KIBARKAN TRIPANJI PEMBEBASAN NASIONAL 1. HAPUSKAN HUTANG LUAR NEGERI 2. NASIONALISASI ASSET ASING 3. INDUSTRIALISASI NASIONAL
Tampilkan postingan dengan label SASTRA. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label SASTRA. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 15 Agustus 2009

Marxisme - Sebuah Kajian Dinyatakan Punah Ternyata Kiprah





Oleh : A. Kohar Ibrahim

Sambutan
Atas Penerbitan Buku Karya Suar Suroso :
Marxisme - Sebuah Kajian


*
Suar Suroso :
Dinyatakan Punah Ternyata Kiprah

Joesoef Isak :
Dambaan Kita Kedaulatan Rakyat

*

BERITA yang mengutarakan adanya hasil penerbitan ekspresi diri seperti buku itu selalu menggelitik hati dan pikiran teriring kegembiraan. Apa pula terbitan itu berupa hasil karya penulis yang saya kenal seperti Suar Suroso dengan bukunya yang terbaru berjudul Marxisme – Sebuah Kajian. Dan apa pula penerbitnya adalah Hasta Mitra dengan editornya seorang publisis pejuang yang kondang : Joesoef Isak. Dengan Sebuah Renungan Singkat sebagai pendamping yang tak kurang pentingnya kebanding Kata Pengantar sang penulis buku tersebut.

Buku dengan ISBN 079-8659-38-4 dan dengan kulitmuka yang apik oleh Nabil Argya itu berisi selain biodata dan pengantar penulis serta kata pendamping sang editor, berisi : (1) Arti Teori Perjuangan Kelas di Dunia. (2) Sosialisme Utopi Tanpa Perjuangan Kelas – Membangun Sosialisme. (3) Tokoh-tokoh Indonesia Tentang Sosialisme. (4) Mohammad Hatta tentang Sosialisme. (5) Bung Karno tentang Marxisme. (6) Tentang Kelas-kelas. (7) Tentang Diktatur Proletariat. (8) Jaya dan Rontoknya Diktatur Proletariat Sovyet. (9) Sosialisme Tidaklah Punah. (10) Diktatur Proletariat dalam Praktek di Tiongkok. (11) Sosialisme di Korea, Vietnam dan Kuba. (12) Kejayaan Sosialisme Berciri Tiongkok.

Demikianlah duabelas pasal yang disajikan Suar Suroso sebagai paparan sekaligus pendukung Marxisme – Sebuah Kajian dengan konstatasinya : Dinyatakan Punah Ternyata Kiprah. Dengan kata pengantar yang menggaris-bawahi argumentasi sekalian keberpihakannya, antara lain sebagai berikut :

“Dengan ambruknya Uni Sovyet dan negara-negara sosialis Eropa Tengah dan Timur, maka bersorak-sorailah para penentang komunisme, penentang Marxisme. Di Indonesia ada yang menulis “Marxisme sudah usang dan ketinggalan zaman”. “Di negeri kelahirannya pun Marxisme sudah dicampakkan” “Secara ideologis, komunisme bukanlah ideologi yang menjanjikan. Inilah pertanda bahwa ideologi sosialisme, komunisme, marxisme-leninisme itu sekarang ini sudah finish”. “Di bawah rezim komunis, masyarakat mau bekerja hanya karena takut, ancaman mau dibunuh—dan jangan lupa 50 juta jiwa mati di Uni Soviet era rezim partai komunis”. “Ancaman komunisme tetap menghantui bangsa Indonesia. PKI telah dua kali memberontak, yaitu pada tahun 1948 dan tahun 1966”. ”Sebagai sebuah ideologi, komunisme tidak pernah mati. Dia terus mengembangkan pertentangan antar kelas: kaya miskin, buruh-pengusaha/majikan, juga petani-tuan tanah”. Ini semua adalah lagu lama yang didendangkan sekarang oleh kaum anti-komunis.
Marxisme sebuah kajian dinyatakan punah ternyata kiprah adalah tulisan untuk membantah pandangan-pandangan ini. Penulis berpendapat, bahwa Marxisme bukanlah usang dan daluwarsa, tetapi sedang berkembang maju. Memahami Marxisme akan bermanfaat bagi generasi muda yang dengan sungguh-sungguh mencari jalan keluar dari keterpurukan Indonesia, setelah berlangsungnya pembodohan karena didominasi oleh kediktatoran orba dibenggoli Soeharto. Kapitalisme dan feodalisme tidaklah mungkin memakmurkan bangsa Indonesia. Untuk mencapai sosialisme tak ada jalan lain, haruslah memahami dan mempraktekkan Marxisme.
Sungguh tragis, pembodohan secara sistimatis masih berlangsung di Indonesia dengan adanya larangan atas Marxisme. Tidak ada satu pun negara yang menjunjung demokrasi dan beradab di dunia dewasa ini yang dengan undang-undang melarang Marxisme atau penyebaran Marxisme. Betapa pun dilarang, sebagai ilmu, Marxisme tetap dicari dan dipelajari siapa saja yang sungguh-sungguh bertujuan berjuang untuk melenyapkan penindasan manusia oleh manusia.
Krisis moneter kapitalis yang melanda dunia akhir tahun 2008 telah membuka mata orang, bahwa kapitalisme bukanlah sistim ekonomi yang tanpa cacat, yang dapat diandalkan untuk menyelamatkan umat manusia. Tak ada jalan lain, pilihan jatuh pada sosialisme. Maka Marxisme tampil ke permukaan dengan daya tarik yang sulit dibendung.
Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Bung Koesalah Soebagjo Toer yang semenjak selesainya naskah ini menunjukkan perhatian besar untuk menerbitkannya. Dalam keadaan belum diterbitkan, bahkan naskah ini pernah dipamerkan dalam pameran buku tahun 2006 di Jakarta. Akhirnya, berkat perhatian dan usaha Pak Joesoef Isak, Hasta Mitra berhasil mengedit dan menerbitkan buku ini. Terima kasih yang sebesar-besarnya saya ucapkan pada Pak Joesoef Isak. Terutama atas Sebuah Renungan Singkat beliau yang memberi nilai tambah bagi buku ini.
Penulis mengharapkan dan akan sangat menghargai kritik-kritik dari para pembaca atas kekurangan isi buku ini. Semoga Marxisme sebuah kajian dinyatakan punah ternyata kiprah bisa bermanfaat dalam memperkaya khazanah kepustakaan Indonesia mengenai sosialisme. “

*

Joesoef Isak : Mendambakan Kedaulatan Rakyat

DEMIKIAN ujung kata pengantar Suar Suroso yang secara keseluruhannya sudah bisa mengundang tanggapan yang selayaknya. Dan yang cukup menggelitik adalah tanggapan pertama justeru datang dari sang editor penerbit Hasta Mitra itu sendiri, Joesoef Isak. Yang selain menegaskan soal yang jadi persoalan « The End of History and the Last Man » Francis Fukuyama, lebih menggarisbawahi akan betul-betul perlunya bagi kita terbebas dari ideologi luar, bebas dari paradigma Perang Dingin yang kontra-produktif bagi Rakyat dan Negeri. Berikut bagian Penutup Renungan Joesoef Isak :
“Selain Kedaulatan Rakyat, juga Kedaulatan Hukum dalam kaitan keamanan negeri dan individu setiap warganegara Indonesia tanpa kecuali harus ditegakkan dan dipelihara. Sinyalemen-sinyalemen tentang bahaya apa pun, termasuk bahaya PKI dan anak-anak PKI, harus serius diperhatikan dan ditindak-lanjuti sesuai hukum yang berlaku.
Untuk itu, sebagai negara hukum kita memiliki aparat Pengadilan, Kepolisian dan Kejaksaan. Semua kasus dengan unsur pidana apa pun – termasuk kriminalitas politik – harus diputuskan lewat Pengadilan. Vonnis harus dijatuhkan sesuai kejahatan yang diperbuat.
Sinyalemen-sinyalemen yang dilontar ke publik tanpa tindak-lanjut apa-apa akan menimbulkan keresahan. Benar-benar resah atau keresahan pura-pura, bisa juga banyak orang jadi bosan – akhirnya sinyalemen-sinyalemen tanpa ujung-pangkal seperti itu dianggap sepi oleh masyarakat. Kosong, cuma ramalan para prophers of doom, ocehan para dewa peramal kiamat, ramalan mengerikan yang tidak kunjung tiba. Hanya yang mengucapkan sinyalemen tahu apa motif latar-belakang dari segala ucapannya pada publik. Dari segi mukadimah UUD yang ingin mencerdaskan bangsa, hal seperti itu sangat negatif. Masyarakat tidak terdidik pada kenyataan yang ada, melainkan pada fakta semu yang dijejal-jejal dan harus dianggap sebagai kenyataan. Pada hal seluruh masyarakat perlu bersikap realistik untuk menangani segala masalah sesuai fakta yang ada – bukan realitas rekayasa hasil kutak-katik benak sendiri.
Berkali-kali kita ulangi di sini, Indonesia dan semua orang Indonesia – tentu terutama sekali seluruh aparat keamanan dan pengadilan – harus konsekuen kokoh pada identitas Indonesia sendiri, bersikap Mandiri demi kepentingan Indonesia dalam mengurus segala masalah: kesejahteraan ekonomi, keadilan sosial, juga segala urusan dan kasus di bidang keamanan, politik dan ideologi. Kita perlu betul-betul terbebas dari ideologi luar, bebas dari paradigma Perang Dingin yang kontra-produktif bagi Rakyat dan Negeri.
Inilah renungan-singkat kita pada saat mengkaji mana yang unggul antara Marxisme dan Kapitalisme; mana paling bermanfaat bagi Rakyat kita. »
Demikian kutipan bagian Penutup Renungan dari Joesoef Isak yang mendampingi buku karya Suaro : Marxisme Sebuah Kajian. Renungan yang juga secara keseluruhannya layak simak.
*
Kohar : Benarlah Yang Benar Yang Salah Salah
BENAR memanglah benar yang benar yah benar. Seperti memang benarlah sikap-pendirian saya yang tiada berubah, yakni senantiasa gembira bila mendengar atau mengetahui adanya hasil terbitan. Semata-mata adanya hasil itu merupakan bukti ekspresi dari hidupnya hak-hak azasi manusia.
Sikap-pendirian itu saya emban sejak awal mula berkecimpung di bidang tulis-menulis selaku jurnalis-penulis ; kemudian dalam periode tertentu selaku publisis – terbitan yang bisa digolongkan « pers alternatip ». Kongkritnya, ketika turut mengelola majalah Pembaruan dan mengeditori majalah-majalah Kreasi, Arena dan Mimbar (1989-1999). Upaya terbitan majalah-majalah selain brosur dan buku-buku dalam periode itu, antara lain : …dimaksudkan untuk turut memberi sumbangan bagi perkembangan kebudayaan Indonesia yang demokratik dan yang menghormati hak-hak azasi manusia. (Majalah Kreasi N° 1, 1989). Jelas pula, terbitan yang meski sederhana namun yang bernomor ISBN/ISNN serta beralamat jelas di Holland itu, merupakan pertanda dari eksistensi sekaligus sebagai bentuk perlawanan kami, para penulis yang diberangus oleh penguasa OrdeBaru.
Saya utarakan perihal upaya penerbitan tersebut semata-mata untuk sekalian menegaskan bahwasanya diantara para kontributornya adalah Bung Suar Suroso – istimewa sekali sumbangan karya tulis berupa puisi dan esai-esai-nya untuk Majalah Opini & Budaya Pluralis Arena.
Dan saya utarakan perihal upaya penerbitan kami tersebut semata-mata untuk menunjukkan kebenaran adanya bukti tertulis akan ragam macam opini yang menanggapi realita-aktualita masa itu – istimewa sekali yang berkaitan dengan sikon nasional dan internasional. Seperti, justeru, antara lain perihal evenement Runtuhnya Imperium URSS dan adanya konstatasi « The End of History »nya Fukuyama yang intinya adalah kecaman terhadap Marxisme, Sosialisme dan Komunisme. Dengan ujung tombak terhadap apa yang disebut « Blok Timur » atau « Kubu Sosialis » yang dikepalai URSS sebagai lawan dari « Blok Barat » atau « Blok Kapitalis » yang dikepalai Amerika Serikat dalam prahara « Perang Dingin ».
Benarnya memang benar, bahwasanya dalam suasana hingar-bingar di arena mondial antara pro-kontra terhadap ideologi Marxisme dengan para lawan-lawannya macam Fukuyama itu, via Majalah Pembaruan N° 13 Th 4 Mei 1987 kami siar naskah berjudul « PromĂ©theus Sang Pembawa Obor ». Sebagai bukti salah satu upaya pencerahan kami untuk pembaca yang bertanya-tanya apa-siapa PromĂ©theus yang tertera dalam sajak penyair dan pejuang kebebasan Pilipina Jose Maria Sison dalam Pembaruan nomor sebelumnya. Baris-baris sajak tersebu sebagai berikut : « Penderitaanku apalah artinya / terbanding berjuta-juta mereka yang hidup sengsara / PromĂ©theus mengidap dalam tiap dada manusia / yang haus akan pengetahuan dan kebebasan / Para dewa, mereka, mati dan terlupakan. » (hlm 27)
Prilaku Prométheus, lanjut artikel yang saya susun itu, banyak diungkap dalam karya seni. Terutama sekali dalam kesusastraan, seperti dalam karya-karya Hesiode, Eschyle, A.W. Schlegel, Byron, Schelley dan André Gide. Yang pada pokoknya menggambarkan Prométheus sebagai simbol pemberontakan manusia melawan tyrani, dan simbol kecintaan manusia akan kebenaran dan cita-citanya. Sebuah karya Eschyle, dari judulnya saja sudah terungkapkan simbol sekaligus jiwanya : Prométheus Pembawa Obor. Obor yang mengungkap kegelapan dan menerangi jalan bagi kemajuan umat manusia.
Itulah sebabnya PromĂ©theus menjadi teladan kaum humanis sejati seperti Karl Marx. Yang dalam karya-karya permulaannya sudah mengagungkan PromĂ©theus dan menderetkannya di barisan terdepan dari « para pahlawan sejadi dan saint-ahli-filsafat ». Sudah sejak masa mudanya Marx tercengkam oleh tuntutan ala PromĂ©theus : Semakin keras hujaman penderitaan, perantauan politik (exil), penyakit, kematian amat menyedihkan anggota keluarganya, semakin membara pula kemauannya yang membaja akan kebebasan, semakin cerlang cemerlang berkas-berkas kebenaran terpancar dari mahluk yang kegandrungannya menggebu-gebu ini, dimana tuntutan akan kejernihan dan kejujuran ditingkatkan sedemikian rupa tingginya hingga membawanya ke jurang penghidupan yang sulit. Dalam sepucuk surat yang ditujukan kepada seorang sahabat, setelah merampungkan jilid pertama Kapital, antaranya berbunyi : « …Kenapa aku tidak menjawab suratmu ? Karena setiap saat aku hampir masuk ke liangkubur. Selagi aku masih mampu bekerja, aku mesti mencurahkan seluruh waktuku untuk merampungkan karyaku. Untuk mana telah kukorbankan kesehatanku, kebahagiaan hidupku dan keluargaku. Kuharap penjelasan ini takkan memancing komentar apapun. Orang yang menamakandirinya manusia yang berpraktek membikin aku gelaktawa dengan kebijaksanaannya… Tapi aku akan betul-betul dianggap sedikit berpraktek, jika sampai ajalku tanpa palingtidak merampungkan naskah bukuku. »
Demikian Marx, yang saya petik dari buku Les Marxistes Editions J’ai Lu, Paris 1965 halaman 20. Semata-mata untuk menguatkan argumentasi, bahwasanya « Sebagaimana halnya PromĂ©theus, dengan ajaran-ajarannya Marx adalah pembawa obor untuk mengungkapkan kegelapan dan menerangi jalan perjuangan bagi kehidupan umat manusia yang luhur. Seluruh sejarah yang berlangsung di abad modern ini ditandai oleh Marxisme yang melingkupi kehidupan beratus-ratus juta manusia. » (Pembaruan N° 13 hlm 28-29).
Benarlah memang benarnya benar, bahwasanya apresiasi saya baik secara tersurat maupun tersirat akan apa-siapa Karl Marx dan pemikirannya yang disebut Marxisme itu jelas berlainan dengan pakar Fukuyama dan yang semacamnya yang sedang ngetrend saat itu. Yakni kaum yang secara sadar maupun yang apriori menentang Marxisme – Sosialisme dan Komunisme – baik di arena internasional maupun nasional. Dari para pengecam itu, antara lain salah seorang wartawan senior, yang dilansir Kedaulatan Rakyat (05.12.1989) menyatakan bahwa, peristiwa yang terjadi di « Blok Timur » itu sebagai « proses rontoknya sistim komunisme/marxisme/leninisme » yang telah « dimuntahkan oleh rakyat ».
Yang tak kurang lucunya, Subagijo I.N. dalam tulisannya di Kedaulatan Rakyat itu mengutarakan rekaannya yang menyinggung adanya orang-orang Indonesia yang tidak bisa pulang sebagai kaum komunis yang « ikut-ikutan belaka », « sedang kebingungan dan kehilangan kiblat. » Sungguh konstatasi macam itu adalah serampangan belaka, jauh dari realita obyektip. Bahwasanya, yang benar adalah adanya ragam macam opini dalam mereaksi apa yang terjadi di « Blok Timur » khususnya, dalam « GKI » (Gerakan Komunis Internasional) pada umumnya. Bahkan, adalah pendapat yang jelas menyatakan, bahwa : « …Yang telah gagal dan rontok adalah sistim Stalinis, ‘sosialisme ala Stalin’ atau Breznev dan semacamnya. »
Begitulah salah satu macam dari ragam pendapat, seperti diutarakan oleh Sybrata dalam naskah-naskahnya di Majalah Mimbar N° 1 Th I 1990 Penerbit Stichting Indonesia Media, Amsterdam, ISSN 0925-5176.
Majalah MIMBAR (Informasi Studi Diskusi) – Majalah Opini Pluralis – Nomor perdana itu justeru berisi serangkum naskah : Masalah-masalah Sosialisme Dewasa Ini. Naskah-naskah dari Arief Budiman, Asnan, Jose Fort, Liem Soei Liong, Subakat, Sybrata dan V. Zelenin.
Kiranya cukup menggelitik apa yang dipaparkan oleh Liem Soei Liong dalam artikelnya bernada pertanyaan : « Pasca Tembok Berlin, Matinya Ideologi Sosialis ? » in Mimbar N° 1 halaman 19-29. Setelah menganalisa perihal « Layunya negara adikuasa » baik Uni Sovyet maupun Amerika Serikat, Liem sampai pada soal « Anjloknya blok sosialis ». Dengan sarkasmenya mengungkap ke-tidak-benar-an pandangan Francis Fukuyama yang menyatakan « Sejarah telah berakhir » itu. « Masalahnya sekarang apa yang dimaksud dengan Fukuyama dengan sistim sosialis dan faham atau ideologi Marxis…. » (hlm 25). Bagi Liem, «ambruknya blok sosialis…bukan berarti ambruknya sosialisme melainkan ambruknya stalinisme (dan juga leninisme). » (hlm 26). Lanjutnya, « yang pasti juga adalah ambruknya sistim totaliter di Eropa Timur merupakan angin segar bagi mereka yang masih setia pada cita-cita sosialis. Imago sosialis selama ini cemar karena diidentifikasi dengan bentuk-bentuk Stalinisme yang dominan di sana. Sekarang mulai era baru dimana demokrasi sampai keujung rambut merupakan bagian integral dari struktur sosialis. Arus demokrasi akan menjadi fenomena politik yang utama ditahun-tahun mendatang. Dampak demokratisasi di Eropa Timur dan usaha serupa di Brasil dan Chili akan terasa juga di Indonesia. Totaliterisme tipe Suharto sudah usang dan sampai dikalangan elit Jakarta pun kesadaran ini mulai berkembang. Sekarang tinggal mengembangkan faktor subyektifnya yaitu organisasi dan penggalangan massa. Ersatz capitalism yang dipertahankan kelompok Suharto sedang dilanda roda sejarah, anti-komunisme-nya rejim Suharto pun sudah tidak laku, tinggal mendongkelnya rame-rame. » (hlm 28-29)
Adalah naskah-naskah penting lainnya pengisi Majalah Mimbar nomor perdana itu yang layak kaji dan dijadikan bahan diskusi. Yakni tulisan Subakat berjudul « Masih Adakah Yang Dapat Kita Kerjakan ? » atau « 7 Tesis Untuk Perdebatan Rekonstruksi Gerakan Sosialis Revolusioner di Indonesia. » (hlm 42-63)
Yang layak disimak dari pemaparan yang diajukan oleh Subakat dengan « 7 Tesis »nya ini iyalah kentalnya pengaruh pemikiran Leon Trotsky. Suatu naskah yang jadi lebih menarik sebagai bahan bandingan dengan tulisan dari penulis berkecenderungan sosialis lainnya seperti Arief Budiman berjudul : «Tanggal 7 Bulan Februari 1990 Di Uni Soviet » (hlm 36-41)
Selanjutnya, naskah dari teoritikus Asnan : « Masalah Sosialisme Dewasa Ini ». Suatu upaya pengupasan masalah-masalah posisi & peranan partai komunis, kekuasaan negara sosialis, ekonomi sosialis dan teori sosialisme.
Dalam bahasan yang diutarakan Asnan, antara lain dinyatakan bahwa apa yang terjadi di Eropa Timur boleh saja disesalkan pun boleh tidak perlu disesalkan. Disesalkan, lantaran « harapan-harapan jutaan pejuang dan rakyat akan terciptanya suatu masyarakat sosialis yang meniadakan borok-borok kapitalisme belum dapat diwujudkan di negeri-negeri itu… Di pihak lain, tidak perlu disesalkan atau disayangkan. Sebab yang dibangun di negeri-negeri itu bukanlah sosialisme sebagaimana dicita-citakan dan diperjuangkan oleh kaum sosialis dan komunis. Praktek-prakteknya bahkan mencermarkan citra sosialisme sehingga dibenci dan ditolak oleh rakyatnya. »
« Boleh dikata, » lanjut Asnan, « bahwa kejadian-kejadian di Eropa Timur menutup suatu fase dalam perkembangan sosialisme. Tapi ini samasekali tak berarti habisnya atau berakhirnya sosialisme. » Ditegaskannya, bahwa : « Sistem kapitalisme tetap tidak mampu memberi jalan keluar. Mayoritas rakyat di dunia ini yang hidup di bawah kapitalisme menderita kesengsaraan dan kemelaratan. Mereka tak akan menghentikan usaha dan perjuangannya untuk suatu masyarakat yang adil dan makmur, suatu masyarakat sosialis. Demi menjaga terulangnya kesalahan perlu kerjasama dan perpaduan antara kaum komunis, kaum sosialis dan semua kekuatan politik yang ingin bebas dari penindasan kapitalisme dan mewujudkan masyarakat sosialis, masyarakat yang demokratis dan manusiawi. » (hlm 87)
Kiranya cukup menggelitik, dalam naskah salah seorang teoritikus Marxis sekaliber Asnan itu, mensitir makna penting anjuran Mao Zedong agar « seratus bunga mekar bersama dan seratus aliran bersaing suara ». Seraya menandaskan, bahwa : Dalam memupuk semangat toleransi patut dijunjung ucapan Voltaire, pemimpin Perancis yang terkenal : « Sungguhpun aku membenci pandanganmu, tapi akan kubela dengan jiwaku sendiri hakmu untuk mengutarakannya. »
DEMIKIANLAH sekedar bukti nyata dalam tulisan yang tercetak dari beberapa pandangan Marxis yang menunjang tulisan berjudul « Benarnya Yang Benar Yang Salah Salah ». Iyah, memang benarlah adanya kebenaran opini yang membantah yang salah berupa pernyataan « Sejarah Telah Berakhir » nya Francis Fukuyama.
Benarnya opini yang benar atas yang salah – yang diutarakan kurang-lebih dua dasawarsa yang lalu itu teruji kebenarannya. Benarnya bahwa runtuhnya imperium Uni Sovyet bukan berarti runtuh atau matinya Marxisme sekalian gerakan Sosialis dan Komunisnya di bola bumi yang bundar ini. Bahkan, di atas puing-puing « Blok Timur » sendiri, aliran dan gerakan tersebut masih terus eksis hingga dewasa ini. Bahkan juga, di negeri-negeri eks-kediktaoran Amerika Latin, Marxisme dan gerakan Sosialis kian banyak diminati.
Begitulah pula halnya di Indonesia sendiri. Meskipun Marxisme telah diharamkan sejak berdirinya rezim OrdeBaru bahkan hingga kini, organisasi-organisasi dan pengikut serta simpatisan bahkan mereka yang hanya diduga-duga saja pun mengalami penindasan yang luarbiasa, namun teori atau ajaran Karl Marx dan Engels itu tidak bisa terbasmi. Terbukti, dengan satu atau cara lain, kendati dalam ancaman penjara atau maut, Marxisme senantiasa diminati oleh sementara kalangan orang. Bahkan, selain adanya beragam terbitan kiri, belakangan ini buku karya Marx yang paling penting berjudul Kapital telah diterjemahkan dan diterbitkan dalam bahasa Indonesia.
Dalam konteks sikon seperti itulah, benarnya ungkapan Suar Suroso untuk menunjang hasil karya tulisnya berupa buku berjudul « Marxisme – Sebuah Kajian », bahwasanya yang « dinyatakan punah malah kiprah ».
Semoga buku yang merupakan sumbangan penting demi memperkaya kepustakaan Indonesia menjadi salah satu bahan pertimbangan berharga pula bagi para pembaca yang berkenan. Bagi para peminat untuk memperluas wawasan, memperhangat diskusi atau perdebatan. Diskusi dan atau perdebatan yang selayaknya. Dengan dada lapang menggunakan nalar mau dan mampu mendengar keberbedaan maupun kebersamaan ; secara kritis berupaya mengungkap mana yang benar mana yang salah. Dalam rangka menimba pelajaran dari pengalaman, memetik yang dianggap bermanfaat seraya menanggalkan yang tidak. Manfaat bagi perjuangan untuk perwujudan masyarakat yang aman, adil dan makmur. Masyarakat manusia yang manusiawi atau masyarakat sosialis yang selayaknya.
Akhirul kalam, dapatlah diketahui bahwasanya tulisan ini hanyalah sebatas sambutan atas penerbitan buku itu sendiri dan bahan yang saya terima berupa Perkenalan Buku dari Bung Suar Suroso belaka. Karena belum saya miliki, maka isi keseluruhan buku tersebut belum lagi saya telaah adanya. ***

(A.Kohar Ibrahim)

Apresiasi Atas Kreasi Puisi Penyair Lekra


Oleh: A.Kohar Ibrahim

SAYA kira memang iya, bahwasanya apresiasi seni dan sastra tak lepas dari kepentingan dalam segala ragam dan format atau skalanya. Kepentingan orang perseorangan, sepasangan, golongan atau kelompokan, faksi, gundukan, kawanan atau klik . Kepentingan itu bisa saja macam kepentingan rasa kepuasan, kepentingan ideologi, politik dan ekonomi ataupun gabungan dari padanya. Seringkali kepentingan demi selera, demi sesuap nasi atau sepotong roti yang bisa berdimensi posisi atau kedudukan atau yang UUD (ujung ujungnya duit) ! Begitulah yang hakiki, disamping embel-embel atau busah-busahnya.

Ketika kaum Manikebuis mengapresiasi hasil karya seni, khususnya seni sastra, lebih khusus lagi puisi-puisi karya penyair Lekra, nadanya adalah kental sekali ber-panglima-kan politik bos mereka, yakni kaum militer kanan yang anti-komunis. Dengan angkuh dan gegabah menilai hasil karya orang-orang Lekra itu rendah. Cuma “seribu slogan nol puisi”. Sikap arogan karena merasa kaum elit pengibar panji “l’art pour l’art” terhadap pengibar panji “seni untuk rakyat” yang bersemboyankan “politik adalah panglima”. Semboyan yang dimulut dikecam habis-habisan oleh kaum Manikebuis tetapi dalam perbuatan dilakukannya juga – dulu bahkan sampai detik ini. Sikap arogan dan kemunafikan itu berkesinambungan – lebih-lebih lagi semasa jaya-jayanya rezim paranoia OrBa.

Demikian aku terkesankan, dalam katian sebuah sajak Mawie Ananta Jonie “Kunanti Bumi Memerah Darah”. Oleh Hasan Aspahani sajak itu diapresiasi sebagai bukti “Begitulah tema dan gaya umumnya sajak-sajak penyair Lekra/PKI dan LKM/PNI yang terbit di lembar kebudayaan surat kabar kelompok itu, Harian Rakyat dan Bintang Timur (Lampiran Kebudayaan Lentera).”

Sungguh disayangkan cara Hasan dalam mengapresiasi hasil kreasi berupa sajak-sajak penyair Lekra (bahkan juga LKN – bukannya “LKM” seperti tulisnya) kentara hanya ikut-ikutan nada kaum Manikebuis senior macam GM, Ikra dan Taufik Ismail. Saya bilang demikian lantaran tak yakin Hasan telah menyimak banyak sajak-sajak para penyair Lekra periode 1950-1965 yang tersiar bukan hanya di koran-koran seperti yang disebutkan itu, melainkan juga koran-koran lainnya di Pusat maupun di daerah; juga di majalah-majalah, terutama sekali majalah Sastra dan Seni Zaman Baru.

Bisalah dimaklumi, kalaupun Hasan akan bilang bahwa gara-gara politik budaya OrBa paranoia, dia tak berkesempatan dengan mudah melacak-simak hasil kreasi sastrawan dan penyair Lekra yang dibrangus sang penguasa. Maka dari itu hanya bisa mengikuti nada irama kaum Manikebuis senior saja, seperti sebuah buku yang disitir Ikra dan yang dengan bangga ditekuninya itu. Tetapi, baru-baru ini, kiranya bisa disimak dalam terbitan berupa buku Trilogi Lekra Tak Membakar Buku. Dalam kumpulan puisinya berjudul Gugur Merah yang berisi beratus-ratus sajak karya 111 penyair. Bukan tak mungkin, setelah menyimaknya, Hasan bisa dengan jitu dalam menggunakan daya apresiasinya.

Sementara itu, dalam kaitan ini, sebagai pelengkap, saya turunkan seberkas puisi dari 3 penyair Lekra: Rivai Apin, S. Rukiah dan Agam Wispi.

*

E l e g i

Oleh: Rivai Apin

Apa yang bisa kami rasakan, tapi tak usah kami ucapkan
Apa yang bisa kami pikirkan, tapi tak usah kami katakan
Janganlah kau bersedih – dan mari kami lanjutkan
Kami bawa ini kebenaran ke bintangnya dan ke buminya.

Kami pun tahu, karena ada satu kata dari kau yang kami simpan
Satu pandang dari tanah retak menggersang,
Lalu sedu menyesak dada,
Ah, kenangan padamu kan terus memburu,
- menakutkan seperti bayang di pondok
seloyongan, bila pelita telah dipasang.
Tapi penuh kasih seperti Bapak yang
mengulurkan tangan
Dan kau kembali, seperti di hari-hari dulu
ketika kau dan ini bumi mendegupkan hidiup.

Kami tak kan lupakan kau, ketika memburu dan ketika lari
- karena apa yang kami buru dan apa yang kami lari
untuk itu mau serahkan nyawamu
Dan kami yang menimbang jasamu
Pun tahu, seperti kau pun tahu, bahwa tak ada
Dewa atau Tuhan lain yang berharga untuk
dihidupi selain itu

Berhembus pun topan di padang tandus ini
Tapi tampak kami yang tertanam di padang
gersang, di mana kau dalam terkubur
Melanjutkan nyala, dan kami yang tegak
berdiri di sini ialah api.
Kita tahankan hidup di ini malam, yang akan melahirkan siang.

Kita adalah anak-anak dari satu Bapa
Kita adalah anak-anak dari satu Ibu
Dan mati bagi kita hanyalah soal waktu
Tapi kita semua mempertahankan satu Tuhan.

Adik yang akan datang, Kakak yang telah pergi
Kita angkutlah ini tanah-tanah yang retak,
ini tanah-tanah yang gersang,
Keberatan beban, kesakitan bahu memikul, dan
kepahitan hati akan kekalahan
Akan menyaratkan cinta pada kepercayaan
yang kita peluk.

(Majalah Siasat, 9 Januari 1949; Majalah Kreasi N° 24 1995)

*


Kenangan Gelita

Oleh: S. Rukiah

(buat Eska di Kaki Gunung)

I

Malam ini aku mau lagi bercerita,
dan bila cerita ini satu-satu kutulis dengan jariku
buatmu cuma jadi satu cerita kegelitaan
ketika malam kosong berpisahan dengan bulan

Seperti juga kita di hari kini
di mana batas sampai tepi langit di jauhan
di mana segala anak-anak manusia
terima satu perintah jangan melanggar ini batas
di sini kita berpisah
antara dinding penjara dan pegunungan

Aku lihat di celah besi-besi kaku tak bercerita ini
engkau diburu macam hantu pelarian
jauh ke sana di antara daunan kering yang berjatuhan
di mana teriakan suara makin kecil hilang-hilang
sedang aku di balik terali dingin
tergolek mau bermimpi malam kenangan.


II

Biar sekali ini aku tak ada melihat laut
kapal-kapal juga semua sudah berlayar
angin lari dan bintang tidur satu-satu
tapi aku tak kepergian suaramu
meski malam selalu warnanya hitam
sebab lantai dingin dan tembok putih ini
sekali-sekali ia mau memberikan jalan
buat angin pagi dari suara pegunungan.

Dan bila angin itu bisa kembali sebelum mati
akan kupinta satu pena kuno yang runcing
serta tinta merah yang selalu basah tak kering-kering
dan biarlah aku akan bikin satu cerita panjang-panjang
atau menulis sajak yang banyak
meskipun dikatakan: ini bukannya cerita Tuhan !


III

Tapi pernahkah melintas di tempatmu
malam kenangan di malam gelita pegunungan ?

Pabila ada juga padamu
di antara rintik-rintik hujan senja
atau bunga-bunga hutan yang berserakan
tak kan kuhabiskan kenangan ini
biarlah akan kususun cerita ini dari malam ke malam lagi
tak peduli aku jadi gadis tua di balik penjara
karena sekali kenangan ini akan berakhir
kita bertemu di antara meja dan bunga merah
sambil minum air yang bergula manis-manis.

Kita mulai bercerita dangkal-dangkal tak tahu bentuk
dan aku akan ketawa dan ketawa !
hingga berakhir dengan cerita kenangan gelita ini
ketika malam kosong berpisahan dengan bulan.


IV

Tapi bila dalam satu pagi
bulan ini masih tampak seperti gambar sabit emas
atau bintang-bintang seperti bunga tanjung kecil-kecil
inilah mungkin waktunya aku buka cerita panjang
atau aku bacakan sajak penjara yang dulu
dan pengalaman hidup yang panjang penuh dengan luka-luka.

Cuma di sini
Masih ada yang mau aku katakan:
Engkau memang diburu, tapi bukan pelarian
aku memang di penjara, tapi bukan manusia kurungan.
Kita bukan orang pelarian yang
masing-masing tidak punya satu dunia.

Tapi Eska !
Kenanglah sekali cerita kenangan ini
bila engkau telah cape menginjak batu-batu pegunungan
atau telah benci mendengar cerita darah
atau cerita maut, dan cerita busukan manusia
engkau akan tulis di satu buku harian:
kita dua manusia yang cinta kepada cinta !

(Majalah Zaman Baru 25-26 1958; Majalah Kreasi N° 40 1999)

*


Sajak-sajak oleh: Agam Wispi


Perahu Pinisi Tak Boleh Merapat

begitu cepat matahari tenggelam
kilau emasnya tinggallah tembaga
begitu cepat sarat muatan
perahu pinisi, daratan bagimu hanyalah duka

Makassar, 2 April 1964.

*

Menjelang Mendarat

pulau-pulau jamrut cemerlang
memanggil dengan suara lantang berdentang
hasrat kuat akan kemerdekaan
dan berkelilingan kilau danau dengan laut terbentang
jam berapa pesawat melambai Menado ?
anakku, di atas awan kuingat kau

Makassar-Menado, 4 April 1964.

*

Menyusur Tondano

jip melambung berguncang-guncang
hadap-hadapan bukit, danau dan hutan
tenang kereta-kuda berderak memintas sawah
kusirnya petani muda yang ketawa dan gadis bersutera merah

menyusur danau jip berguncang-gucang
Tondano tak berteriak, bagai rumah tua yang ditinggalkan
dan kulik elang menjauh hilang
tapi petani itu mukanya riang mentertawakan:
jalan jelek ! sabarlah, kita baru habis perang

*

Tinoor

para lelaki sudah pergi
atau mati
yang kembali ketinggalan hati
di tanah seberang di kota ramai
pulangnya tak berarti

kami yang meromok tinggal di sini
tak lagi bisa bersedih
dulu dari jaman kompeni
para lelaki sudah pergi
atau mati

maka minumlah saguer, abang
selagi singgah di sini dan gunung akan didaki
pandanglah lembah menjemput lautan
sebelum Menado ditinggalkan, mari bersenang
mari bersenang – walau dilupakan

Tondano, 8 April 1964.

*

Pertemuan Di Danau

danau putih
sajakpun putih
di Toba tenggelam sepenggal kasih

sampan telungkup
aku berenang megap-megap
ke tepi
tapi menang apalah arti
kalau indah hanya seperti buih

asap mesiu mengantarku ke danau Manindjau
dan kenangan melayah ke duniaku yang hijau
sungguh, danau tiada lagi putih seremaja dahulu
dan kebahagiaan hanya tergenggam bagi yang tahu

jip mendaki dan menyusur danau Sentani
Kota Baru meraih jauh, kami berlari-lari
betapapun becermin rimbun daun dan akar berjuntai
kemenangan yang remaja, padamu juga hari-tua melambai

sampai aku di danau paling utara
Tondano, dukamu tak bisa kulupa
para lelaki tak pulang, entah mengapa aku terkenang
pahlawan kebahagiaan mati di tanah buangan: Ali Archam

dan di sini, diantar perjuangan yang sedih
danau Batur, kubu dari lahar dan abu menyembur
para turis kagum berpura sedih
tapi rakyat itu dengan tangannya yang perkasa
jalan bergandengan dan bernyanyi
meski mengantar mayat ke kubur

Kintamani, 26 April 1964.

*
Catatan:
Sajak-sajak Agam Wispi – Perahu Penisi, Menjelang Mendarat, Mercusuar Tondano, Tinoor dan Pertemuan Di Danau -- dipetik dari majalah Zaman Baru N° 7 1964; dimuat ulang majalah Kreasi N° 9 Th 1991.
Majalah Kreasi terbitan Stichting Budaya Amsterdam, ISSN-0923-4934. Editor: A.Kohar Ibrahim, mantan redaktur majalah Zaman Baru (1963-1965) di bawah pimpinan Rivai Apin dan S. Anantaguna.
Ilustrasi: Komposisi Eksekusi II – karya lukis Abe alias A.Kohar Ibrahim, cat akril di atas kanvas. ***

Inilah Alasan Mengapa Lekra Menghantam Rendra

Rendra yang dikenal hingga akhir hayatnya adalah Rendra si penyair cadas dengan puisi-puisi pamfletnya yang menonjok. Tapi kenapa Lekra menghantamnya ketika masa itu puisi-puisi pamflet berada di masa keemasannya. Rupanya, di usia kepenyairan mudanya, Rendra adalah penyair erotik sebelum banting stir menjadi penyair pamflet saat Lekra sudah terkubur. Dan di mata Lekra, penyair erotik harus menyingkir karena mereka adalah oknum2 penggelap jalannya revolusi.
Indonesia Buku menyalin ulang dokumen Bintang Timur untuk melihat posisi Rendra di masa gebuk-gebukan Lekra vs Manikebu itu. Inilah wajah Rendra sebagai penyair erotik. Sekaligus menjadi alasan kenapa Lekra menghantam Rendra.
Icha Akulara
PUISI EROTIK: Bingkisan Ulangtahun Rendra
Oleh Plato erotik telah dibitjarakan dengan pandjang lebar dalam bukunja jang bernama Sympasion. Baginja eros merupakan pelindung dan pentjipta hasrat asmara murni. Plato memandang eros sebagai satu desakan untuk pengabdian jang meningkat dari tjinta biologis sampai pada taraf keindahan jang tertinggi.
Erotik itu sendiri diangkat dari mite Junani:
Leandrus djatuh tjinta pada Eros. Dari Abidus ia berenang menjeberangi Helespon ke Sestus, untuk bertjumbuan dgn kekasihnja. Pada suatu malam dalam menjeberangi Helespon, ia ditimpa malapetaka tenggelam dilautan. Setelah mengetahui hal ini, Erospun menerdjungkan diri dan mati bersama. Tokoh mite ini lalu dipakai lambang tjinta. Oleh Calille kata erotik digunakan untuk istilah sastra dan mengandung arti birahi.
Eros adalah putera Aphrodite dengan Zeus. Eros dilukiskan sebagai seorang gadis bersajap. Ia selalu bawa panah asmara jang dapat mengobarkan api tjinta. Eros djuga disebut Psyche, lambang semangat mentjinta. Dan selandjutnja erotik merupakan sastra jang mengambil pokok tema tjinta, in malam partem.
Berlawanan dengan Plato, Freud berpendirian bahwa setiap tingkah-laku manusia selalu berdasarkan napsu seksualita. Baginja hasil sastra adalah tumpuan napsu seksualita pengarang jang tak terlampiaskan. Hal ini akan nampak pada beberapa sadjak Rendra, diantaranja:
Anita
Lelaki itu memperkosanja diladang
hudjan gerimis menambah ribut dada dan alang
lalu meninggalkannja dengan dingin mata
menenggalamkan diri bagi bahasa tjinta
Anita
Derai gerimis menampar muka
kutuk membalik mendera dirinja
dadanja jang subur tergontjang2
oleh damba
(BALLADA ANITA)
Adjaran Freud jang mengarah-arah ke pornografi, agaknya sudah membalung sungsum dalam diri Rendra. Segalalanja dilandaskan pada gairah seksualita. Libido diagung-agungkan, seolah2 merupakan satu2nja sumber keindahan. Tapi sebenarnja keindahan jang sedjati tak pernah merusak kemurnian, seperti misalnja sadjak ,,Wadjah Dunia jg Pertama”, jang mengasosiasilan pada kitab Genesis:
Ketika bulan pudar
ia bawa pengantinnja
keatas bukit itu
keduanja telandjang
wadjah dunia jang pertama
Makin lama ia makin kuat ditjekam teori Freud jang serba berlebih2an. Segala-galanja selalu dihubung2kan dengan seksualita. Baginja, alam terasa menggiurkan. Papaja dilihatnja sebagai buahdada, kebun anggur jang sedap adalah bulu dada jang riap, ia melihat bulan menarik pahanja. Alam jang bersolek demikian indahnja pudar telandjang dimata Rendra. Semuanja bergelondjak bergairah dalam dirinja. Oleh Rustandi ia dikatakan penjair cross-boy, ini bisa dimengerti mengingat kenakalan2nja dalam:
……………….
Melenguh lembu-lembu jang terdjaga
bambu-bambu merapat kedinginan
berdesir sungai birahi
putjuk padi mentjium bumi
pohonan hidup dan gemetar
dan bulan menutup wadjahnja
Tanganku mendjemah dadamu
(SERENADA MERDJAN).
Inspirasi tak hanja ditjari dengan gelandangan disepandjang gang2 gelap tok. Adalah sinting seniman2 jg suka nglujur dengan alasan tjari ilham. Ilham memang tak djatuh dari langit bagai embun diwaktu malam, tapi sebaliknja ilham tak bertaburan dipelosok2 kota. Masa2 Chairil, masa mens zonder rentjana, harus kita tinggalkan dengan serentak. Semangat marhaen tak berarti nongkrong dan bertjanda2 dengan penghuni2 gubug, supaja dapat menjanjikan ketjantikan mereka:
Kami sama-sama menuruni malam
sampai disuatu lorong dibungai perempuan
perempuan-perempuan susu laju dirapikan
mata kuju dibinarkan pulasan
(KAMI PERGI MALAM-MALAM)
Dalam ,,Ballada Sumilah” disamping melukiskan betapa kedjantanan dan keberanian seorang patriot, Rendra tjerita tentang nasib seorang gadis. Balada ini tak bisa lepas dari soal-soal seksualita. revolusi hanja sebagai ilustrasi belaka, ia lebih banjak tjerita tentang Belanda jang mau memperkosa Sumilah. Ketjemburuan Samidjo dilukiskan berlebih2an, sehingga kalap nekat dan bunuh diri setjara patriotis, Samidjo gugur demi dendamnja pada Belanda. Sumilah putusasa, bagai Ophelia, ia menerdjunkan diri di palung sungai. Revolusi nampak begitu gelap dalam pandangan Rendra. Seperti sadjak2nja jang lain, balada ini bernafaskan erotik pula:
– O tersobek kulitmu lembut berbungakan darah
kojak mojak badjumu muntahkan dadamu
lenjaplah segala karena tiada kau punja
bunga jang terputih dengan kelopak2 sutera
– Belum lagi! Demi airdaraku merah: belum lagi
Setelah membatja dan mempeladjari beberapa sadjak tersebut, kita bisa menarik kesimpulan bahwa sebagian karja Rendra terkandas pada soal seksualita. Pada satu ketika ia terkungkung dan tak bisa melepaskan diri daripadanja. Ia tidak mampu memberikan asosiasi jang lebih tinggi lagi, seperti jang dimaksud oleh Plato. Kini kita bisa merasakan betapa djeleknja sembojan ,,l art pour art!”
Tapi kita masih bisa merasa beruntung, karena erotika tak tumbuh subur dalam sastra Indonesia. Erotika jang berlebih2an hanja merugikan moralite bangsa kita, jang sedang sibuk dalam taraf pembangunan semesta berentjana. Dan sebaiknja dalam hal ini kita mengikuti pendirian dr. K. Heeroma, jang mengatakan bahwa puisi erotis adalah puisi hina. Sastra jang sematjam inilah jang mesti segera dibabat!
* Dinukil dari lembar “Lentera” Harian Bintang Timur Edisi 2 November 1962.

Selasa, 11 Agustus 2009

SASTRA PERLAWANAN

Sumber :Wahana, Jakarta: Friday, December 26, 2003 3:00 PM
Subject: Pengantar Martin Aleida




TIDAK MENYERAH [1]

Oleh Asvi Warman Adam[2]



Pulangnya si Anak Hilang

Jatuhnya Soeharto telah membuka peluang bagi munculnya karya sastra yang
selama Orde Baru terlarang. Tiga dekade keberadaan rezim militer itu identik
dengan kematian sastra kiri, yaitu karya yang ditulis oleh pengarang yang
dianggap "terlibat G30S secara langsung atau tidak langsung". Tentu saja ada
perlawanan selama ini, Pramoedya Ananta Toer terus menulis bahkan
menghasilkan karya yang monumental selama di kamp konsentrasi pulau Buru.
Tetapi karya-karya itu tidak boleh beredar di tengah masyarakat Indonesia.

Demikian pula yang dialami Martin Aleida yang kiprahnya di dunia sastra
tersumbat selama lebih dari 30 tahun. Barulah sejak pertengahan 1998 Martin
Aleida bisa menerbitkan paling sedikit empat buku yaitu Malam Kelabu,
Ilyana dan Aku (kumpulan cerpen), Layang-Layang tidak lagi mengepak
tinggi-tinggi (novelet), Perempuan Depan Kaca (kumpulan cerpen). Yang
terakhir adalah Leontin Dewangga (kumpulan cerpen) yang Anda baca ini
sekarang ini.

Martin Aleida lahir di Tanjung Balai, Sumatera Utara, 31 Desember 1943. Ia
mendarat di Jakarta tahun 1963. Semula bernama Nurlan, ia aktifis Lekra
Jakarta Raya. Setelah meletus peristiwa G30S 1965 ia kemudian ditangkap
tahun 1966 dan ditahan selama beberapa waktu. Setelah berganti-ganti
pekerjaan (buruh bangunan, pelayan restoran, penjaga kios, pedagang kaki
lima) dengan nama pena Martin Aleida ia menjadi wartawan majalah Tempo
selama 13 tahun. Ketika identitasnya diketahui aparat intelijen, ia
terpaksa berpindah kerja sebagai staf lokal Kantor Penerangan Perserikatan
Bangsa-Bangsa (UNIC) selama 10 tahun.

Pengarang lain pun banyak yang bernasib serupa. Si Rangka kumpulan cerpen
Rijono Pratikto diterbitkan ulang oleh Pustaka Jaya tahun ini. Cerpen ini
pernah dimasukkan oleh HB Jassin dalam buku Gema Tanah Air yang
disuntingnya, memperlihatkan salah satu genre cerpen Indonesia dengan tema
seram. Namun kemudian pengarang ini dan karyanya dicekal karena dia dituduh
terlibat G30S. Rijono Pratikto adalah dosen komunikasi di Universitas
Padjadjaran Bandung.

Sebelum ini Pustaka Jaya juga menerbitkan buku Perang dan Kembang yang
ditulis oleh Asahan Alham. Pengarang ini adalah adik kandung dari tokoh PKI
D.N.Aidit. Asahan kini bermukim di negeri Belanda. Ia sempat meraih doktor
linguistik di Vietnam. Latar belakang yang dilukiskan oleh Asahan
betul-betul menakjubkan, pengalaman di sana dipadukan dengan imajinasi
tentang perang Vietnam yang menggetarkan dihias dengan romantika percintaan
yang hidup. Buku tersebut memperkaya wilayah penceritaan sastrawan Indonesia
yang tidak lagi terbatas kepada Nusantara saja. Memang sebelumnya pernah
terbit novelet Tuyet dengan nuansa Vietnam yang ditulis oleh pengarang
angkatan 66, Bur Rasuanto. Namun tugas jurnalistik yang dijalani Bur di sana
tentulah tidak seintens pengalaman tinggal sekian tahun di Vietnam yang
dimiliki Asahan.

Contoh yang disebutkan di atas memperlihatkan bahwa sastrawan yang tergolong
kiri baik yang berada di Indonesia atau yang bermukim di luar negeri
(dikenal dengan sebutan eksil) -- di balik pencekalan atau pengucilan
mereka -- telah menyumbang kepada khazanah kekayaan sastra nasional. Tentu
contoh yang disebutkan di atas di luar karya-karya Pram yang sudah beberapa
kali dicetak ulang. Khusus para eksil ini telah menerbitkan sebuah kumpulan
puisi bersama.

Tidak semua penulis ini terutama yang berdiam di luar negeri mampu
menyampaikan ide-idenya dengan bagus. Terpisah sekian puluh tahun dengan
suasana tanah air, menyebabkan mereka putus hubungan dan tidak mengikuti
perkembangan baru yang terjadi di Indonesia. Dalam naskah penulis T. yang
sempat saya baca, terlihat bahwa yang diceritakan adalah kisah dengan
suasana tahun 50-an, dengan pilihan kata yang terasa ganjil bagi pembaca
yang berdiam di Indonesia.

Namun secara keseluruhan para sastrawan kiri ini telah menyemarakkan dunia
kesusasteraan Indonesia. Kehadiran mereka kembali bagaikan "pulangnya si
anak hilang". Bukan kehadiran fisik yang sangat penting, tetapi semangat
untuk mengangkat tragedi kemanusiaan yang pernah dialami bangsa ini menjadi
latar atau tema cerita, itu yang lebih berarti. Ini pada gilirannya akan
melahirkan generasi baru sastra yang tidak takut lagi menjelajahi wilayah
terlarang selama 30 tahun itu.

Tahun 1960-an memang masa yang gegap gempita di dunia politik dan sastra.
Perdebatan intensif tentang "sastra untuk rakyat' versus "sastra untuk
sastra" telah bercampur aroma politik. Aksi sepihak betapapun bagus sebagai
gagasan, tidak dapat dipungkiri telah bermuara kepada konflik. Semuanya
menjadi pelajaran berharga untuk hari ini dan masa mendatang agar kita dapat
lebih arif menyikapi perbedaan.

Ide tentang "mencicil utang sejarah" yang pernah terdengar pada dekade 60-an
berkenaan dengan upaya seniman dan sastrawan membuat karya yang bertema
peristiwa sejarah yang penting, layak dikaji ulang. Namun terlepas dari
semua itu, dalam suasana kehidupan berbangsa-bernegara yang tak kunjung
keluar dari krisis serta kembali merajalelanya tirani-tirani baru, yang
lebih mendesak adalah penciptaan sastra perlawanan.




Sastra Perlawanan


Buku Leontin Dewangga terdiri dari 17 buah cerpen. Tiga buah cerpen yang
pertama "Malam Kelabu", "Leontin Dewangga" dan "Ode untuk selembar KTP"
berlatar peristiwa 1965. Peristiwa 1965 yang diawali dengan penculikan para
jenderal oleh pasukan Cakrabirawa pada subuh 1 Oktober merupakan konflik
yang terpanjang dalam sejarah nasional setelah merdeka. Satu-satunya konflik
vertikal dan horizontal yang merombak tatanan politik, ekonomi dan sosial
bangsa Indonesia secara drastis. Di balik perubahan besar itu, yang terjadi
adalah penderitaan berpuluh-puluh tahun bagi mereka yang dituduh terlibat
beserta keluarganya tanpa kecuali. Kesengsaraan dan stigma buruk itu tetap
membekas sampai hari ini.

Penangkapan, pembantaian, penahanan tanpa batas waktu dialami oleh mereka
yang dituduh terlibat gerakan itu maupun orang-orang yang kebetulan bernasib
sial. Tidak terbayangkan penderitaan batin para korban serta kehancuran
keluarga yang diakibatkan oleh peristiwa berdarah ini. Perempuan yang
menjadi anggota keluarga tak terhindar dari perkosaan (yang kadang-kadang
tidak sekali dan secara bergulir). Setelah dikeluarkan dari tahanan, eks
tapol itu masih dipekerjakan secara paksa dan tanpa bayar oleh pejabat
militer.



Cerpen "Malam Kelabu" menceritakan tentang seorang pemuda asal Sumatera
Utara yang pergi melamar calon istrinya di sebuah desa di pinggir Bengawan
Solo. Di atas perahu penyeberangan sebelum sampai ke desa yang dituju ia
mendengar tentang bencana yang menimpa sang kekasih sekeluarga.



"Seminggu lalu ketahuan di rumah Partini menginap seorang pelarian PKI dari
Yogya, kakak dari Mulyohardjo. Orang itu dicincang rakyat sampai mati. Rumah
dibakar jadi abu". Rakyat tak pandang bulu. Tak punya pertimbangan dalam
melampiaskan amarah dan dendam kesumat yang sudah lama terpendam.

Seperti di daerah lain keluarga komunis hilang. Tak peduli Ibu Mulyo yang
buta huruf. Tak mau tahu dengan Partini dan adik-adiknya yang buta politik.
Politik tak punya mata. Mereka ikut hilang di tepi bengawan.



Si pemuda hanya bisa mengeluh tanpa daya

"Engkau dan seluruh keluargamu sudah tiada. Tiada kubur tempat ziarah,
seakan-akan engkau tak boleh diterima bumi, karena ayahmu komunis. Karena
pamanmu." rintihnya liris, mengiris-iris.



Selang beberapa saat, ia mengambil keputusan mendadak:
mengakhiri hidupnya sendiri dengan sebilah pisau yang disimpannya di balik
bajunya dan tercebur di dalam arus Bengawan Solo.



Cerpen "Leontin Dewangga" menceritakan seorang pemuda Aceh, Abdullah, yang
ditangkap pasca peristiwa 65 karena ia anggota Serikat Buruh Perfileman
yang berada di bawah pengaruh komunis. Ketika ditangkap di sakunya terdapat
surat ayahnya yang mengabarkan bahwa orang tua Abdullah akan naik haji
dengan menumpang kapal laut, yang akan memakan waktu tiga bulan. Surat
inilah yang menyelamatkan Abdullah, ia diizinkan aparat keluar tetapi harus
melapor setiap minggu.
Abdullah yang hidup gelandangan itu menawarkan tenaga
mengangkat barang-barang ibu-ibu penjual sayur di pasar Senen. Suatu hari
Abdullah bertemu dengan seorang ibu dari Bungur, pemilik warung yang
terpikat oleh tingkah-laku Abdullah. Saban usai mengangkat barang-barang,
Abdullah dihidangkan makanan oleh ibu tersebut. Selanjutnya, Abdullah
berkenalan dengan Dewangga Suciati, anak pemilik warung, yang kemudian
menjadi istrinya.

Sampai mereka mempunyai dua orang anak, Abdullah tidak pernah menjelaskan
kepada istri dan keluarga istrinya tentang dirinya. Istrinya tidak merasa
asing dengan percakapan antara Abdullah dengan tamu-tamunya. Percakapan
mereka mengingatkan Ewa akan percakapan ayahnya almarhum dengan
teman-temannya.

Ketika istrinya berjuang melawan maut karena kanker stadium
terakhir, Abdullah memutuskan berterus-terang kepada istri. Mendengar cerita
suaminya, Ewa meminta Abdullah membuka leontin yang terpasang di lehernya.
Ternyata di situ ada gambar semacam bulan sabit berwarna merah, lambang
gerakan tani yang melancarkan aksi sepihak untuk melaksanakan undang-undang
pokok agraria. Bahwa lima hektar adalah batas luas tanah yang boleh dimiliki
seseorang. Selebihnya direbut oleh para petani yang tak bertanah. Leontin
ini dikalungkan oleh ayah Ewa ketika ia berusia 17 tahun sebelum sang ayah
dibawa oleh seorang algojo yang dikirim oleh tuan tanah pada tahun 1965.
Sejak itu ayahnya tak pernah lagi kembali. Kemudian Ewa sendiri pernah
diperkosa oleh aparat keamanan ketika mencari ayahnya.



Cerita tentang surat ayah yang akan naik haji dan ternyat surat itu
menyelamatkan sang anak dari kurungan penjara juga dituturkan dalam novelet
Layang-Layang Itu Tidak Lagi Mengepak Tinggi-Tinggi. Apakah itu merupakan
kisah nyata dari kehidupan penulisnya sendiri atau sekedar imajinasi ?
Terlepas dari itu, fakta ini menunjukkan bahwa nasib orang-orang yang
dituduh terlibat G30S itu betul-betul tidak jelas. Penggolongan tahanan
politik menjadi golongan A (terlibat dan diajukan ke pengadilan) B (terlibat
tetapi tidak cukup bukti) dan C (simpatisan), betul-betul sesuka hati aparat
setempat. Wawancara bahkan kadang-kadang tes psikologis yang diberikan
kepada mereka tidak menjamin penggolongan itu dilakukan dengan cermat. Di
antara mereka tapol golongan B yang dibuang ke pulau Buru juga terdapat anak
di bawah umur dan orang yang sudah tua. Bukan hanya sarjana tetapi banyak
juga yang buta huruf.

Kisah perempuan yang menunggu maut menjemput karena kanker itu sendiri sudah
menyedihkan. Namun kisah cinta antara dua orang keluarga korban 1965 yang
baru saling mengetahui riwayat hidup masing-masing setelah maut akan
memisahkan mereka, betul-betul tragedi anak manusia. Jutaan orang di
Indonesia sampai hari ini masih dihinggapi trauma dan menutup identitasnya.



Cerpen "Ode bagi Selembar KTP" mengisahkan kehidupan seorang
perempuan yang pernah menghuni kamp konsentrasi khusus wanita Plantungan,
Kendal, Jawa Tengah. Stigma buruk terhadap orang-orang yang terlibat G30S
itu meskipun sudah ditahan bertahun-tahun tanpa proses pengadilan diawetkan
dengan memberi tanda ET atau ETP pada kartu tanda penduduk mereka. Dengan
hasil penjualan sebidang tanah warisan ayahnya, perempuan itu menyogok
petugas di kelurahan jutaan rupiah, sehingga ia memperoleh KTP yang bebas
dari tanda pengucilan tersebut.

Ia disesali oleh putrinya, karena uang jutaan itu bisa digunakan oleh
anak-anaknya untuk modal berjualan, membuka toko obras, melanjutkan sekolah
atau membuka bengkel. Tetapi sang perempuan sudah mengambil keputusan.

"Waktu telah mengajariku bahwa siapa pun tak bisa membuat kata-kata
menemukan kenyataan yang dijanjikannya. Aku tak bisa menunggu."



Perjuangan batin perempuan ini sungguh ganjil bagi masyarakat Indonesia pada
umumnya yang sama sekali tidak memiliki persoalan dengan KTP mereka. Tetapi
itulah kenyataan yang sangat diskriminatif yang menimpa para korban 1965
(sampai sekarang).



Kepedulian terhadap orang kecil tampak dalam cerpen "Suatu Ketika dua
pensiunan". Ternyata mereka yang sudah terbiasa berada di lingkungan yang
rentan terhadap tindakan kriminilitas, memiliki kiat untuk menghindari nasib
tidak sampai menggilas mereka. "Tak Ada Jumat, Tak Ada Fisika", menceritakan
perkawanan sesama penumpang KRL, seorang tua dengan seorang anak. Tetapi
ternyata lelaki itu dituduh menculik anak tersebut dan dipenjarakan. Dunia
sungguh tidak adil dan tidak ada hukum bagi rakyat kecil. "Sesungguhnya aku
tahu dengan hukum yang dihinakan seperti di negeri ini, apakah kami masih
punya hari Jumat lagi".

"Kembalilah ke Harmonikaku" tentang pengamen yang meniup harmonica di
sepanjang perjalanan kereta api listrik Jakarta-Bogor. Suatu ketika untuk
meningkatkan omset ia membeli dan memainkan karoke di atas kereta dan
ternyata disita polisi yang melakukan rasia. Karaoke itu disita oleh polisi
dan akan dikembalikan bila ditebus sebanyak Rp 140.000. Dari mana duit
sebanyak itu dapat dicari oleh seorang pengamen. Ia datang menghadap ke
kantor polisi dengan istrinya agar hati pak polisi bisa luluh. Tetapi
kenyataan tidak.

"Elegi untuk Anwar Saeedy", mengisahkan seorang tukang jual obat
asal Aceh yang pernah melanglang buana, namun terdampar di Jatinegara
sebagai tukang jual obat. Terdengar kabar ia bunuh diri, benarkah ?

Pada cerpen "Penjudi Togel dan warisannya", pemenang togel yang sudah
meninggal pun ingin diperas oleh aparat keamanan. Pada kesempatan ini
penulisnya

"Huripto mau menyumbang untuk pembangunan mesjid di jalan menuju Brebes.
Soalnya Pak Ripto tidak sudi orang-orang jadi peminta-peminta kepada para
penumpang bus, truk dan yang lain, apalagi dengan mempersempit jalan di
pantai utara Jawa. Jalan itu sudah diperlebar kok malah dipersempit



Dua cerpen yaitu "Perempuan di Depan Kaca" dan "Keteguhan Namamu, Bimbi"
berbicara tentang nasib perempuan. Pada "Aku Sepercik air" dituturkan
tentang perlawanan seorang perempuan menghabisi nyawa suami yang telah
menyia-nyiakan rumah tangga mereka. Seorang perempuan miskin yang tak rela
dimadu.

Impian dan perlawanan seorang pelukis terhadap kolektor dijumpai pada cerpen
"Kunang-Kunang Pelukis Kita". Di tangan pengarang ini, makhluk di luar
manusia pun diajak melakukan perlawanan[3]. Protes oleh kolam yang digusur
di TIM (Taman Ismail Marzuki) ada pada cerpen "Ratapan Kolam untuk Merdeka".
Pengarangnya menyebut hal ini sebagai "perlawanan terhadap keadaan yang
busuk". Seekor anjing melawan dalam " "Jangan Kembali Lagi, Juli". Ketika
Juli -- nama anjing itu--

Ketika semua lini kehidupan telah dipenuhi oleh suasana
ketidakadilan dan hukum tidak berjalan, apakah masih ada tempat berteduh di
kota metropolitan ini ? Ternyata di kantor perwakilan PBB pun (di Jakarta
?) terdapat keganjilan ("Kalau Boleh Engkau Kusembah"). Tatkala -jauh ke
masa depan-"Jakarta 3030" diserang oleh burung raksasa, maka sang pengarang
sudah menyingkir dari sana dan membangun sebuah pulau di kampungnya di
daerah Asahan.

Barangkali untuk lepas dari semua himpitan ini orang harus
merantau ke New York. "Ilyana tetaplah bersama kami" adalah contoh
perlawanan yang sukses. Perempuan Rusia itu memang tegar menyabung nasib di
Brooklyn, New York yang terkenal ganas.

Cerpen penutup ini merupakan klimak yang manis. Tujuh belas cerpen karya
Martin Aleida ini diawali dengan pemuda yang bunuh diri di Bengawan Solo
karena kekasihnya telah tiada dan diakhiri dengan perempuan Rusia yang
sukses berjuang di Amerika.



Pedang sembilu

JJ Kusni[4], mengatakan bahwa Martin menggunakan teknik yang digunakan
Ernest Hemingway dalam The Old Man and the Sea. Kisah itu bukan reportase
tetapi berisi pergulatan hidup manusia. Dengan cara bertutur yang lancar dan
pemilihan kata yang puitis, Martin memakai teknik flashback (membayang
ulang) dan kontras guna menonjolkan ide sentral serta watak tokoh-tokohnya
yang tergambar lewat suasana dan pengalaman yang sering sekali getir.

"Derai airmatanya memperkuat kebenaran dari apa yang pernah dikatakan oleh
ayahnya tentang betapa kelamnya dunia di bawah ancaman senjata dan
kekerasan". Anti kekerasan dan militerisme masih merupakan ide sentral
cerpen Martin. Selain kegetiran hidup.

Kritik terhadap militer terlihat pada tuturan berikut:
"Dan ketika dia memandang Abdullah yang terpaku di sisinya, tahulah dia
betapa tak terbandingkannya kekejian manusia berseragam hijau tadi dengan
kehalusan yang tulus yang dia terima dari suaminya. Di tangan suaminya itu
dia benar-benar terpuja sebagai perempuan." Dewangga yang oleh suaminya
dipanggil Ewa setelah peristiwa 1965 diperkosa oleh komandan kamp di
tempat ayah Ewa ditahan.


Kekuatan karya Martin Aleida (tidak ada hubungannya dengan Fifi Aleida
penyiar televisi swasta) terletak kepada semangat untuk memuliakan budi
manusia di bawah kerakusan dan kesewenangan sesama. Namun
kelemahannya -menurut Parakitri T Simbolon - pada karya Martin tercampur-
baur tokoh fiksi dan tokoh nyata. Namun sebetulnya fiksi yang digarap oleh
pengarang ini bertitik tolak dari kenyataan. Dengan gaya yang
menyayat-nyayat, fakta itu diolah menjadi fiksi dengan pedang sembilu.



Tidak menyerah

Lahir, jodoh, rezeki dan mati, di tangan Tuhan, demikian kata orang yang
beriman. Tetapi bagi mereka yang dianggap terlibat G30S, ada pihak lain yang
menentukan nasib mereka. Meskipun tidak meminta dilahirkan sebagai anak
seorang PKI, sang anak akan memikul "dosa turunan" yang seakan-akan
diwariskan orang tuanya. Perkawinan pun bisa batal bila diketahui salah
seorang pasangan itu "tidak bersih lingkungan" artinya memiliki keluarga
yang terlibat peristiwa 1965. Rezeki mereka jelas terhadang, karena korban
65 beserta keluarganya tidak bisa menjadi pegawai negeri bahkan pegawai pada
kebanyakan perusahan swasta terkemuka. Kematian telah dialami oleh mereka
yang dibantai tahun 1965/1966 atau yang meninggal secara tidak wajar di
tempat-tempat penahanan yang jumlahnya ratusan buah di tanah air termasuk
kamp terbesar di pulau Buru yang berkapasitas 10.000 orang.

Maka yang digambarkan oleh Martin Aleida dalam buku ini hanyalah upaya untuk
menertawakan atau mengejek nasib. Sungguhpun pada setiap cerpen itu
terkandung pesan untuk tidak menyerah. Itulah pesan utama dari karya sastra
perlawanan. ***




[1] Epilog untuk buku Martin Aleida, Leontin Dewangga, Jakarta: Penerbit
Buku Kompas, 2003.

[2] Peneliti LIPI. Lektor Bahasa/Sastra Indonesia pada Institut National des
Langues et Civilisations Orientales, Paris, 1984-1986. Juri anugerah sastra
Khatulistiwa Award, 2003.

[3] Sayang cerpen Martin Aleida berjudul "Kesaksian Ganja Kering, Basah Air
Mata", Kompas, 5 Oktober 2003 tidak termuat dalam kumpulan ini. Ganja kering
itu pun hidup dan bersaksi tentang pelanggaran HAM di Aceh dan di Indonesia.

[4] Budayawan asal Dayak yang memperoleh gelar doktor di EHESS, Perancis,
dan selama bertahun-tahun menjalani profesi sebagai tukang masak di
Restorant "Indonésie", Paris.

Realisme Sosialis

Mempertimbangkan (Sastra) Realisme Sosialis

Realisme sosialis adalah salah satu paham/aliran sastra yang cukup kuat mendominasi di Eropa Barat khususnya ketika rezim sosialis menempati posisi kekuasaan. Aliran ini cukup mempunyai konstribusi yang besar terhadap kasanah sastra dunia. Namun hingga kini banyak orang yang kurang suka membicarakannya.Hal ini punya alasan yang cukup kuat mengingat kebanyakan para sastrawan masih banyak yang berpaham netral dan anti partisan terhadap segala macam bentuk kekuasaan. Lebih-lebih ketika realisme sosialis pernah mengalami sejarah buruk ketika berada dalam genggaman kekuasaan Stalin di rusia selama beberapa dekade.

Realisme sosialis –dan sastra lain yang berbau politis dan memihak—kemudian sering direduksi sedemikian rupa sehingga tidak lagi dipandang sebagai gagasan kreativitas yang humanis. Hal ini tidak terjadi di Eropa saja melainkan di Indonesiadimana para seniman realisme sosialis seperti Pramudya Ananta Toer dkk memang pernah terkait dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang punya masalah historis. Agar reduksi yang menjerus pada sikap subyektifisme/sentimen berlebihan ini bisa jernih maka perlulah kiranya di telaah lebih mendasar dan ilmiah tanpa perlu berprasangka buruk terhadap aliran ini.

Akar filosofis

Seperti halnya ajaran pemikiran lain, aliran realisme ini mempunyai persoalan historis dalam konsepsi dasarnya. Ia menjadi antitesis dari paham idealisme yang hanya cukup mendasarkan diri pada persoalan idea. Dalam tataran filosofis, Obyek yang di pandang paham idealisme hanya ada dalam akal budi maka sebaliknya kaum realis berpandangan bahwa obyek presepsi inderawi dan pengertian sungguh-sungguh ada ada terlepas dari indra dan budi yang menangkapnya.

Alasan yang paling menonjol dalam hal ini adalah bahwasanya obyek itu dapat diselidiki, dianalisis, dipelajari lewat ilmu, dan ditemukan hakikatnya lewat filsafat. Secara bahasa realis ini bertitik tolak dari kata latin yang mempunyai arti sungguh-sungguh, nyata benar adanya. Sebagai aliran etis realisme ini mengakui adanya faktor etis yang dialami, entah itu berkaitan dengan hidup, perilaku, dan perbuatan konkret, terlepas dari indra dan budi yang mengerti. (A. Mangunhardjana,1997).

Selaras dengan pendirianya tentang yang ada, dalam prinsip etis dan mengejar cita-cita etis, realisme menyesuaikan dengan hidup nyata. Artinya ia menolak paham yang hanya berpegang pada prinsip etis dengan alasan tidak mungkin dilaksanakan (tidak realistis) Dalam setiap melaksanakan prinsip dan cita-cita etisnya paham ini selalu memperhitungkan semua faktor; situasi, kondisi, keadaan, ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya dan orang-orang yang terlibat.

Kalau kita tengok lebih jauh pada dasarnya kemunculan aliran ini bukan berdiri sendiri. Ia terkait dengan konsepsi dasar filosofis materialisme dialektik dan materialisme historis (marxisme) yang digagas oleh Karl Marx dan Fedrik Engels. Walaupun orang seperti Pramudya mengaku tidak pernah belajar Marxis, namun berbagai karya sastra baik dalam bentuk novel, cerpen maupun romannya membuktikan keterkaitan tersebut. Apa sebenarnya dasar filosofi Marxis yang mempengaruhi sastra ini?

Pertanyaan ini adalah suatu pertanyaan mendasar berkaitan dasar teoritik marxisme dalam segala bidang. Dalam meninjau hubungan struktur masyarakat Marx berpandangan bahwa ada dua strata sosial yang ada dalam setiap zaman, yakni basis-struktur (struktur dasar) dan supra-struktur (struktur atas). Dalam hal ini filsafat marxis menempatkan ekonomi sebagai struktur yang secara urgen mempengaruhi bidang-bidang lain dalam bidang suprastruktur seperti, pemikiran, politik, agama, dan kebudayaan. Seluruh komponen suprastruktur berubah atau tidaknya akan sangat di tentukan dari dari corak produksi ekonomi sebuah masyarakat.

Dalam hal ini sastra menurut marxisme juga menempati bagian supra-struktur. Seni (sastra) merupakan bagian dari ideologi(kesadaran) masyarakat—satu elemen dalam struktur persepsi sosial yang amat rumit yang meyakinkan bahwa situasi dimana satu kelas sosial memeiliki kekuasaan terhadap kelas-kelas lainnya yang juga dilihat oleh sebagian besar anggota masyarakat sebagai suatu yang “alamiah” atau tidak terlihat sama sekali. Memahami sastra berarti pemahaman terhadap seluruh proses sosial di mana sastra merupakan bagiannya.(Terri Eagleton 1979).

Georgy Plekanov mengatakan; ” mentalitas sosial suatu jaman dikondisikan oleh hubungan-hubungan sosial pada masa itu. Sekarang hal itu cukup sebagai bukti sebagaimana dalam sejarah seni dan kesustraan.(Henri Arvon, 1970) Karya-karya sastra bagi marxisme bukanlah sesuatu yang terinspirasi secara misterius, atau sederhananya dipandang dalam istilah psikologi pengarangnya. Karya tersebut menurut Eagliton dipandang adalah bentuk persepsi-persepsi, cara khusus dalam memandang dunia; dan juga memiliki relasi dengan cara memandang realitas yang menjadi mentalitas atau ideologi sosial suatu zaman. Sebaliknya ideologi tersebut adalah suatu produk dari hubungan sosial yang konkrit yang kedalamnya manusia memasuki ruang dan waktu tertentu; ideologi adalah cara hubungan-hubungan kelas yang dialami, dilegitimasi dan diabaikan. Terlebih lagi manusia tidaklah bebas memilih hubungan sosial mereka, mereka dipaksa memasuki hubungan sosial itu karena keharusan material—yang disandarkan oleh sifat dan tingkat perkembangan model produksi ekonomi mereka.

Aliran ini dulunya hanya bersifat sederhana dan terbatas dalam lingkungan sastrawan yang bersinggungan dengan pemikiran marxis. Namun ketika ajaran marxis mampu menampilkan dirinya menjadi sebuah ideologi dan dipraksiskan oleh V.I Lenin menjadi partai revolusioner klas pekerja yang berideologi sosialisme, dan mempunyai banyak pengikut sastrawan beraliran realis, maka banyak orang menyebutnya menjadi realisme-sosialisme. Aliran ini lahir pertama kali di Rusia atas prakarsa beberapa sastrawan partai Bolshevik, antara lain, Maxim Gorki yang kemudian dikenal sebagai bapak pendirinya.

Pandangan awalnya ia mempunyai gagasan bahwa ‘the people must know their history” (manusia harus mengenali sejarah dirinya sendiri) dan “musuh yang tak mau menyerah harus dimusnahkan”.(Kurniawan Eka 1999). Slogan ini ternyata cukup memberikan pengaruh pada perkembangan realisme sosialis di kemudian hari.

Garis Visioner

Teori filosofis diatas ternyata tak mudah dipahami begitu saja oleh para
sastrawan baik yang pro maupun yang kontra. Disatu sisi ia sering dianggap
menempatkan sastra menjadi tidak penting dalam diskursus perubahan di lain pihak dianggap terlalu memaksa seniman untuk terus berkiblat pada doktrin yang kurang lebih ekonomistik. Selain itu bagi penganut realisme sosialis sendiri juga
sering mengalami kegagalan dalam membentuk karekteristik sastra yang utuh. Hal ini tak lain dan tak bukan disebabkan oleh ketidak lengkapan pemikiran Karl Marx dan Engels yang memang tidak pernah secara utuh dan baku menjelaskan rumusan teoritik estetikanya.

Namun setidaknya sastra realisme rosialis pernah punya rumusan yang cukup valid. Apa yang di ungkapkan oleh Fokkema D.W dan Elrud Kunne-Ilsch dalam buku Teori Sastra Abad Keduapuluh (Gramedia;1998) setidaknya mengambarkan rumusan konkret tersebut. Mereka berdua menuliskan kriteria dalam tiga dasar pokok: 1) kriteria penafsiran determinisme ekonomi yang menyangkut pertanyaan apakah karya sastra mengambarkan perkembangan-perkembangan lebih maju atau lebih mundur berdasarkan
ekonomi;2)kriteria probabilitas kebenaran yang sepenuhnya sesuai dengan kode sastra pada zamannya; dan 3) kriteria (selera) pribadi, misalnya tulisan-tulisan Aeschylus, Shakespeare dan Goethe, yang termasuk daftar kesustraan pada
zamannya. Secara general realisme sosialis menginginkan keharmonisan antara kenyataan dan idea. Kenyataan harus di nyatakan sebagai mana adanya, menurut proposisi aslinya, sementara idea harus di sandarkan pada konteks kondisi obyektif. Hal yang paling prinsipil dari semuanya adalah semangat ideologi terhadap perjuangan klas bagi kaum tertindas (proletariat). Kenyataan ini dapat dilihat dari berbagai pemikiran realisme sosialis Mulai dari Maxim Gorki, Lu Hsun, George Lukacs, bahkan sampai Pramudya Ananta Toer.

Sastra realisme sosialis bisa dianggap sebagai sastranya rakyat jembel, kaum pekerja(buruh, tani dan nelayan) yang hadir untuk ikut terlibat berjuang melawan segala sesuatu yang menindas terutama sistem kapitalisme yang secara nyata menghisap kaum pekerja.( Kurniawan Eka, 1999). Ia harus menjadi aspeks gerakan partisan terhadap partai revolusioner. V. I. Lenin, sang pemimpin revolusi Rusia 1917 mengatakan;” Sastra haruslah menjadi roda penggerak dan baling-baling dari sebuah mesin besar sosial demokrasi”. Kenetralan tulisan dianggap oleh Lenin sebagai sesuatu yang mustahil, “kebebasan penulis borjuis (klas menegah) hanyalah ditopengi oleh ketergantungan terhadap sekantong uang!…begitu juga dengan penulis-penulis non partisan. Apa yang dibutuhkan adalah sastra yang luas, bentuk yang beragam dan tidak terpisah dari gerakan klas pekerja (kaum buruh dan tani).

Karena persoalan komitmen dan keberpihakan inilah yang kemudian sering dikatakan oleh berbagai macam sastrawan idealis-borjuistik dengan klaim bahwa sastra marxis lebih mengutamakan visi politik (kepentinganya) dari pada mengutamakan netralitas dan kebebasan ekspresinya. Realisme sosialis yang paling dominan memang tidak mengelak dari persoalan ini. Aturan garis ini memang terkesan menjurus dalam satu format ideologi kepentingan partai.

Kebebasan ekspresi bagi seniman seolah-oleh menjadi terengut didalamnya. Benarkah demikian halnya? Leon Trotsky, arsitek terpenting revolusi Rusia setelah lenin memberikan jawaban pada pertanyaan ini. Ia melihat bahwa wilayah budaya (baca; sastra dan seni) bukanlah suatu tempat dimana partai terpanggil untuk memerintah, tapi bukan berarti memilih mentoleransi karya-karya yang menentang revolusi. Sebuah kewaspadaan revolusioner haruslah disatukan dengan kebijakan yang luas dan fleksibel dalam ilmu-ilmu sastra. (Issac Detscher, 1959)

Sastra bagi partai sosialis haruslah “realis”, tapi dalam pengertian umum yang tak sempit, karena kaum realis sendiri pada hakekatnya tidaklah revolusioner dan reaksioner. Realisme sebetulnya adalah “sebuah filsafat hidup” yang tidak seharusnya dibatasi menjadi teknik-teknik suatu sekolah khusus. Trotsky memandang bahwa bentuk-bentuk artistik sebagai hasil dari “muatan” sosial, tapi pada saat yang sama dia menganggapnya berasal dari sebuah tingkatan tinggi otonomi.(literature and evolution in Soviet1917-62). Pendek kata dari seluruh rangkaian teoritik diatas seni tidak bisa dinilai dan dihakimi dari parameter yang lain seperti politik, sosial, eksak, melainkan hanya melalui hukumnya seni itu sendiri.

Urgensi bagi Indonesia

Di atas telah dijelaskan akar dan garis visi serta komitmen keberpihakan sebuah sastra. Relevansi persoalan filosofis dan visi seni (sastra) di negara kita terhadap aliran kiri ini belumlah banyak di kaji oleh para sastrawan. Sastrawan kita lebih banyak yang sering mengkritik aliran ini secara vulgar tanpa pertimbangan basis teoritik yang memadai. Jikalau-pun ada yang berkeinginanmempraktekkan aliran ini di negara kita, kendala-kendala yang muncul tentulah tidak sedikit. Selain dari halangan yang muncul dari pihak luar yang berupa intrik, teror dan sikap sinis terhadap aliran ini, di kalangan penganutnya-pun sering terjadi kontradiksi yang menjurus pada sikap-sikap ideologis.

Diluar itu sebenarnya masyarakat kita membutuhkan aliran ini sebagai pelengkap keragaman yang telah ada. Terlebih-lebih bila dikaitkan dengan situasi makro –dimana rakyat Indonesia membutuhkan komponen perubahan transformasi sosial—maka realisme sosialis rasanya penting di jadikan elan revolusioner bagi aktivis gerakan akar bawah yang menginginkan tegaknya keadilan dan demokrasi.***

FAIZ MANSHUR (Penulis tinggal di Bandung)

PRAMUDYA, SASTRA KIRI & PEMBEBASAN

Firdaus Muhammad
http://www.lampungpost.com/

“KITA semua harus menerima kenyataan, tapi menerima kenyataan saja adalah pekerjaan manusia yang tak mampu lagi berkembang, karena manusia juga bisa membikin kenyataan-kenyataan baru. Kalau tak ada orang mau membikin kenyataan-kenyataan baru maka kemajuan sebagai kata dan makna sepatutnya dihapuskan dari kamus umat manusia.” (Pramoedya Ananta Toer, Rumah Kaca, Hlm. 325)

Pramoedya Ananta Toer (Pram), maestro sastra berideologi kiri, 6 Februari lalu genap berusia 80 tahun, usia cukup keramat. Ketajaman mata batin mengiringi energi kreatifnya hampir tak tertandingi sehingga dinobatkan sebagai empu sastra. Karya-karyanya cukup berenergi, meski dibungkam gagasannya selalu hidup dan banyak mengilhami aktivis-aktivis pergerakan kampus. Hal itu bukan sebuah kebetulan, sebab Pram memiliki kecintaan pada rakyat dan pada angkatan muda yang selalu tergambar dalam karyanya. Kecuali itu, kekuatan kepenulisan Pram tercermin pada kemampuannya memadukan antara sastra (fiksi) dan sejarah (realitas), tepatnya, ia mampu mengelaborasi, bahkan ‘menghidupkan’ tokoh atau pelaku sejarah dalam jeda waktu tertentu dalam sebuah teks fiksi. Kepiawaiannya menjinakkan teks realitas dan teks fiksi dirajut sedemikian eloknya sehingga sebuah realitas sejarah dapat dibaca dalam fiksi yang kuat.

Syahdan, baik juga menyatakan meski terkesan klise, bahwa Pram berada pada garda terdepan dalam lanskap penulis sastra Indonesia yang memiliki komitmen kuat atas masa depan bangsanya. Komitmen sosial yang demikian kuat itu mewarnai pilihan gaya sastranya yang beraliran kiri. Dalam ranah ini, ia kadang menampilkan tokoh dengan karakter antagonis-protagonis sehingga fiksi sebagai media eksplorasinya mampu membentuk persepsi, bahkan menghipnotis pembacanya untuk mengarungi sejarah Indonesia yang sesungguhnya.

Proses kreatifnya terekam dalam Menggelinding I yang merupakan buah pemikirannya ketika muda sebagai jejak proses panjang keberkaryaannya dalam rentang 1947–1956 dan masih suci dari beban ideologi tertentu. Stigmatisasi kiri kemudian ditahbiskan kepadanya pascaketerlibatannya di Lekra. Karya-karya Pram berhaluan revolusioner dan bersemangat dilahirkannya saat aktif sebagai seniman-sastrawan kiri dan bergeliat di Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Dalam komunitas itu terlahir karyanya “Suatu Peristiwa di Banten Selatan” dengan menarik garis ‘realisme sosialis’ dan propaganda sekaligus. Pilihan berhaluan kiri (baca: anti-Orde Baru atau anti-Soeharto) itu pula yang menjebloskannya ke bui tanpa pengadilan tidak kurang dari 18 tahun dan diasingkan ke pulau Buru, Maluku. Hal itu dialaminya sebagai rekayasa politik rezim yang dilawannya. Di sana ia tetap berkarya yang sebagian karyanya itu hampir mencerminkan jalan hidupnya, Pram memang meyakini dalam konteks tertentu, karya sastra kadang juga menjadi biografi penulisnya. Secara tegas dalam pidato penerimaan hadiah Ramon Magsasay 1995, Pram melukiskan bukanlah suatu kebetulan bila penulis, tidak terkecuali dirinya, disebut oposan, pemberontak, bahkan revolusioner. Penulis sastra selalu membuat reevaluasi dan evaluasi di setiap bidang kehidupan, meski dilakukan dengan kebisuan teks saat berhadapan dengan realitas kekuasaan yang hegemonik dan otoriter.

Karya-karya fiksi Pram sarat dengan seruan pembebasan dengan dimensi sejarah yang menggugah, seperti dalam “Arus Balik”, “Arok Dedes”, dan “Mangir”, membuktikannnya sebagai pembaca dan penafsir sejarah yang tekun dan setia disertai kemahiran bertutur kata yang lihai, tetapi fiksinya berhasil menyingkap semangat dari lembaran sejarah realitas sehingga racikan semangat inilah yang membuat sajian fiksinya melahirkan realitas baru, realitas susastra yang dilahirkannya dari rahim realitas sejarah yang autentik. Karenanya, kritikus sastra Keith Foulcher (1993:36) yang juga dilansir Ihsan Ali Fauzie, meyakininya memiliki niatan didaktis kuat, karena karya-karya Pram memiliki pandangan tertentu tentang sejarah Indonesia di luar yang lazim, yakni memiliki relevansi kuat dengan sejarah Indonesia modern maupun sebagai catatan sejarah masa lampau. Hal itu bukanlah sesuatu yang ganjil, sebab Pram terobsesi menulis sejarah dalam bentuk novel. Tampaknya, kesan itu didapatkan dalam karyanya, “Jejak Langkah”.

Pram sebagai anak zaman penindasan melakoni dunia sastra secara sarkastis sepanjang Orde Baru berkuasa, rezim yang membungkamnya sekaligus membesarkan namanya sebagai sayap perlawanan dengan ideologi kirinya. Ia dipenjara tanpa diadili dan diasingkan selama puluhan tahun. Tak pelak di balik jeruji itulah Pram melanjutkan proses kreatifnya. Saat mendekam dibui ia melahirkan Nyanyi Sunyi Seorang Bisu dan tetralogi Pulau Buru (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca) karya Pramoedya Ananta Toer yang ditulis di Pulau Buru. Tindakan Pram menulis di Pulau Buru ini mirip dengan yang dilakukan pengarang Marxis Italia, Antonio Gramsci, yang dibui pada 1930-an.

Namun pascatumbangnya Orde Baru, Pram menghirup udara kebebasan, sang maestro pun turun gunung. Era reformasi menjadi era pembebasan bagi Pram, karyanya dipublikasikan. Buku-buku karya tokoh Lekra ini, kini dengan gampang dapat ditemukan. Misalnya, kwartet roman Pulau Buru, seperti Bumi Manusia (1980), Anak Semua Bangsa (1981), Jejak Langkah (1985), dan Rumah Kaca (1988). Juga, buku-bukunya yang lain, seperti Arus Balik (1995), Nyanyi Sunyi Seorang Bisu (1995), Sang Pemula (1985), dan Gadis Pantai (1987). Buku-buku karya Pram itu ada yang masih baru, ada juga yang bekas. Hasta Mitra, sebagai penerbitnya, sengaja mengangkat sastrawan sosialis itu dengan menerbitkan ulang buku-bukunya, pada sampul tiap edisinya tertulis Edisi Pembebasan. Karya-karya lama Pram, seperti Di Tepi Kali Bekasi (1947), Perburuan (1950), Keluarga Gerilya (1950), Percikan Revolusi (1950), Subuh (1950), Bukan Pasar Malam (1951), Mereka yang Dilumpuhkan (1951), Cerita dari Blora (1952), dan Korupsi (1954), juga dengan gampang ditemukan cetak ulangnya.

Padahal, buku-buku Pram, terutama roman-roman Pulau Buru-nya dulu dianggap berbahaya, dan yang menyimpan serta mengedarkannya bisa ditangkap. Misalnya, kasus yang menimpa tiga aktivis Yogyakarta, Bonar Tigor Naipospos, Bambang Isti Nugroho, dan Bambang Subono, pada 1989. Ketiganya ditangkap dan dipenjarakan bertahun-tahun hanya karena kedapatan membawa buku Rumah Kaca. Keadaan itu kini agaknya sudah berbalik. Jangankan novel-novel Pram, buku-buku ajaran komunis dan marxisme saja kini bebas beredar. Bukan hanya di toko-toko kecil atau pasar-pasar buku bekas. Toko-toko buku besar pun sering menjualnya. Inilah masa pembebasan bagi karya-karya Pram yang dibungkam sekian lama, kini Pram hidup di ruang bebas dengan karya yang menyerukan pembebasan sejati.

Gayung bersambut, generasi Pramania menyoalisasikan ide-ide pembebasan Pram. Sebut misalnya, Pramoedya Institute sebagai lembaga yang bergerak di bidang kebudayaan. Didirikan di Bandung, 24 Oktober 2003. Lembaga ini terbentuk, tergerak, serta bermuara demi dan hanya pada cita-cita kebudayaan semata. Penggunaan nama Pramoedya sebagai lembaga tidak menjadikan Pramoedya Institute bertujuan mengkultuskan sastrawan Pramoedya Ananta Toer secara individu. Tetapi patut dipermaklumkan, Pram tak pernah mengindahkan pujian dan nama baik sehingga ia tidak pernah terbebani dalam mengungkapkan pikiran dan perasaannya tanpa takut dicela sekalipun. Pram memang penulis sejati sebagai seorang berpikiran mandiri, individualis, dan sulit beradaptasi dengan dunia baru, ia hanya pengarang yang sunyi dan karenanya ia terbebaskan dan membebaskan.

——-
*)Koordinator Lingkar Kajian Komunitas AFKAR Circle Bandar Lampung.

BUKU TAMU


ShoutMix chat widget
Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger