akan berangkat menangkap ikan ke tengah lautan. Mempertaruhkan nyawa di ujung bibir gelombang dan badai. Tawa itu membumbung ke udara. Berputar-putar. Berkait-kait. Membawa khabar ke seluruh kampung nelayan, betapa nikmat rasanya, manakala bisa menghina dan mempermainkan manusia lain yang tidak berdaya.

Lelaki tua tetap diam. Ia seret kakinya meninggalkan kelompok nelayan dan berdo’a untuk keselamatan dan keberhasilan mereka. Panjangnya usia telah mengajarkan satu kesabaran dalam diri lelaki tua. Sejarah murni yang membesarkannya, menumbuhkan satu kejernihan akal dan kemapanan batin. Kemarahan telah padam dalam rongga dadanya yang makin rapuh. Lidah terlipat rapat di antara sela-sela gigi yang makin menjarang. Bola mata terikat rapat dalam kelopak yang cekung. Usianya terlalu tua untuk mengumbar emosi. Untuk menopang ego dalam hidupnya. Baginya tak ada lagi dendam dan nista.

”Lelaki tua, aku menjemputmu.”

“Kaukah malaikat utusan-Nya? Telah kutunggu engkau bersama kesabaranku. Bersama bulir-bulir embun pagi,” katanya menyahut lirih. Beberapa hari ini, lelaki tua memang sering berpikir tentang kematian. Keabadian yang sering didengarnya sebagai janji hidup setelah hidup.

”Mari kubimbing. Langkahmu kian gontai.”

Lelaki tua mengikuti ajakan itu. Perjalanan jasadi yang ia jalani hampir sempurna. Ia merasa begitu dekat dengan Tuhan. Ia terbelalak manakala melihat binatang yang belum pernah ada di dunia. Kuda tunggang yang indah berkilau-kilau dan cantik. Sayapnya begitu kokoh dan menawan. Aroma harum menebar dari dengus nafasnya.

”O…, inikah buroq tunggangan Muhammad Rasul Allah ketika bermi’raj?” Batinnya bertanya-tanya, bukankah tidak ada kisah yang pernah didengarnya, jika malaikat menjemput mau menunggang buroq? Batinnya tak bisa menjawab pertanyaan yang sederhana ini.

”Alangkah bahagianya aku. Tetapi ia terlalu cantik untuk membawaku terbang,” kata lelaki tua itu di antara gelora bahagia dalam dadanya. Membuncak-buncak tak tertahankan. Lelaki tua sangsi.

”Sudahlah, jasad lusuhmu telah kautinggalkan di pasir pantai,” ujar malaikat utusan-Nya di samping lelaki tua.

Lelaki tua itu tertegun memandang ke bawah. Ia melihat tubuhnya sendiri tergeletak di atas pasir pantai yang panas. Lalat-lalat mulai berkerumun. Suaranya meraung-raung. Seperti pesawat-pesawat tempur, yang berputar-putar di udara untuk melepaskan peluru-peluru mautnya. Menyebar kematian yang menyakitkan. Duka memayungi jagat entah sampai kapan selesainya. Sebab darah tertumpah tanpa alasan apa pun. Bendera kebangsaan dikibarkan setengah tiang, untuk mengenang kematian masal dan pertanda berkabung nasional. Warnanya pudar dan robek-robek digigit angin malam, hujan dan panasnya matahari.

”Angkasa raya yang maha luas. Bintang-bintang yang cemerlang di malam hari. Awan-awan yang hitam berarak. Sambutlah kehadiranku dengan damai. Biarkan aku menuju ke istana Tuhan dengan segala kesabaranku. Aku sudah terlalu rindu kepada-Nya. Tambatan jiwa dan kekasihku. Aku akan melepas birahi dalam kecahayaan-Nya. Dalam hangatnya kasih dan cinta-Nya. Kesejukan senyum-Nya dan belaian mesra tangan-Nya.”

”Malaikat utusan-Nya, segeralah terbang menembus angkasa raya. Memasuki tataran-tataran langit. Memberi salam hormat kepada para penjaganya yang setia, dan nabi-nabi yang menghuni di setiap tingkatnya. Akan kucium tangan mereka dan kululurkan liur sebagai kenangan terakhir.”

”Bersabarlah, lelaki tua. Waktu yang kita miliki masih sangat panjang dan tak terbatas.”

”Apa yang harus kita tunggu? Birahiku telah memuncak. Jangan biarkan gairahku tertumpah sia-sia. Betapa lama aku harus menunggu persetubuhan dengan Tuhan. Menyatu dalam desah nafas kejujuran dan keadilan-Nya.”

”Yah, aku tahu itu. Tetapi lihatlah sejenak apa yang akan dilakukan perempuan nelayan itu terhadapmu.”

Lelaki tua mengikuti arah yang ditunjuk. Aaah…, ia sangat akrab dengannya. Perempuan yang selalu bertanya tentang hidup bersama dengan laki-laki yang tak pernah memiliki rasa bersyukur. Suami yang hanya memerlukannya untuk sekedar membuang sperma dan menyiapkan masakan meski tak ada uang yang diberikannya. Lelaki tua seringkali tersenyum masam, dan berdiam tak menjawab.

”Tidak!” Teriak perempuan nelayan. Suaranya menggetarkan karang. Menggoyang pohon bakau dan nyiur. Menggema, menyentuh pintu langit. Mengguncang batin lelaki tua di angkasa. Menyeruak menembus segala sekat-sekat. Matanya mengerjap-ngerjap menahan air yang akan meleleh dari kelopak matanya. Mata indah yang pernah menggetarkan jantung hati lelaki tua. Air mata lelaki tua pun menetes deras. Membasahi punggung kuda tunggangannya. Mengalir dan membeku menjadi awan putih.

”Lelaki yang baik, kau tak boleh pergi secepat ini. Kami belum bisa membalas segala kebaikanmu,” kata perempuan nelayan di antara isak tangisnya. Tak ada ombak berkejaran di lautan. Air pasang pun surut kembali. Berulangkali ia tempelkan telinganya ke dada lelaki tua yang terbujur kaku dan membiru. Ia tetap tak percaya, lelaki di hadapannya telah meninggal dunia.

Satu persatu perempuan di kampung nelayan berdatangan. Bergerombol melingkar-lingkar. Anak-anak pun berkumpul diam. Bergandeng tangan, menahan kedukaan yang teramat mencekam perasaan. Matahari redup tertutup awan.

”Mbak yu, lihatlah awan di atas sana,” kata seorang perempuan nelayan kepada perempuan di sampingnya. Suara itu tak diperdulikan siapa pun. Dan memang, semua perempuan kaum nelayan tak akan memperdulikan apa pun. Jangankan sekedar awan, ikan-ikan mereka yang seharusnya dijemur pun tak lagi diurusinya.

”Aku harus kembali ke kampung nelayan,” kata lelaki tua sedih.

”Tidakkah kaukasihan melihat perempuan dan anak-anak nelayan itu? Mereka menangis sejak matahari pecah sampai setegak tombak.”

”Apakah akan kautambah beban mereka dengan perasaan dosa ke dalam batin?”

”Maksudmu?”

”Mereka menangis karena merasa berhutang budi kepadamu. Sebodoh-bodohnya orang, punya pula satu rasa sehalus sutra, manakala menerima kebaikan. Kebekuan nurani, akan tetap bisa menerima kesadaran tentang Tuhan, hanya saja terkadang terhalang oleh gengsi dan kekuasaan.”

”Aku tak pernah berfikir seperti itu.”

”Itulah keterbatasan manusia dengan akal pikirannya. Kemampuan otaknya tak akan bisa menembus semua sekat ruang dan waktu.”

”Apa sesungguhnya yang kaukehendaki, sehingga aku tak segera kaubawa menghadap-Nya?”

”Agar kaumengetahui, betapapun perbuatan baik, tak selamanya akan melahirkan kebaikan bagi penerimanya. Sebuah kejujuran taklah selamnaya bisa mengantarkan pada sebuah kebenaran yang hakiki. Suatu saat justru berbalik menjadi bencana yang menyakitkan dan berkepanjangan.”

***

”Aku telah lama mencurigai hubunganmu dengan lelaki tua. Lelaki yang mengaku dirinya penyair dan merasa menjadi dewa penolong di kampung ini. Dan kali ini terbukti, kaulah yang paling bersedih dengan kematiannya.”

”Pikiran kotor. Buang jauh-jauh, Pak!”

”Diam. Dulu, ketika penyair masih hidup, aku tidak berani mengatakannya. Sebab ia akan berkilah dengan kehebatannya berkata-kata. Penduduk kampung nelayan pun tak akan mempercayai omonganku.”

”Pak, sadarlah.”

Tetapi kata-kata perempuan nelayan kepada suaminya justru dijawab dengan tamparan keras ke wajahnya. Tentu saja perempuan itu tak mampu menerima pukulan dari tangan berotot milik suaminya. Darah segar mengalir dari bibirnya yang selalu pecah-pecah. Tetapi pandangan matanya tak menggambarkan protes apalagi kebencian. Ia merasa begitu pasrah menerima setiap pukulan dan hardikan dari suaminya. Begitulah yang diajarkan masyarakatnya. Ia tidak menerima sesungguhnya. Tubuh itu pun jatuh di pasir pantai. Bibirnya seakan menyandang senyum kepuasaan. Wajahnya bersih tanpa beban penderitaan.

”Mau ke mana?” Tanya lelaki tua.

”Aku akan mengajak perempuan nelayan ke mari.”

Lelaki tua semakin dalam menunduk. Ia menyalahkan dirinya sendiri. Dan memang selalu begitu. Seperti juga, saat ia masih hidup bersama kaum nelayan. Ia merasa bersalah dan berdosa ketika ada penduduk kampung yang meninggal dunia, karena ia terlambat berikhtiar untuk menyelamatkannya. Apabila badai menyapu perahu-perahu nelayan, lelaki tua pun merasa bersalah, karena tak mampu memberikan peringatan apapun kepada mereka.

”Inilah lelaki tua yang telah menyengsarakanmu.”

”Betapa aku bahagia, karena masih bisa bertemu dan berbicara dengan lelaki yang baik. Lelaki penolong seluruh penduduk kampung nelayan.”

”Apa yang bisa kaubanggakan dari lelaki tua seperti aku ini? Tiada lain yang kuperbuat kecuali bencana akibatnya.”

”Tidak lelaki penyair. Kau telah banyak berjasa kepada kami. Tetapi jika kau tak sudi menerima kami yang bodoh dan miskin, itu adalah hakmu. Namun jangan kau berkata seperti itu. Sangat menyakitkan.”

”Malaikat utusan-Nya, marilah kita berangkat sekarang.”

”Kau bagaimana perempuan nelayan?” Tanya sang malaikat.

”Aku akan kembali ke kampung nelayan.”

”Apakah tidak menyesal?”

”Tidak. Aku akan menceritakan semua ini kepada penduduk kampung nelayan. Betapa baik hatinya lelaki penyair. Hingga sampai kematiannya pun masih memikirkan tentang nasib penduduk kampung nelayan.”

Lelaki tua bersama malaikat utusan-Nya terbang menembus angkasa. Menuju ke istana Tuhan. Tempat pengadilan paling adil. Tak ada satu pihak pun yang akan dirugikan dalam pengadilan-Nya. Itulah keputusan hakim yang Agung.

Rasa sakit menggigit seluruh tubuh perempuan nelayan, ketika kesadarannya pulih kembali. Wajahnya memar membiru. Darah kental dan kering ada di ujung bibir dan lubang hidungnya. Kepalanya berdenyut keras. Ia membuka matanya yang cekung perlahan-lahan. Ia mendapatkan wajah suaminya yang tampak penuh penyesalan. Perempuan dan anak-anak kampung nelayan telah berkumpul. Para lelaki bergerombol di luar rumah. Ketika ia melirik ke samping kiri, ia mendapatkan tubuh kurus lelaki tua terbujur kaku. Membeku.

Entah kekuatan dari mana, perempuan itu tiba-tiba berdiri dan menubruk jasad lelaki penyair. Belum lagi keheranan penduduk kampung nelayan hilang, perempuan itu sudah berdiri kembali. Ia memiliki kesegaran dan keberanian yang belum pernah dirasakannya selama ini.

”Penduduk kampung nelayan. Lelaki penyair ini memang benar-benar berhati emas. Dia tak pernah memperdulikan dirinya sendiri. Tetapi sangat memperhatikan kita semua.”

Semua penduduk kampung nelayan membenarkan ucapan itu. Terutama kaum perempuan dan anak-anaknya. Hampir berbarengan mereka menganggukkan kepala tanda setuju. Pandangan mereka berpindah-pindah dari jasad lelaki penyair dan ke arah perempuan nelayan berkulit hitam dan kurus.

”Ia telah mengajarkan kepada kita bagaimana mengawetkan ikan, sehingga hasil kita tak lagi pernah membusuk dan sia-sia. Juga mengajarkan bagaimana membuat senar jala menjadi kuat dan tak mudah putus terkana karang. Lingkungan perkampungan kita juga menjadi bersih karena bimbingannya.”

Betapa suaminya muak mendengar omongan istrinya. Kemarahannya memuncak kembali. Lelaki itu mengambil dayung dan dihantamkan tepat di kepala istrinya. Perempuan dan anak-anak kampung nelayan berteriak histeris. Para lelaki nelayan mengelus dada. Darah mengalir dari kepala perempuan nelayan. Ia roboh dengan kepala pecah. Pembunuhan telah terjadi di mata semua penduduk kampung nelayan. Tetapi diam pilihan mereka.

Semuanya bubar. Kampung nelayan sepi selama tujuh hari tujuh malam

BUKU TAMU


ShoutMix chat widget
Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger